Suami saya yang asli Magelang beberapa kali pamer. Beliau suka sekali melihat air muka saya terheran-heran dengan pemandangan indah kampungnya. Maklum saja, saya anak Pantura. Gunung yang saya kenali dan kagumi cuma Gunung Muria, yang nampak gagah.
Maka, hidup di Magelang dengan barisan gunung mengitari cukup menyamankan hati saya. Hamparan sawah yang hijau. Juga bau pembakaran kayu bakar dari tungku, membuat saya merasa sedikit damai.
Belum lagi dengan fakta bahwa kerukunan penduduk desa di kampung suami saya sangat terjaga. Ketika ada yang sakit, ada grup besar kampung yang saling monitor dan berdiskusi. Bahkan penduduk desa tak segan menggalang donasi. Sungguh Mengharukan.
Ya, maklum saya tidak pernah mengalami hal semacam itu. Baik di Demak, maupun di tempat saya tinggal sekarang.
Gambaran ideal
Itu tadi gambaran ideal pedesaan yang membuat saya memiliki hasrat untuk bisa pensiun di Magelang suatu hari nanti. Slow living juga. Kata orang, sih, begitu.
Bayangkan dulu, menikmati masa tua dengan secangkir teh di beranda. Menikmati segarnya udara yang bertiup dari lembah. Bahkan saya tidak perlu mumet beli air galon buat masak, wong air tanahnya aja seperti air kemasan.
Itu dulu. Sebelum saya mendengar teman saya yang asli Magelang berkelakar.
“Kamu beneran mau jadi warga Magelang? Ah, kalau Bu Nunu sih mau pindah aja.”
Saya yang sudah memiliki segudang rencana langsung kaget. Kok bisa orang pribumi asli milih pindah ke kota lain? Apa nggak sayang meninggalkan kota secantik ini?
Magelang itu cantik kotanya, tapi seret gajinya
Lagi-lagi, lagu lama soal UMR dan aplikasinya. UMR Magelang dan Kabupaten Magelang memang sudah lumayan, sudah masuk kepala dua.
Sayangnya, kita juga harus menyadari tidak semua pekerjaan di Magelang bayarannya standar UMR. Banyak juga buruh harian yang bayarannya harian, per hari Rp50 ribu. Jadi jika masuk sebulan pun juga nggak dapat UMR.
Padahal untuk dapat secuil tanah di Magelang, harga per meter dah tembus 2 jutaan. Di beberapa lokasi strategis, contohnya kampung suami yang dekat sama Borobudur. Padahal itu di kampung yang letaknya juga agak masuk, bukan tepi jalan raya juga.
Dan saya yakin yang beli nantinya, kalau bukan warga lokal yang emang kaya raya dari lahir atau perantauan sukses. Mungkin yang beli adalah penduduk yang bukan warga asli yang pengen slow living.
Kata siapa bisa slow living
Pagi di Magelang, untuk saya yang kerja di luar kota emang damai saat liburan. Saya pulang pasti weekend, lalu menghabiskan malam Minggu nongkrong murah di alun-alun. Lalu, di hari Senin, saya akan bangun pagi-pagi untuk berangkat ke ibu kota provinsi.
Mengapa begitu? Karena saya menghindari macet. Perlu dicatat, meskipun masuk ke bagian ruas jalan provinsi, sebagian besar ruas jalan di Magelang itu sempit. Muat 2 mobil papasan saja sudah ngepres. Tentu di jam padat orang mulai beraktivitas akan tetap macet, tapi ya bisa diakali dengan lewat jalan tikus.
Sosialis garis keras, toleransi tanpa batas
Jika melihat solidnya penduduk kampung suami, siapa si yang nggak merasa hangat? Betapa semangat penduduk bergotong-royong menggali kubur untuk yang meninggal. Menggalang dana untuk yang kekurangan. Semaraknya malam ketika akan ada acara komunal, macam pengajian akhir tahun.
Pokoknya semua kegiatan kemanusiaan, yang pastinya orang kota yang biasa individualismenya tinggi pasti sambat. Wong saya saja yang agak suka bergaul kadang lelah kalau suruh on terus pas ada kegiatan kampung. Stamina saya tidak setangguh suami untuk mengikuti kegiatan sosial.
Tidak hanya itu. Saya juga harus siap mental jika akan keluar berbagai pertanyaan khas seputar hal-hal pribadi. Lebih lanjut, kemungkinan saya juga harus siap menampung celoteh ibu-ibu soal analisis kehidupan tetangga lain (baca: ghibah).
Pokoknya yang jelas, nggak bisa deh memenuhi ekspektasi slow living ala konten kreator. Rumah di desa sepi tenang.
Tapi apakah kalian masih ingat tulisan saya tentang pemujaan tak berdasar orang Magelang pada sound system dan knalpot brong? Belum juga ketabahan dirimu diuji sebagai orang baru, saat asap bakar sampah menyelinap mulus masuk celah-celah ventilasi rumahmu.
Sudahlah. Please jangan pindah ke Magelang buat slow living. Kalian ke sini buat liburan saja. Toh, saya yakin kalian pindah ke sini, selain bikin harga properti nggak ngotak, kalian juga cuma bikin macet jalanan aja dengan mobil segede gaban.
Penulis: Anisa Fitrianingtyas
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sisi Gelap Magelang yang Tidak Disadari Banyak Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
