Mahasiswa KKN Diusir Warga Itu Adalah Teguran Keras untuk Kampus yang Nggak Melek Digital

Mahasiswa KKN Diusir Warga Itu Adalah Teguran Keras untuk Kampus yang Nggak Melek Digital

Mahasiswa KKN Diusir Warga Itu Adalah Teguran Keras untuk Kampus yang Nggak Melek Digital (Pixabay.com)

Saya sudah membaca dua berita mahasiswa KKN yang pekan lalu jadi sorotan publik. Pertama, pada bulan Juni kemarin, sembilan mahasiswa asal Universitas Padang tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritiknya terhadap minimnya fasilitas desa tempat mereka KKN. Kritik itu dibuatnya dalam bentuk konten video ala-ala tren TikTok dan berhasil membuat warga sekitarnya geram. Dari situ, secara etis pihak kampus akhirnya memulangkan mahasiswanya.

Yang kedua, beberapa hari kemarin, kedunguan yang serupa tentang KKN dilakukan oleh seorang mahasiswa asal Universitas Mataram dengan lantunan kesombongannya sebagai kembang desa alih-alih menghina desa tempat ia KKN yang katanya nggak ada yang cantik selain dirinya dan kawan-kawannya. Penghinaan lewat konten video Instastory itu akhirnya memantik semangat warga untuk mengusirnya.

Dari kedua berita itu, lantas apakah yang terlintas dalam pikiran Anda? Apakah sama persis dengan apa yang saya pikirkan?

Ketidaksadaran mahasiswa atas KKN dan ngonten

Benar. Walaupun kita nggak saling kenal, sebagai manusia kita sama-sama paham bahwa mahasiswa itu telah kehilangan akal sehatnya. Tapi, mungkin “kehilangan” bukan kata yang tepat untuk mereka. Sebab ketika mereka berhadapan langsung dengan warga lokal, saya yakin mereka nggak mungkin melakukan hal dungu semacam itu.

Kata yang tepat boleh jadi adalah “ketidaksadaran”. Mereka dari awal memang sadar sedang melaksanakan KKN. Tapi, entah bagaimana, kesadaran itu kemudian kalah dengan kesadaran mereka bahwa apa-apa harus dibikin konten. Akhirnya, akal sehat mereka nggak sadar kalau mereka adalah mahasiswa, bukan influencer. Mereka juga lupa kalau sedang KKN dan bukan sedang mengais perhatian netizen.

Saya rasa penyebab ini sudah dipahami oleh banyak orang, termasuk Anda sekalian. Komentar yang saya temui di media sosial terkait berita mahasiswa KKN ini pun hampir semuanya merujuk pada penghakiman terhadap kedunguan si mahasiswa.

Tentu saya juga setuju dengan Anda dan komentar-komentar itu di satu sisi. Tapi di sisi yang lain, sebab musabab daripada itu agaknya terlalu pincang kalau hanya melihat dari SDM mahasiswanya. Sebab, mahasiswa KKN ini tetaplah dalam bimbingan kampus, maka di sini saya pikir akal sehat kampus pun nggak jauh berbeda dengan mahasiswanya.

Kampus nggak memaksimalkan pembekalan KKN

Pada saat membaca berita yang cenderung mem-framing kedunguan si mahasiswa, saya lantas bergegas mencari berita yang terkait dengan respons dari masing-masing kampus. Pikir saya saat itu, ketika ada mahasiswa KKN yang terkena kasus, pastilah kampusnya akan mengklarifikasi alih-alih memperbaiki citranya.

Dan benar, saya menemukan beritanya. Setelah kejadian buruk yang menimpa mahasiswanya si paling kembang desa tadi, pihak Universitas Mataram akhirnya mengklarifikasi sekaligus mengimbau seluruh mahasiswa KKN yang tersebar di desa wilayah Lombok dan Sumbawa agar lebih bijak bermedia sosial. Ini, kan, menjadi bukti bahwa sebelumnya pihak kampus nggak memaksimalkan pembekalan KKN.

Untuk berita yang terkait dengan Universitas Padang, sejauh ini saya belum menemukan tanda dari mereka mengklarifikasi secara informatif tentang penggunaan media sosial. Entah saya yang kurang jauh berselancarnya, atau memang benar nggak ada klarifikasi tentang penggunaan media sosial dari mereka.

Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada kampus saya. Walaupun saya dan kawan mahasiswa KKN lainnya (sampai detik ini) nggak melakukan hal dungu seperti mahasiswa dari kedua universitas tadi, tapi pembekalan KKN yang saya terima dari kampus betul-betul nggak ada serius-seriusnya. Dalam hal etika, pihak kampus cuma membekali etika ketika bersosialisasi. Bukan etika ketika menggunakan media sosial.

Tentu saja etika bersosialisasi di dunia nyata itu masih perlu untuk diingatkan ke mahasiswa sebelum KKN. Tapi sekelas kampus, masak, ya, nggak paham kalau KKN bagi mahasiswa sekarang itu adalah juga “kuliah kerja ngonten!” Saya pikir juga keterlaluan kalau kampus sampai nggak paham bahwa anak muda sekarang nggak bisa lepas dari media sosial.

Baca halaman selanjutnya

Kampus juga ikutan salah

Kesalahan mahasiswa adalah kelalaian kampus

Mengapa saya begitu percaya diri bahwa kedua mahasiswa dungu itu karena nggak maksimalnya pembekalan KKN dari kampus?

Ya, gimana nggak percaya diri? Dilihat dari segi narasi klarifikasi kampus pun tampak jelas bahwa mereka sebelumnya lalai nggak membekali mahasiswanya tentang etika bermedia sosial, khususnya perihal perkontenan. Kalau sebelumnya sudah membekali, saya yakin klarifikasi mereka akan nggak jauh-jauh dari kalimat ini: sebelumnya kami sudah membekali mahasiswa terkait bermedia sosial/pembuatan konten.

Tentu ini bukan berarti saya membela kedua mahasiswa dungu itu. Sebagai generasi muda, apalagi yang katanya agent of change, mahasiswa tetap harus bertanggung jawab atas kesalahannya.

Tapi juga perlu digarisbawahi, bahwa identitas mahasiswa ini nggak lepas dari identitas kampus. Maka saya pikir, kata-kata nasehat seperti, “Kalian KKN harus menjaga nama baik kampus, ya”, itu juga harusnya berlaku bagi kampus. Sehingga bunyi kata-kata untuk mereka adalah, “Kalian sebagai penuntun mahasiswa KKN, harus memaksimalkan pembekalan, ya”. Begitu!

Nggak fair kalau kasus-kasus semacam kedua mahasiswa tadi hanya disebabkan karena kedunguannya semata. Apalagi dalam kasus ini pihak kampus sebelumnya sama sekali nggak mengantisipasinya. Kasihanlah mahasiswa, hanya dijadikan pembantu. Sementara kalau gagal dianggap sebagai perusuh!

Sudah waktunya melek digital nggak cuma buat promosi doang

Tentu saja saya akan terlalu naif kalau mengatakan kampus nggak tahu bahwa mahasiswa sekarang nggak bisa lepas dari media sosial. Sebagai institusi akademis, kampus juga paham bahwa melek digital adalah perihal yang urgent di era sekarang. Buktinya, hampir semua kampus sekarang pakai media sosial sebagai media promosi, bukan?

Tapi, entah kenapa, pada kasus KKN ini mereka seolah-olah blas nggak melek digital. Jujur saja, saya juga nggak tahu kalau melek digital dalam konteks KKN ini wujudnya seperti apa. Sebagai institusi akademis, saya pikir harusnya mampu memikirkan hal itu. Dan, yang pasti, dengan kemelutnya mahasiwa KKN (kuliah kerja ngonten) yang mencuat belakangan ini harusnya menjadi teguran keras bagi kampus agar melek digital nggak cuma buat promosi, doang!

Yang jelas, kampus nggak boleh cuci tangan begitu saja. Mereka, dalam derajat tertentu, ikut bertanggung jawab. Dan itu, nggak boleh dimungkiri.

Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA KKN: Tak Lebih dari Ajang Adu Gengsi dan Bikin Konten.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version