Suatu hari yang biasa saja, saya lihat di linimasa media sosial saya, ada seseorang yang posting makanan yang tampak begitu menggoda. Makanan itu berwarna-warni pastel. Terlihat legit. Ia begitu mudah bikin saya jadi pengin. Tidak ada caption yang menjelaskan nama makanan tersebut. Hingga saya harus mencari di Google dengan kata kunci “makanan bulat kecil warna-warni”. Dan muncullah nama: macaron. Sungguh sebuah nama yang simpel dan tampak elegan betul.
Dari kata kunci tersebut, lantas saya melanjutkan perjalanan saya dengan mencari tahu lebih banyak. Kemudian, bertemulah saya dengan sebuah akun jualan macaron di Instagram. Dari hasil kepo, ternyata pemiliknya seorang perempuan hampir seumuran saya. Di usianya itu, rumah orang tuanya sudah ia sulap jadi pabrik macaron dengan karyawan sekitar 20 orang. Gila!
Berkat macaron, dapurnya jadi berwarna-warni. Begitu menggiurkan melihat macaron-macaron yang telah matang itu. Apalagi, ketika dia mulai bikin video makan macaron. “Kriuk kriuk” hasrat saya untuk mengonsumsinya kian kuat dan butuh dilampiaskan segera.
Usut punya usut, ternyata macaron ini dibikin dari gula. Saya yang sebetulnya nggak suka manis ini, nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Namun, melihat penampakannya yang begitu seksi itu, susah buat saya untuk menahan diri tak mencobanya.
Setelah hampir 2 jam ngelihatin video orang makan macaron, akhirnya saya buka aplikasi Gojek. Saya cek GoFood dan mengetik: macaron. Saat itu, hanya ada dua toko bakery yang ready. Satu macaron dibanderol sekitar Rp10-15 ribu. Sayang, keuangan akhir bulan saya harus mengalah. Saya mengurungkan niat untuk melampiaskan hasrat saya saat itu juga.
Hingga sampailah saya berkunjung ke sebuah working space di dekat rumah. Di menu yang tersedia, selain croisant, cake, dan donat, tersempil ada dua macaron yang tersisa. Saya ingat betul ada warna merah muda dan kuning. Saya pilih warna merah muda yang katanya rasa strawberry itu. Harganya sekitar Rp15 ribu untuk ukuran satu logam uang 1000-an lama, tapi agak gede dikit. Saya nggak paham, seenak apa, sih, makanan ini?
Jeng jeng jeng, macaron itu kini di hadapan saya. Saya foto-foto dulu sebagai bahan dokumentasi. Lalu, saya ambil dan arahkan ia ke mulut, “Krezzz”. Ah, manis betul! Gigi saya nggak kuat kalau kayak gini.
Dan ya, ia tergeletak begitu saja setelah saya gigit satu kali. Saya susah untuk menetralkan rasanya di mulut saya. Saya nggak habis pikir, kok orang-orang bisa kras-kres dengan tampak begitu menikmati makanan ini?
Oh, Tuhan, inikah yang dinamakan lapar mata?
Sebetulnya, saya jadi iri sama teman saya. Hobinya itu nonton video mukbang. Katanya, kalau nonton video semacam itu, dia jadi kenyang. Lah, kalau saya, kok, malah jadi kelaparan? Memangnya, deskripsi visual yang dia tonton se-membosankan apa, sih? Kok, dia sampai nggak nafsu makan?
Ah, skip saja soal teman saya ini. Namun, mungkin di dunia ini, memang tercipta makanan-makanan yang enak dilihat, tapi susah cocok sama lidah. Akan tetapi, kembali lagi bahwa mungkin lidah setiap orang itu berbeda. Lidah saya, kayaknya lebih cocok menghabiskan uang Rp15 ribu itu dengan satu porsi sate ayam pakai lontong, plus irisan bawang merah, dan cabe.
BACA JUGA Kuliner Seleb dan Harga untuk Sebuah Rasa Penasaran dan tulisan Audian Laili lainnya.