Buat yang bilang LDR itu menyenangkan dan meromantisisasinya, saya mau tanya, alkohol apa yang kalian minum, atau jenis tembakau apa yang kalian isap sebenarnya?
Saya sedang menjalani hubungan jarak jauh. Pacar sedang di kota lain untuk mengadu nasib setelah pendidikannya selesai. Hubungan kita pun baik-baik saja sebenarnya. Tapi, ketika kita akhirnya berkomitmen untuk menghabiskan sisa hidup bersama, realitas menghantam bahwa mau tidak mau, kita harus menjalani hubungan jarak jauh. Rasanya saya pengin meneriakkan kata-kata yang penyiar Radio Soekamti katakan, “Kenyataane ncen bajingan!”
Sebenarnya, ini bukan pertama kali saya menjalani hubungan jarak jauh. Saya sempat menjalani hubungan jenis itu dengan mantan di beberapa bulan terakhir kita bersama. Kita kandas karena jarak menunjukkan memang kita sebaiknya tidak lagi bersatu. Saya pikir memang itu yang terbaik, karena dia bekerja dan menuntut saya segera menyelesaikan kuliah. Sedangkan pada saat itu, saya lebih memilih menghabiskan waktu dengan CSGO.
Ya memang sebaiknya dia nggak sama saya sih, toh saya juga biasa saja menghadapi keputusan dia. Buktinya ketika dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan, saya meresponnya dengan main CSGO.
Tapi, kalau sekarang, ceritanya beda. Meski saya belum kaya, tapi ya nggak ngisin-ngisini lah untuk jadi mantu. Kita sudah siap, kita berdua sudah bisa saling kompromi, orang tua sudah memberi lampu hijau, sudah melihat rumah idaman di Instagram, kok ya kudu LDR.
Jembus wedut.
***
Jujur saja, tidak ada yang menyenangkan dari yang namanya terpisah karena sebab apa pun. Ditinggal nikah, harta, kasta sosial, selingkuh, atau jarak, semuanya hanya menghasilkan dua hal: sakit hati dan luka hati yang tak berdarah.
Tapi, lihatlah banyak pujangga dadakan yang meromantisisasi LDR. Katanya, jarak menguji. Katanya jarak menguatkan. Jauh di mata, dekat di hati. Terpisah raga, menyatu dalam jiwa.
Jembut po.
Kalian itu mbok ya yang realistis. Menghibur diri itu boleh, dianjurkan malah, tapi mbok ojo kepolen. Saya kasih tahu, menghibur diri dengan mengaburkan realitas yang harus diterima itu tak ubahnya menyakiti diri sendiri.
LDR itu sejatinya penuh risiko. Raga tak bisa berjumpa, itu yang jelas. Plus, jarak dan kota terkadang mengubah seseorang. Meski pikiran buruk itu tak boleh disimpan, tapi siapa yang jamin pasangan kalian aman-aman saja—dalam tanda kutip atau bukan—di sana?
Makanya, LDR itu nggak bisa dibilang menyenangkan sama sekali. Ngising beling po.
Belum lagi ketika pasangan tiba-tiba kena musibah atau sedang butuh kita banget-nget-nget. Di dunia yang bajingan ini, pasangan adalah salah satu tempat yang aman untuk kembali. Dan LDR membikin opsi tempat kembali ini jadi hilang.
Cerita ke teman? Bung, teman Anda bisa jadi punya grup WhatsApp tanpa Anda atau akun alter yang siap-siap membuka dokumen aib kalian di media sosial. Manusia memang sebajingan itu kadang, doa terburuk pun tak akan cukup untuk mereka.
Maka dari itu, dapat ilham dari mana bisa-bisanya meromantisisasi LDR? UMR noh diromantisisasi.
Banyak memang orang yang menjalani LDR dan akhirnya dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Tapi, hal kayak gitu bukan indikator LDR itu menyenangkan. LDR atau tidak, ujungnya belum tentu menikah kok.
Lagian, jarak kadang membuat manusia jadi berpikir yang tidak-tidak. Berpikir yang tidak-tidak itu belum tentu negatif lho. Kadang, jarak bikin orang punya ruang untuk second guess atau berpikir ulang tentang apa pun. Kadang hasilnya baik, tapi tak jarang juga buruk. Relatif kalau ini, tinggal siapa yang jadi korban. HAHAHA.
Saya sarankan buat orang yang masih berusaha menghibur diri dengan membuat quotes tentang “indahnya” LDR atau meromantisisasi hubungan jarak jauh, wis hop. Kalian hanya menyakiti diri sendiri. Mau kalian bilang menguatkan, memberi makna, atau ungkapan ngising beling lainnya, realitasnya hal itu nggak ada menyenangkannya sama sekali.
Kalau mau meromantisisasi suatu hal, sebaiknya meromantisisasi Jogja saja. Kayak yang Mas Prabu lakukan, yo ra, Prabs?
BACA JUGA Ditinggal Nikah Itu Biasa Saja, tapi Kesedihannya Perlu Dirayakan dan artikel Rizky Prasetya lainnya.