Mau Dibuat Semirip Apa pun, Daerah Lain Nggak Bakal Bisa Meniru Malioboro Jogja

Mau Dibuat Semirip Apa pun, Daerah Lain Nggak Bakal Bisa Meniru Malioboro Jogja

Mau Dibuat Semirip Apa pun, Daerah Lain Nggak Bakal Bisa Meniru Malioboro Jogja (Unsplash.com)

Melihat tulisan Mas Yanuar soal revitalisasi Kota Lama Banyumas yang mirip Malioboro Jogja, saya jadi teringat percakapan dengan teman saya yang kebetulan dari Banyumas juga. Waktu itu, kami membahas soal fenomena kabupaten/kota yang fomo sama sesuatu. Buat generasi 90-an, mungkin dulu ingat pernah ada tren lampu air mancur yang dipasang di sudut kota. Sekarang, mulai banyak kabupaten/kota yang ingin punya tempat mirip Malioboro Jogja.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, nggak cuma Banyumas yang fomo “meniru” Malioboro. Ada Jalan Dhoho di Kediri, Tugu Malang dan Kayutangan Heritage di Malang, sampai Koridor Gatot Subroto di Solo. Tapi, bisa dikatakan pemerintah daerah (pemda) yang fomo ini nggak semuanya berhasil “memindahkan” Malioboro Jogja ke kotanya. Bahkan revitalisasi yang biayanya sampai miliaran ini beberapa justru dilaporkan sepi pengunjung.

Pemda yang melupakan sense of place

Teman saya yang lulusan jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) berkata, “Menurutku, Malioboro Jogja mau ditiru semirip apa pun, tapi kalau pemda nggak memerhatikan sense of place, kemungkinan besar bakal susah berhasil.” Saya yang lulusan Komunikasi cuma bisa nyengir dan mbatin, opo meneh iki sense of place.

Mudahnya, sense of place itu semacam vibes yang bikin kita ingat sama suatu lokasi, dengan ciri khasnya masing-masing. Teman saya bilang kalau Malioboro memang punya sense of place yang kuat dan bikin orang ketagihan buat selalu datang ke sana. Sayangnya, hal kecil ini justru luput dari pandangan. Akhirnya, pemda cuma kasih vibes Malioboro tanpa menghadirkan ciri khas dari daerah itu sendiri.

Baca halaman selanjutnya: Alasan sense of place Malioboro Jogja…

Alasan sense of place Malioboro Jogja kuat

Teman saya juga bilang kalau Malioboro itu nggak asal dibangun dari pedestrian yang bagus, lampu kota estetis, atau tempat duduk di pinggir jalan. Lebih jauh, (kemungkinan) Pemda Yogyakarta sudah memperhitungkan soal hubungan transportasi umum dan jarak antar tempat wisata. Kalau diperhatikan lagi, Malioboro punya bangunan menarik yang cenderung berkelompok.

Di sekitar Malioboro Jogja, ada beberapa tempat yang mendukung seperti Stasiun Tugu, Titik Nol Kilometer, Bank Indonesia Yogyakarta, sampai Pasar Beringharjo. Bangunan-bangunan inilah yang nantinya bakal bikin orang merasa “lagi di Jogja”.

Ya memang, sih, pedestrian yang bagus dan lampu-lampu itu membuat pengunjung lebih betah dan terasa suasananya. Tapi kalau asal bikin tempat bagus tanpa hal-hal pendukung lainnya, kayaknya bakal susah buat berhasil.

Sense of place nggak melulu soal Malioboro

Di obroloan itu, teman saya juga bahas kalau sense of place itu nggak selalu soal Malioboro. Sebenarnya, Kabupaten Banyumas sudah punya potensi tempat yang punya sense of place kuat kalau mau dikembangkan. Teman saya itu dengan mudah menyebut Jalan Jenderal Sudirman di Kecamatan Sokaraja.

Dia bilang, “Coba kalau kamu dari Pati mau ke Purwokerto, pasti yang diinget kalau sudah mau sampai Purwokerto itu daerah Sokaraja yang ada penjual getuk goreng dan sroto yang berjejer.” Kalau dipikir-pikir iya juga, sih. Dan waktu mau beli oleh-oleh atau makan sroto Sokaraja pasti kita bakal beli ke sana walaupun di Purwokerto juga ada yang jual. Habis itu, teman saya menambahkan, “Di daerah situ sebenernya sense of place udah lumayan, tapi belum dikembangkan aja.”

Dari diskusi tadi, akhirnya saya cukup paham kenapa tempat-tempat yang ingin mirip Malioboro Jogja itu justru nggak iconic dan cenderung sepi. Ternyata pihak pemda pun harus ngerti soal tata kota khas dari daerahnya masing-masing, nggak bisa langsung copy-paste begitu saja tanpa ada kajian lebih lanjut. Kalau Banyumas saja sebenarnya punya hidden treasure yang bisa dikembangkan kayak Malioboro, kenapa kota lain nggak?

Penulis: Laksmi Pradipta Amaranggana
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Malioboro Masa Kini Adalah Wujud Kebiasaan Kota Jogja yang Mengabaikan Keberadaan Rakyat Kecil.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version