Lamongan Tak Butuh Diromantisasi, Apalagi Dibandingin Sama Jogja

Lamongan (Unsplash.com)

Lamongan (Unsplash.com)

Tulisan ini lahir berkat curhatan Mas M. Afiqul Adib soal Lamongan dan jogja. Dia membuat judul seperti ini: “4 Hal yang Bikin Saya Bangga Jadi Warga Lamongan”. Tulisan satire kelas dewa ini berusaha membandingkan Lamongan dengan Jogja. Sebuah usaha yang, menurut saya, nggak perlu dilakukan.

Saya orang Lamongan asli. Lahir, makan, tidur, dan bersujud di tanah ini. Menurut saya, Mas Afiqul Adib, sangat tidak elegan membandingkan tanah kelahiran kita dengan Jogja. Alih-alih mau bangga jadi warga Lamongan, ujungnya malah nyinyirin kota atau provinsi lain yang sudah sangat sering disuarakan. Ngapunten, basi, Mas!

Kita bedah satu per satu ya, berdasarkan “keluhan” dari Mas Afiqul Adib.

Pertama, soal UMR. Sudah jadi rahasia umum kalau Jogja, dengan segala polesan dan romantisasinya, menyimpan masalah di aspek UMR. Rendah banget, kan kalau dibandingkan sama Lamongan. Kenapa bisa berbeda dan tidak pas kalau dibandingkan?

Lamongan itu statusnya kawasan penyangga industri. Oleh sebab itu, UMR di sini ramah sama pekerja karena jadi penyokong kota industri lainnya, misalnya Surabaya. Makanya, nggak heran kalau gaji di sini lebih baik ketimbang Jogja.

Sementara itu, Jogja, bukan termasuk kawasan industri. Pada dasarnya, provinsi/kota tersebut memang tidak diperuntukan untuk industri. Mereka lebih condong ke pariwisata. Jadi, kalau membandingkan keduanya ya jelas nggak apple to apple. Kalau mau membandingkan itu mbok ya yang seimbang. Misalnya, Mojokerto dengan Jombang.

Kedua, soal keamanan. Iya, memang marak klitih di Jogja. Dan sampai tulisan ini selesai dibuat, kok rasanya belum ada solusi yang sempurna. Imbauan soal jam malam itu saya rasa nggak akan efektif. Namun, di tengah masalah keamanan tersebut, nggak elok membandingkan keamanan di Jogja dengan Lamongan.

Lamongan memang nggak sempurna, kok. Masih ada isu keamanan di sini. Kita akui saja. Iya, di daerah kelahiran kita memang nggak ada klitih (mungkin ada tapi pakai nama lain). Namun, di sini masih terjadi pengeroyokan samai tawuran warga, terutama mereka yang tergabung dalam kelompok tertentu. Kamu pasti tahu maksud saya.

Jadi, kalau mau ngomongin soal keamanan, mari lihat ke dalam daerah sendiri dulu. Masih belum percaya? Mas Afiqul Adib harus sering-sering ngopi di Pasar Burung atau di Agrobis. Saya temani, deh, kalau mau.

Ketiga, soal alun-alun. Kata Mas Afiqul Adib, alun-alun di Lamongan itu terbuka untuk umum, sedangkan di Jogja tertutup pagar. Yah, soal pagar, memang benar adanya. Namun, Jogja tentu punya alasannya sendiri dan sah-sah saja kalau orang mengkritiknya.

Satu hal yang saya soroti adalah tidak ada hal yang sempurna, Mas Afiqul Adib. Alun-alun di kabupaten kita nggak sempurna. Coba amati lampu-lampu yang mirip dengan lampu-lampu Malioboro-nya Jogja. Saking miripnya, banyak yang menganggap itu jiplakan dari Malioboro.

Padahal, Lamongan pasti nggak kekurangan seniman atau desainer yang mungkin bisa diminta tolong membuat desain lampu kota. Namun, nyatanya, kan, nggak… setahu saya, sih.

Terakhir, Mas Afiqul Adib bilang Lamongan nggak bisa diromantisasi kayak Jogja. Mas Afiqul Adib yang baik, memang tidak semua kota, kabupaten, atau provinsi bisa diromantisasi. Bahkan, sebetulnya, hal-hal absurd kayak gitu nggak perlu dilakukan.

Lha wong tanpa romantisasi, Lamongan itu sudah “romantis” dengan caranya sendiri. Misalnya dari masyarakat dan makanannya.

Contohnya ada di kutipan Mas Ali Ma’ruf. Beliau bilang gini: “Jika saja cinta semudah menemukan pecel lele Lamongan, bukankah lebih mudah memesan hati, kemudian cuci tangan dari semua kenangan di kobokan?” 

Kamu juga bisa menemukan romantisnya Lamongan dari puisinya Beni Satrio yang berjudul “Tenda Biru”. Liriknya begini: “Pergilah! Kejarlah keinginanmu untuk menjadi bakul pecel lele. Saat air kobokan di meja-mejamu mulai keruh, kenang, kenanglah aku. Sebagai kemangi yang mulai layu.”

Nggak semua hal harus romantis. Terkadang, cukup bikin bahagia saja sudah sangat istimewa. Kelak, secara otomatis, dari kebahagiaan itu muncul percik-percik romantis dari sebuah daerah.

Penulis: Muhammad Rizal Firdaus

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Fakta Keliru Terkait Semarang yang Telanjur Dipercaya Banyak Orang.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version