Banyak yang bilang berpuasa itu memberi dan membuka banyak wujud kenikmatan yang sebelumnya tak kita dapati di hari biasa. Satu teguk air di saat berbuka, katanya bisa mengalahkan nikmatnya es kelapa muda di tengah hari nan terik. Begitu juga sepotong singkong yang dinikmati saat buka puasa, konon ia lebih nikmat daripada steak wagyu A5 di hari biasa. Bahkan, ada yang bilang bahwa berpuasa adalah kenikmatan itu sendiri.
Namun, setelah sekian lama hidup, saya kira lupa adalah salah satu kenikmatan yang kerap tak dianggap saat kita berpuasa.
Banyak kenikmatan yang dikisahkan dan dinarasikan dengan indah, bahkan penuh hiperbola. Tak sedikit yang menganggap nikmat harus penuh dengan hikmah serta suri tauladan, apalagi saat berbicara soal masa puasa Ramadan. Lalu bagaimana dengan kelupaan ini? Ia tak memiliki hikmah, kecuali perut kenyang, tenggorokan sejuk, dan badan transparan seperti iklan Adem Sari. Kadang, lupa adalah nikmat itu sendiri.
Lupa adalah nikmat terindah saat puasa
Bayangkan, saat siang hari leher tercekik rasa haus, tiba-tiba kita minum es teh karena lupa. Kemudian kita baru ingat saat es teh itu tandas dan tubuh kita sudah terlanjur segar bugar kembali. Sebagai orang yang ketika remaja dahulu pernah mengalaminya saat puasa hari pertama dan saat bangun tidur, tentu saya merindukan masa-masa itu lagi. Sayang, sekian tahun berjalan hingga kini sudah tak remaja lagi, nikmat itu tak kunjung didapat.
Atau seperti saat kecil dahulu, saya pernah bangun tidur langsung mengupas bengkuang, lalu menikmatinya sembari menonton kartun pagi di Lativi. Saya baru ingat saat seorang tetangga menegur saya, dan akhirnya saya terpaksa berhenti makan meski bengkuang itu baru habis separuhnya. Tentu saya menyesal, karena tetangga sudah keburu menegur sebelum bengkuang tandas. Setidaknya, ada sedikit asupan guna menunggu magrib tiba. Dan lagi-lagi, hal semacam itu sudah tak pernah terulang lagi.
Oleh karena itulah, lupa adalah nikmat tersendiri yang sayangnya jarang sekali terjadi. Lupa tak bisa direncanakan, ia juga tak mungkin dibuat-buat. Maka kita bisa saja menyebutnya sebagai anugerah. Jika seseorang pura-pura lupa, tentu ia tak ubahnya orang yang mokel atau mokah. Apalagi urusan lupa ini pembuktiannya sama Tuhan. Manusia bisa dibodohi, tapi bagaimana mungkin kita bisa menipu Tuhan, Guys?
Berharap lupa saya kira tak salah, meski tak ada gunanya. Saat seseorang berharap terserang kelupaan, tentu ia malah tak mungkin mendapat nikmat lupa. Ia malah akan selalu ingat jika sedang puasa, karena itulah lupa sebaiknya tak diharap-harapkan.
Hal yang manusiawi
Banyak yang menganggap lupa puasa adalah aib, dan harus ditutupi. Padahal, lupa adalah hal yang manusiawi. Bahkan, menurut banyak ulama, lupa tak menyebabkan batal puasa. Lupa itu adalah kenikmatan, Bung. Saya yakin, dari sekian banyak orang yang menjalankan puasa, banyak yang pernah mengalami hal ini juga. Mungkin, banyak juga yang berharap bisa lupa.
Tak perlu malu, apalagi menganggapnya aib. Jika pun mau diambil hikmahnya, anggap saja hilangnya lapar dan dahaga sebagai berkah. Apalagi puasa kita nggak batal, dan masih boleh lanjut puasa. Ini nikmat yang terindah, dan sudah sepantasnya kita mengakuinya. Karena kata para ulama, kufur nikmat itu nggak boleh. Nggak baik itu!
Memang, tak semua lupa adalah kenikmatan, apalagi yang lupanya di hari biasa dan terus-terusan. Seperti pemimpin yang lupa tanggung jawabnya. Atau pejabat yang lupa untuk siapa dan untuk apa mereka bekerja. Karena kalau orang banyak lupa (dibaca gila), ia tak semestinya dijadikan pemimpin dan pejabat. Apalagi jika mereka cuma pura-pura lupa, dijamin dosanya dobel-dobel.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Benarkah Kamu Merindukan Ramadan?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.