Persaingan dunia pendidikan yang begitu ketat mendorong orang tua memberikan fasilitas yang terbaik untuk buah hati. Mendaftarkan mereka ke tempat les Kumon adalah salah satunya. Tempat les yang berasal dari Jepang itu memang begitu terkenal di Indonesia. Selain kurikulumnya yang unik dan teruji, jenama ini begitu melekat karena sudah hadir sejak tahun 90-an.
Selama puluhan tahun nama Kumon memang cukup harum di kalangan para orang tua. Namun, tempat les ini justru jadi momok bagi beberapa muridnya. Bukan karena fasilitas dan kualitas pengajaran yang ditawarkan ya. Selidik punya selidik, beberapa murid yang merasa Kumon menyeramkan karena terpaksa ikut. Iya, tidak sedikit murid yang ikut les karena orang tuanya yang terlalu semangat mendaftarkan.
Daftar Isi
Tempat les yang menjelma menjadi momok bagi banyak orang
Sudah terlalu sering saya temui orang-orang yang mengaku trauma ikut les Kumon. Bahkan, saking sudah jadi momok bagi sebagian orang, ada meme menggelitik soal logo Kumon. Bagi yang belum tahu, logo tempat les ini adalah tulisan Kumon dengan lambang wajah yang terkesan flat di huruf “O” itu. Di mata netizen, wajah flat itu adalah gambaran murid yang tertekan karena banyak PR.
Selidik punya selidik, akar trauma ikut Kumon bukan karena PR-nya yang terkenal banyak atau faktor belajar mengajar lain. Kebanyakan menganggap Kumon sebagai momok karena dipaksa orang tuanya ikut.
Batin saya, pantas saja mereka begitu kesal dengan Kumon. Sejak mendaftar ternyata sudah terpaksa. Percayalah, apa saja yang dimulai dengan keterpaksaan hanya menghasilkan hal negatif, apalagi ketika masih anak-anak. Ujung-ujungnya kemampuan belajar anak nggak akan berkembang signifikan karena nggak menikmati prosesnya.
Jadi mau sebaik apapun kurikulum, pengajar, fasilitas yang diberikan Kumon. Selama murid yang mendaftar terpaksa dan nggak happy. Hasilnya nggak akan maksimal. Bahkan, bukan tidak mungkin malah melorot.
Tiap anak unik dan nggak semua anak cocok dengan gaya belajar Kumon
Saya percaya setiap anak memiliki gaya belajar dan daya tangkap yang berbeda-beda. Kumon yang mengedepankan belajar dengan pendekatan terstruktur dan berkelanjutan mungkin cocok untuk beberapa anak. Namun, nggak sedikit yang memerlukan cara belajar yang lebih fleksibel atau perlu bimbingan lebih intensif. Sekali lagi, setiap anak itu berbeda dan punya belajar yang unik pula, sulit untuk dipukul rata.
Itu baru dilihat dari cara belajar ya, belum minat dan bakat. Bisa jadi seorang anak memang tidak unggul secara akademis, tapi unggul di bidang lain. Hal inilah yang seharusnya lebih dipahami oleh para orang tua. Jangan memaksakan anak unggul pada hal-hal yang bukan minat dan bakatnya. Si anak malah bisa frustasi.
Orang tua perlu menjajal program trial
Saya memahami, orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Mendaftarkan anak ke tempat les Kumon adalah salah satunya. Mungkin keinginan itu tidak terbendung karena peer pressure alias orang tua lain juga mendaftarkan anaknya ke sana. Kalau sudah menyangkut kondisi sosial ini, memang sulit untuk mengatasinya. Sekalipun orang tua tahu kalau anaknya nggak berbakat di bidang akademis, mereka tetap akan mendaftarkannya.
Itu mengapa, saya sarankan orang tua sejenis ini untuk menjajal program trial class dari Kumon. Sayangnya banyak orang tua yang kurang mengetahui program ini. Kumon, menyediakan trial class yang dapat diikuti semua anak dan gratis. Trial class ini bertujuan agar anak dan orang tua tahu bakat dan metode anak. Nah, setelah ikut kelas ini baru putuskan lanjut mendaftar di Kumon atau tidak.
Kelas uji coba ini memang terbuka secara umum dan tidak dituntut untuk harus mendaftar. Trial class ini dilakukan 2 kali selama seminggu. Dengan trial class anak sebagai subjek yang akan melakukan pembelajaran bisa dimintai pendapat apakah nyaman belajar di kumon atau tidak.
Kumon memang berkualitas. Metode belajarnya teruji sekaligus bisa melatih kedisiplinan Namun, nyatanya, tidak semua anak cocok dengan metode tersebut. Di sini orang tua mengambil peran penting dengan lebih mengenali minat dan bakat anak. Setelahnya mengambil keputusan yang tepat untuk anak, bukan berdasar gengsi, tapi berdasar kebutuhan buah hati.
Penulis: Nurul Fauziah
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.