Lakon-lakon Gugat dalam Wayang, Simbol Kesetaraan dalam Keadilan

Lakon-lakon Gugat dalam Wayang, Simbol Kesetaraan dalam Keadilan terminal mojok.co

Lakon-lakon Gugat dalam Wayang, Simbol Kesetaraan dalam Keadilan terminal mojok.co

Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki kemerdekaan untuk menyuarakan aspirasi dan unek-unek dalam lisan maupun tulisan. Sepanjang upaya dan cara yang digunakan dalam penyampaian aspirasi tersebut adalah cara yang tepat dan benar, sah-sah saja jika ada pendapat, kritikan, usulan, baik yang sifatnya langsung maupun tidak langsung.

Saluran yang digunakan untuk melakukan perubahan melalui penyampaian gagasan bisa bermacam-macam, tergantung apa yang disampaikan dan siapa penggunanya. Bahasa yang digunakan pun bisa bermacam-macam, bisa melalui anekdot, satir, atau gaya bahasa lainnya.

Sebagai bagian dari sarana untuk menyampaikan gagasan, sering kali pertunjukan seni juga menjadi sarana untuk mengeluarkan aspirasi terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Walaupun sifatnya tersandi dalam bentuk yang cukup abstrak, tetapi kritik dalam seni memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak hanya kritik, dalam seni juga terdapat unsur perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan keadilan.

Lakon-lakon wayang yang bernuansa gugatan merupakan perwujudan di mana kebenaran memang harus diletakkan dalam kerangka yang semestinya. Tidak peduli siapa yang salah, apakah raja, kesatria, atau rakyat jelata. Bahkan dewa sekalipun bisa terkena gugatan jika apa yang dia lakukan memang benar-benar salah.

Ada banyak sekali lakon-lakon yang bernuansa gugatan yang sering dipentaskan, seperti Wisanggeni Gugat, Antasena Gugat, Bagong Gugat, dan sebagainya. Ada juga lakon gugat yang penyampaiannya lebih halus seperti Semar Maneges atau Anoman Maneges. Selain lakon-lakon tersebut, masih ada lagi lakon wayang yang bernuansa gugatan seperti Gathutkaca Winisuda atau Wahyu Topeng Waja.

Dalam pagelaran wayang, rata-rata para dewa di kayangan sering digugat oleh rakyatnya sendiri karena ketidakadilan. Misalkan dalam lakon Wahyu Topeng Waja, sebenarnya wahyu tersebut diberikan kepada Gathutkaca lantara jasanya kepada Kayangan Suralaya karena ia berhasil meredam pemberontakan. Akan tetapi, dewa-dewa di kayangan justru memberikan wahyu tersebut kepada Boma karena intrik politik Kresna. Wisanggeni geram dengan ulah para dewa yang terkesan inkonsistensi terhadap janjinya.

Kemarahannya diluapkan dengan menghajar beberapa dewa yang sengaja berkoalisi dengan Kresna. Bagi Wisanggeni, dewa sebagai panutan rakyat harus memberikan teladan yang baik. Dalam memberikan sesuatu anugerah, harus kepada yang berhak menerimanya. Jika dalam istilah Jawa, jangan sampai para dewa bersifat “emban cindhe emban siladan”, jangan memandang sesuatu dari sebelah mata.

Tidak hanya sekali Wisanggeni menggugat ketidakadilan. Dia pernah menggugat Duryudana di Astina untuk memberikan takhta kerajaan kepada Pandawa. Tindakan serupa juga pernah dilakukan oleh Antasena walaupun motifnya berbeda. Mereka berdua dibantu Anoman dan Setyaki berusaha mengalahkan prajurit Kurawa walaupun harus kalah karena ulah Bathari Durga yang melindungi Kurawa.

Jangan dikira Puntadewa yang pendiam dan penyabar itu tidak pernah menggugat para dewa. Dalam lakon Pandu Swarga, para Pandawa menuntut balas atas dakwaan kepada Bima yang dianggap salah karena telah menjelaskan ilmu sejati. Yang dimaksud ilmu sejati dalam pandangan Bima adalah tidak ada kekuasaan yang absolut. Kebenaran dan kekuasaan yang hakiki pasti ada yakni milik Tuhan. Manusia dan makhluk sekadar diberikan amanah untuk mengelola kekuasaan itu dengan baik.

Lantaran para dewa tahu pendapat Bima ini, langsung memerintahkan Yamadipati untuk menjebloskan Bima ke dalam Kawah Candradimuka. Ketiga saudaranya, Arjuna dan si Kembar, mengikuti Bima ke kayangan karena apa yang disampaikan kakaknya itu memang benar. Adanya masalah yang bertubi-tubi, derita, serta tekanan batin yang amat kuat menjadikan Puntadewa yang berdarah putih itu naik pitam. Dia berubah menjadi raksasa sebesar gunung dan mengobrak-abrik kayangan.

Gugatan ini juga pernah dilakukan oleh Semar dan Anoman. Bedanya dengan tokoh-tokoh muda, mereka berdua sebagai golongan tua lebih suka mengajukan banding kepada Hyang Padawenang sebagai dewa tertinggi di Suralaya. Mereka berdua sebenarnya tidak terlalu suka dengan kericuhan dan memilih jalan halus untuk mendapatkan keadilan atas kesewenang-wenangan Batara Guru dan Batari Durga. Dengan negosiasi dan argumentasi, Semar melaporkan apa adanya sehingga Bathara Guru pun menerima konsekuensi atas ketidakadilannya.

Saat ini, kita dihadapkan pada pro-kontra Omnibus Law UU Ciptaker. Lantas, bagaimana cara yang terbaik bagi kita dalam menyampaikan pendapat dan unek-unek yang ada? Setidaknya, ada dua pilihan. Apakah kita akan menjadi sosok generasi muda semacam Wisanggeni, Antasena, atau Puntadewa? Ataukah menjadi sosok Semar dan Anoman? Kita kembalikan kepada diri kita masing-masing.

BACA JUGA Nilai-nilai Kehidupan yang Bisa Dipetik dari Peralatan Pagelaran Wayang dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version