Petualangan saya merantau dari Surabaya ke Medan dipenuhi lika-liku. Perbedaan budaya di sana kelewat mencolok dengan kota kelahiran saya, Surabaya. Gegar budaya alus culture shock pun tak terhindarkan. Ada banyak sekali perbedaan yang terasa mulai dari variasi etnis, bahasa, hingga suasana kotanya. Namun, dari sekian banyak perbedaan tadi, tidak ada yang paling mengagetkan daripada kondisi lalu lintasnya.Â
Hanya dalam waktu 4 hari, saya bisa mengonfirmasi konten-konten di media sosial soal barbarnya pengendara di Medan. Itu 100 persen benar, tanpa difabrikasi. Jujur saja, awalnya saya masih bisa berkhusnudzon. Meyakinkan diri bahwa apa yang dilihat melalui layar ponsel tidak seburuk kenyataan. Namun, semua itu buyar sesampainya saya di Medan.Â
Pertama kali sampai Medan langsung disambut klakson
Saya masih ingat betul momen pertama kali menapakkan kaki keluar Stasiun Medan setelah naik KA Bandara dari Bandara Kualanamu. Langkah pertama saya di Medan disambut suara klakson yang saling sahut-sahutan.
Fenomena saat itu terlihat sangat ganjil mengingat kondisi Jalan Jawa, jalan di depan Stasiun Medan, sedang lengang. Tidak tampak ada tumpukan kendaraan apalagi kemacetan sejauh mata memandang. Anehnya, banyak pengendara yang saat mau berhenti di depan stasiun atau kembali masuk ke jalan, malah sibuk membunyikan klakson.Â
Kejanggalan soal klakson tidak berhenti sampai disana. Menurut pengamatan saya, banyak pengemudi ojek online yang terbilang rajin membunyikannya. Memang ada momen klakson dibunyikan dengan alasan terbilang masuk akal, misalnya saat melintasi tikungan atau perempatan. Apalagi di sekitaran daerah Kesawan Kota Tua, tempat saya tinggal sementara, tidak banyak lampu merah di luar jalan utama. Tapi selebihnya, banyak momen-momen yang sama sekali sulit dilogikakan.
Baca halaman selanjutnya: Perlilaku saat …




















