PSSI menghancurkan semua pondasi yang sudah dibangun. Roadmap tak ada, strategi jangka panjang tak jelas, kini malah memecat STY. Lengkap sudah akrobat logikanya
BENANG KUSUT. Mungkin itulah kalimat paling sopan yang bisa dipakai untuk menggambarkan sepak bola Indonesia. Kalimat yang harus ditulis dengan huruf kapital, dan kalau perlu dicetak tebal, untuk menggambarkan betapa semrawutnya kondisi sepak bola Indonesia. Sayangnya, ketika usaha-usaha untuk membenahi, mengurai benang kusut itu muncul, ada saja pihak yang dengan sengaja mengacaukannya, mengacak-acaknya, membuatnya kembali kusut.
Senin pertama di tahun 2025 yang mendung itu makin muram ketika pukul 12 siang, PSSI menggelar konferensi pers, berkaitan dengan nasib pelatih timnas Indonesia. Seperti yang sudah diduga banyak orang sebelumnya, PSSI mengumumkan pemecatan pelatih timnas Indonesia Shin Tae-yong (STY), setelah 5 tahun menangani timnas. Senin mendung yang muram di awal tahun 2025 kini makin gelap. Benang itu kusut lagi.
Kabar pemecatan STY memang bikin sedih, meski tidak terlalu mengejutkan. Toh, kenyataan bahwa posisi STY sebagai pelatih timnas yang sudah di ujung tanduk sudah disadari banyak orang sejak lama. Satu-satunya hal yang membuat kabar ini bikin mual banyak orang adalah soal waktu: mengapa pemecatan STY diputuskan sekarang, ketika timnas Indonesia masih punya satu tugas yang belum tuntas? Mengapa tidak menunggu hasil kualifikasi Piala Dunia zona Asia ronde ketiga dulu?
“Kita melihat perlunya ada pimpinan (pelatih) yang bisa lebih menerapkan strategi yang sudah disepakati oleh para pemain, komunikasi yang lebih baik, dan tentu implementasi program lebih baik juga bagi timnas,” ungkap Ketum PSSI Erick Thohir dalam konferensi pers Senin siang ketika ditanya alasan pemecatan STY.
Sebuah jawaban khas para politisi, diplomatis, kakean cangkem, dan tentunya tidak menjawab keseluruhan pertanyaan dan masalahnya. Maklum, lah, lha wong sepak bola Indonesia (baca: timnas Indonesia) selama ini hanya diperlakukan sebagai modal politik saja sama orang itu, kok. Nggak perlu kaget kalau jawaban Erick Thohir kayak gini.
Daftar Isi
Timnas Indonesia mulai dari nol lagi
Dengan pemecatan STY, ini berarti timnas Indonesia mau tidak mau harus mulai dari nol lagi, di tengah jalan pula. Seperti kita tahu, memulai semuanya dari nol lagi—apalagi jika berpijak pada ketidakpastian—itu tidak enak. Fans Chelsea, Manchester United, sudah hafal betul gimana rasanya .
Para pemain timnas harus beradaptasi dengan pelatih baru, dengan karakteristiknya, kultur latihannya, serta rentetan programnya. Pun sebaliknya, pelatih baru juga harus mengenal para pemain timnas dari awal, mengenal karakteristiknya, mengenal gaya bermainnya, mengenal semuanya. Dan, para penggemar, fans, harus menyusun ulang harapan serta ekspektasi mereka. Semua harus dirajut dari nol lagi.
Sekarang pertanyaannya, apakah pelatih timnas yang baru nanti akan cocok dengan para pemain timnas yang ada sekarang? Bagaimana jika pelatih yang baru tidak cocok dengan para pemain timnas, entah dengan pemain-pemain lokal atau dengan belasan pemain naturalisasi yang ada? Bagaimana jika pelatih timnas yang baru ingin merombak lagi?
Biarkan pertanyaan ini dijawab oleh Erick Thohir, PSSI, para kroni serta penjilatnya.
STY bukan tanpa kritik
Kemarahan dan kekecewaan orang-orang atas pemecatan STY memang bisa dipahami. Apalagi jika melihat apa yang sudah STY lakukan dan berikan untuk timnas Indonesia. Hal paling sederhana, lihat saja ranking FIFA Indonesia sepanjang kepelatihan STY. Timnas Indonesia berhasil naik 48 peringkat dari peringkat 175 pada September 2021, menuju peringkat 127 di Desember 2024. Push rank yang impresif.
Namun, STY juga bukan tanpa kritik. Ada banyak catatan-catatan yang masih menumpuk di meja STY sejauh ini. Tentang STY yang masih enggan belajar bahasa Indonesia untuk bisa berkomunikasi dengan pemain lebih baik, tentang beberapa keputusan taktikal ketika berlaga di kualifikasi Piala Dunia zona Asia, tentang AFF 2024 yang malah menurunkan pemain U-23, tentang keras kepalanya, dan sebagainya.
Semua kritik yang terlayang kepada STY ini valid. Masalahnya, jika kritik ini jadi alasan bagi PSSI memecat STY di tengah jalan, ini benar-benar nggak masuk akal. Kalau ini benar, maka kita tahu siapa yang sebenarnya lebih bebal, siapa yang lebih keras kepala, siapa yang lebih dungu, siapa yang nalarnya lebih kosong, dan siapa yang lebih nggak punya otak. Yak, jawaban kita sepertinya sama.
Tanpa roadmap yang jelas, pemecatan STY dan penunjukan pelatih baru Timnas Indonesia itu nggak akan ada artinya, PSSI!
“Sebagaimana jangan bertanya kepada perempuan berapa umur mereka dan berapa berat badannya, jangan tanya kepada PSSI tentang apa, mana, dan seperti apa roadmap sepak bola Indonesia.”
Entah mengapa, kata roadmap itu jadi satu hal yang sensitif bagi PSSI. PSSI kalau ditanya soal roadmap sepak bola Indonesia selalu ngeles kayak bajaj. Nggak pernah bisa menjawab dengan benar, malah mengerahkan buzzer untuk turun tangan, nyapuin semuanya. Coba saja tanya ini kepada Erick Thohir atau Arya Sinulingga.
Padahal, sebagaimana yang dilakukan federasi sepak bola di negara lain, roadmap itu hal yang krusial, vital, dan fundamental yang harus dibuat PSSI selaku federasi untuk melangkah dan menentukan apa yang harus dilakukan dan dicapai dalam kurun waktu tertentu. Roadmap ini juga harus disampaikan ke publik, termasuk kepada pelatih, pemain, dan seluruh insan sepak bola. Nyatanya? Nol besar. Tidak ada yang tahu apa, di mana, dan seperti apa roadmap sepak bola Indonesia. Gaib.
Kegaiban dan ketidakjelasan roadmap sepak bola Indonesia itulah yang bikin sepak bola Indonesia secara keseluruhan itu seperti kelinci yang tersesat di hutan. Nggak jelas dan nggak tahu mau ke mana. Sudah tidak punya roadmap yang jelas, tapi penginnya mau sukses besar. Benar-benar nggak tahu diri.
Maka dari itu, pemecatan STY dan penunjukan pelatih baru timnas Indonesia (Patrick Kluivert, jika benar sebagaimana yang dikabarkan Fabrizio Romano), sepertinya nggak akan punya pengaruh yang signifikan, nggak akan membawa perubahan yang berarti, nggak ada artinya. Sebab siapapun, mau STY, Patrick Kluivert, atau bahkan Pep Guardiola, jika disuruh melatih sebuah tim nasional yang federasinya tidak punya roadmap yang jelas, yang sepak bolanya hanya jadi alat politik, nggak akan membawa banyak perubahan. Percuma. Sama saja.
Timnas tanpa roadmap yang jelas dari federasi kok mau berharap lolos Piala Dunia. Kejauhan, Kisanak! Mimpi di siang bolong itu namanya. Mending benturkan kepalamu ke ujung kaki meja saja biar waras sedikit.
Sak karepmu, lah, PSSI
Sekarang STY sudah dipecat, dan Patrick Kluivert kemungkinan besar akan menggantikan posisi STY di bangku pelatih timnas Indonesia. Patrick Kluivert (atau siapapun, lah, nanti pelatih timnas Indonesia yang baru) setidaknya punya satu tugas berat: menuntaskan kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia ronde ketiga. Harapannya? Tentu saja bisa lolos ronde keempat.
Namun, ini jauh dari kata mudah. Pemecatan STY ini selain bikin tubuh timnas Indonesia jadi goyah, juga bikin harapan masyarakat Indonesia seakan runtuh. Kita tahu, di bawah asuhan STY, harapan timnas Indonesia bisa lolos ke ronde keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia masih terbuka lebar, apalagi setelah mengalahkan Arab Saudi. Kini, dengan pelatih baru, yang mana harus memulai semuanya dari nol lagi, harapan itu sepertinya tidak selebar dulu.
Kita tunggu saja nanti bagaimana hasilnya di bulan Maret. Intinya, kita sebagai pendukung timnas Indonesia akan lebih legowo kalau timnas Indonesia di tangan STY tidak lolos kualifikasi Piala Dunia ketimbang tidak lolos dengan pelatih baru. Kita lebih bisa menerimanya.
Terakhir, terima kasih, coach Shin Tae-yong. Terima kasih untuk semuanya. Dan shame on you, PSSI, sudah membuat benang yang mulai terurai menjadi kusut lagi. You’re all disgrace.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Minta Shin Tae-yong Out? Kok Lucu Sampean