“Ngapain kuliah Sastra Indonesia? Nanti susah dapat kerja, lho!”
Berapa kali kalian mendengar ucapan seperti ini? Berapa kali kalian yang akan, sedang, atau sudah lulus dari kuliah Sastra Indonesia atau Sasindo dapat ucapan seperti ini? Sering, ya? Sama kalau begitu. Saya juga sering, kok. Bahkan tidak dari orang-orang awam, dari sesama anak Sasindo juga kerap dapat ucapan atau keluhan seperti ini, bahwa lulusan Sasindo itu susah dapat kerja.
Sebagai seorang lulusan Sasindo, saya nggak tahu sejak kapan ucapan atau anggapan ini muncul dan melekat di lulusan Sasindo. Sepanjang 4,5 tahun saya kuliah di jurusan Sasindo, saya memang sering dengar, tapi saya nggak tahu dari mana awalnya, juga tidak menjadikan anggapan itu sebagai hal yang serius. Saya malah lebih sering menemukan anggapan bahwa semua lulusan Sasindo itu pasti jadi guru.
Ya, hampir semua orang, termasuk keluarga saya, ketika bertanya saya kuliah jurusan apa dan saya jawab jurusan Sasindo, pasti mereka langsung akan nyeletuk: “berarti nanti kalau udah lulus jadi guru, dong?!” Hampir semuanya akan bilang seperti itu. Padahal ‘kan nggak begitu mainnya. Path-nya tidak ujug-ujug lulusan Sasindo jadi guru. Udah mah dianggap susah dapat kerja, eh pilihannya juga dipersempit hanya jadi guru.
Daftar Isi
Sasindo murni vs pendidikan
Oke, kita bahas sebentar soal anggapan lulusan Sasindo pasti jadi guru. Ini nantinya akan nyambung juga sama anggapan bahwa lulusan Sasindo itu susah dapat kerja.
Begini. Orang-orang yang menganggap bahwa semua lulusan Sastra Indonesia itu nanti jadi guru mungkin masih beranggapan bahwa Sasindo itu adalah jurusan pendidikan. Nyatanya ‘kan tidak. Di semua fakultas sastra, jurusan Sastra Indonesianya biasanya punya dua prodi. Ada sastra Indonesia murni, ada pendidikan sastra Indonesia (pendidikan bahasa dan sastra Indonesia). Dua prodi ini sekilas sama, tapi sebenarnya mereka banyak bedanya, terutama soal apa yang dipelajari dan prospek lulusannya.
Di kampus saya misalnya, prodi Sasindo murni mempelajari aspek kebahasaan dan kesusastraan yang lebih luas dan dalam. Soal prosa, puisi, penulisan fiksi dan non fiksi, soal naskah lama, sastra lama dan sastra lokal, sastra pertunjukan (film dan teater, misalnya), jurnalistik, penyuntingan, dsb dsb. Fokusnya hanya sekitar itu saja. Sedangkan Sasindo pendidikan, mereka tetap mempelajari semua itu—tapi tidak sedalam Sasindo murni—dan mereka juga belajar soal pengajaran.
Dari sini, fokus dan prospek lulusannya sudah berbeda. Lulusan Sasindo pendidikan memang dibentuk untuk jadi guru, jadi pengajar. Sedangkan lulusan Sasindo murni, tidak bisa ujug-ujug langsung jadi guru. Mereka harus ambil kuliah lagi kalau mau jadi guru. Jadi, Sasindo murni dan Sasindo pendidikan punya prospek lulusan yang sebenarnya berbeda. Sayang sekali, tidak banyak orang yang paham perbedaan ini.
Lulusan Sasindo sebenarnya punya peluang yang lebih banyak
Oke, saatnya kita balik ke fokus tulisan ini, tentang anggapan bahwa lulusan Sastra Indonesia yang katanya susah dapat kerja.
Sebenarnya, kalau kita melihat tentang apa yang dipelajari di Sasindo, peluang lulusan Sasindo dapat kerja itu di atas kertas lebih banyak. Bayangkan saja, kita di Sasindo itu diajarin gimana caranya nulis puisi, nulis cerpen, semua penulisan fiksi, lah, pokoknya. Kita juga diajari gimana caranya nulis esai, nulis opini, nulis karya ilmiah, dan segala penulisan non fiksi lainnya.
Dari sini, kita bisa simpulkan bahwa lulusan Sasindo punya peluang untuk jadi penulis. Kita bisa jadi penulis fiksi, jadi esais, kolumnis, bahkan jadi content writer atau copywriter.
Selain menulis, kita di Sasindo juga diajari tentang penyuntingan, gimana caranya mengedit naskah, apa yang harus dilakukan untuk mengedit naskah. Kita bisa jadi editor, mau itu editor media massa atau editor penerbitan. Selain itu, kita juga diajari tentang jurnalistik, tentang gimana menulis berita, gimana caranya liputan. Kita bisa jadi jurnalis, wartawan, atau jadi redaktur media massa.
Tidak cukup sampai di situ. Kalau kita suka dengan naskah lama, karya-karya sastra lama, serta artefak kebudayaan tulis, kita di Sasindo belajar tentang filologi dan bisa jadi filolog. Kalau kita suka dengan sastra pertunjukan, kita di Sasindo juga belajar tentang itu. Ada banyak peluangnya. Kita bisa jadi penulis naskah pertunjukan (bahkan bisa jadi pemainnya), kita juga bisa menjadi penulis naskah film. Semua diajarkan di Sastra Indonesia.
Gimana? Banyak, kan, peluang kerja lulusan Sasindo itu? Makanya, anggapan bahwa lulusan Sasindo itu susah dapat kerja itu kurang tepat kalau dilihat dari peluang-peluang yang ada. Namun, kok masih banyak lulusan Sasindo yang susah dapat kerja? Jawabannya ada di bawah ini.
Saingannya lebih banyak, dan mungkin lebih mumpuni di bidangnya
Ini adalah jawaban atas pertanyaan mengapa masih banyak lulusan Sasindo yang susah dapat kerja. Iya, saingan yang lebih banyak, dan lebih mumpuni di bidangnya. Sekian banyak peluang kerja yang ada untuk lulusan Sasindo di atas ternyata juga merupakan peluang kerja bagi mereka-mereka, para lulusan yang berasal dari jurusan lain.
Misalnya begini. Lulusan Sastra Indonesia memang bisa jadi jurnalis. Tapi saingan beratnya adalah anak-anak lulusan ilmu komunikasi atau lulusan jurnalistik yang memang sejak awal kuliah belajar tentang seluk-beluk jurnalistik. Lulusan Sasindo memang bisa jadi content writer atau copywriter. Tapi saingan beratnya adalah anak-anak lulusan advertising atau periklanan. Lulusan Sasindo bisa jadi filolog. Tapi saingan beratnya ada anak lulusan ilmu sejarah yang secara keilmuan bisa jadi lebih meyakinkan.
Menjadi penulis akhirnya jadi pilihan yang paling “enak” bagi lulusan Sastra Indonesia. Di atas kertas, mereka unggul dari lulusan jurusan lain. Tapi kenyataannya, ada banyak penulis hebat di luar sana, mau itu penulis fiksi atau non-fiksi, yang bukan lulusan Sasindo. Belum lagi ada beban berat yang dipikul lulusan Sasindo jika jadi penulis, bahwa tulisannya harus selalu bagus dsb dsb. It’s not an easy battlefield.
Sepengalaman saya, menjadi lulusan Sasindo yang sedang berjuang untuk mendapat kerja itu memang berat banget. Kita bukan hanya bersaing dengan sesama lulusan Sasindo saja untuk cari kerja. Kita juga bersaing dengan lulusan dari jurusan lain untuk memperebutkan posisi yang masih berkaitan. Untuk posisi yang masih ada di dalam prospek lulusan Sasindo saja susah, apalagi kalau mau cari kerja/posisi yang tidak ada hubungannya dengans Sasindo. Tentu saja lebih susah. Mungkin inilah yang bikin orang-orang beranggapan bahwa lulusan Sasindo susah dapat kerja.
Tidak salah, tapi juga tidak benar
Maka dari itu, anggapan bahwa lulusan Sasindo susah dapat kerja itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak bisa dibenarkan. Lulusan Sasindo memang punya banyak peluang kerja. Tapi di posisi yang sama, ada banyak sekali saingannya, dan saingannya tidak hanya dari lulusan Sasindo saja. Lalu, apakah benar bahwa lulusan Sasindo itu susah dapat kerja? Jawaban saya masih sama dengan judul di atas: “ah, nggak juga, kok!”
Nah, karena sedang membahas lulusan Sastra Indonesia yang katanya susah dapat kerja, kebetulan saya perlu bantuan (dan perlu kerjaan, hehe). Saya lulusan Sasindo, dan saya sekarang lagi nganggur, belum dapat kerjaan lagi. Saya lagi butuh kerjaan, dan kalau kalian atau kantor kalian sedang cari penulis, content writer, atau sejenisnya, boleh diinfokan ke saya. Kalian bisa klik nama saya di bawah judul tulisan ini, lalu bisa kunjungi media sosial saya atau LinkedIn saya yang ada di sana. Ada resume dan portofolio saya di sana yang bisa kalian lihat. Hit me anytime.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya