Lemon Cake: Mensyukuri Duka, Melanjutkan Hidup, dan Mengapresiasi Diri

Lemon Cake Mensyukuri Duka, Melanjutkan Hidup, dan Mengapresiasi Diri Terminal mojok

Lemon Cake Mensyukuri Duka, Melanjutkan Hidup, dan Mengapresiasi Diri (Mojokstore.com)

Judul: Lemon Cake
Penulis: Inge Agustin
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: 204 halaman
Tahun terbit: 2022

Selama lima hari belakangan ini saya menderita flu. Saya nggak begitu paham kenapa saya bisa terserang flu untuk yang kedua kalinya dalam sebulan. Saya menduga bahwa kemungkinan saya sakit karena kecapekan atau memang ketularan orang lain yang saya temui akhir pekan lalu.

Untuk bisa sembuh, saya cuma mengandalkan vitamin C, baik dari jeruk pecel maupun suplemen kesehatan. Rasanya asam sekali. Kalau boleh jujur, saya nggak suka rasa asam, tapi demi bisa mendapatkan kesehatan saya kembali, saya harus hadapi rasa kecut itu.

Mengingat nggak bisa ke mana-mana sewaktu sakit, saya memutuskan untuk membaca buku. Buku yang menemani hari-hari saya bersama sekotak tisu ini berjudul Lemon Cake. Kebetulan sekali buku ini juga memakai judul berupa buah yang berasal dari genus Citrus, sama seperti yang saya konsumsi sehari-hari.

Lemon Cake bukanlah buku berisikan resep mengolah lemon menjadi kue yang lezat, melainkan buku berisikan 31 esai reflektif yang ditulis oleh Inge Agustin. Di usianya yang mulai menginjak kepala tiga, Inge mengalami life changing moment selepas putus dari pacarnya. Momen menyakitkan yang sempat membuatnya hancur berkeping-keping selama hampir dua tahun tersebut lantas diubahnya menjadi proses memahami dan mencintai diri sendiri.

Bagi sebagian orang, putus cinta mungkin dianggap sepele atau kurang relatable. Namun, Inge membuktikan bahwa putus dari pacar juga merupakan suatu duka yang luar biasa. Kehilangan figur yang selama ini selalu menemani, menjadi orang pertama untuk diberi tahu segala hal, dan tempat berbagi apa pun tentu betul-betul menyakitkan.

Keterpurukan yang dialami Inge lantas dicurahkannya ke dalam tulisan yang dapat menjadi petuah bagi siapa saja maupun penghiburan bagi orang yang mengalami hal serupa. Hasil kontemplasi Inge dalam rangkaian kata dalam Lemon Cake membawa saya mengenali pandangan-pandangan baru yang berbeda dari kebanyakan orang. Misalnya ketika Inge membedah soal kebahagiaan di bab Tentang Menjadi Bahagia. Selama ini masyarakat cenderung menanamkan bahwa kebahagiaan harus dicari. Kebahagiaan tak ubahnya sebuah tujuan hidup. Saya pun memiliki pemahaman begitu. Bahkan setiap kali berdoa, saya memohon agar selalu bahagia.

Tulisan Inge menyadarkan saya bahwa hidup merupakan rangkaian masa bahagia dan sedih yang datang silih berganti, seperti aturan terang dan gelap serta siang dan malam. Saat momen kebahagiaan telah usai dan giliran kita merasakan sedih, Inge mengatakan bahwa itu bukan suatu hal yang salah. Sedih juga normal, kok. Kesedihan bukan sesuatu yang harus dijauhi. Dengan begitu, kita nggak perlu khawatir lagi kalau sedang berbahagia selama beberapa saat dan menduga bahwa setelah ini akan ada kemalangan yang muncul. Kita justru akan lebih menghargai dan menikmati momen kebahagiaan dengan sepenuh hati.

Bagian lain yang terasa sekali nasihat sekaligus kalimat-kalimat heartwarming-nya adalah 31 Pelajaran Hidup. Sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke-31, Inge membagikan pelajaran hidup yang selama ini diperolehnya. Alih-alih merangkai kalimat motivasi yang susah dipahami apalagi digapai, Inge menulis tiap-tiap poinnya berdasarkan hal-hal yang ada di sekitar kita. Sesederhana baca buku, minum air, dan pemahaman bahwa menjadi tua adalah satu-satunya cara untuk lebih mengenal diri sendiri.

Setiap esai yang ditulis secara sistematis dalam Lemon Cake membuat saya seperti ikut menyaksikan proses Inge untuk bangkit. Rasanya kayak melihat pemeran utama film atau drama yang akhirnya menemukan kenyamanan dan kesembuhannya setelah terjatuh. Duka yang sempat Inge alami dapat membuatnya menjadi sosok yang lebih kuat dan ia dapat kembali ke dalam dirinya sendiri.

Selepas merampungkan buku dengan cover imut bernuansa kuning ini, saya agak terkejut. Pasalnya, buku ini jadi penuh dengan tempelan sticky notes. Saya menghabiskan hampir lima puluh sticky notes untuk menandai bagian-bagian yang penting, relatable, atau patut saya catat dan camkan. Setiap bab dari Lemon Cake pasti ada yang saya beri anotasi soalnya buku ini benar-benar bergizi.

Pengalaman Inge dalam menghadapi putus cinta awalnya saya kira nggak akan relate dengan saya. Namun, membaca setiap kata yang ditulis Inge di buku ini rasanya seperti mendapat nasihat dari kakak perempuan agar adiknya nggak jatuh di lubang yang sama. Kesannya nggak menggurui, tapi cenderung lebih dekat dan hangat.

Gaya bahasa yang dipakai Inge pun nggak ndakik-ndakik maupun menggunakan segala macam majas yang perlu dicari setiap kali selesai membaca satu kalimat. Ketika membaca Lemon Cake, saya merasa nyaman karena seperti membaca curhatan teman atau, seperti yang saya bilang tadi, mendapatkan wejangan dari kakak perempuan. Inge juga menggunakan kosakata yang sedang tren dan diketahui oleh banyak orang. Inilah sisi plus yang membuat bacaan menjadi lebih mudah dipahami.

Untuk kalian yang menggemari buku self improvement, Lemon Cake ini sangat saya rekomendasikan. Bacaan yang sangat ringan tapi bergizi dan nggak cringe di waktu yang sama.

Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sekolah Tanpa Jurusan dan Gugatan pada Sistem Pendidikan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version