Kalau bicara tentang Kulon Progo, biasanya orang akan ingat pada Bandara YIA dan Pantai Glagah. Ya, nggak salah sih. Aku percaya setiap daerah punya caranya sendiri buat bicara. Ada yang lewat musik, ada yang lewat wisata, ada yang lewat sejarah. Tapi Kulon Progo? Ia memilih bicara lewat kopi—lebih tepatnya kopi Menoreh.
Kopi ini lahir dari tanah yang keras, dari petani yang tidak banyak gaya, dari lereng yang dingin tapi tidak penakut. Kopi yang tidak berisik mempromosikan diri, tapi pelan-pelan bikin orang bertanya: “Ini kopi dari mana? Kok karakternya berani?”
Menoreh: lereng yang menumbuhkan watak, bukan sekadar biji
Ada dua jagoan besar dari Menoreh: Robusta Menoreh dari Girimulyo & Samigaluh dan Arabika Menoreh dari Suroloyo. Kalau kamu mengira robusta selalu identik dengan pahit dan getir, kamu belum kenal Menoreh. Robusta Menoreh tubuhnya tebal, tapi tidak brutal. Ada aftertaste cokelat gelap, kadang nutty, kadang herbal, dan bersih di tenggorokan. Sementara arabika Suroloyo tidak sok-sok floral seperti kopi dataran tinggi lain yang suka memaksa jadi wangi. Karakternya dewasa: acidity lembut, aroma kayu dan rempah, tenang tapi berkesan.
Dan ini tidak muncul tiba-tiba. Menoreh memberi “madrasah” bagi kopinya: tanah kaya mineral, kabut pagi yang sering turun, pohon penaung yang menjaga kelembapan, dan kebun-kebun yang tersebar di lereng yang bikin dengkul gemetar kalau naik sedikit saja. Kopi di sini tidak tumbuh di kemudahan, tapi justru di kesabaran.
Enaknya, tapi kenapa jarang ditemukan di kafe?
Kita tahu, Yogyakarta dan kopi tidak bisa dipisahkan. Tanpa coffee shop, pemuda Sleman bisa gila, kata Prabu. Tapi, hampir jarang kita temukan kopi Menoreh di coffee shop di Jogja. Pertanyaan yang sering mampir ke kepala banyak orang: “Kalau kopi Menoreh enak, kenapa jarang ada di menu kafe-kafe Jogja?”
Jawabannya bukan soal rasa. Masalahnya ada di rantai produksi.
Dalam satu obrolan kopi bersama pelaku kopi lokal seperti Mas Fajar (Inspicoffee), Mas Ai (petani & prosesor), Mas Taufik (Toska Kahve), dan Mas Alfian Basith (home brewer/Kawan Ngopi), mereka sepakat: Kopi Menoreh kalah bukan karena rasa—tapi karena produktivitas dan konsistensi.
Masalah hulunya serius: panen merah (red cherry) masih belum jadi budaya wajib, tenaga pascapanen terbatas, fasilitas pengolahan belum merata, produksi kadang naik turun tergantung musim, kualitas belum stabil untuk memenuhi pasar besar
Jadi kalau kamu jarang menemukan tulisan “Menoreh beans available” di papan kafe, bukan karena peminatnya tidak ada. Tapi, karena kopinya memang belum cukup kuat diproduksi massal. Ironis? Iya. Tapi justru itu yang bikin kopi Menoreh menarik: dia belum jadi komoditas. Dia masih jadi perjuangan.
Kopi Menoreh adalah perjalanan panjang. Dimulai dari kebun yang akses jalannya kadang lebih layak disebut pendakian ringan daripada “jalan desa”. Setelah dipetik, butuh proses yang teliti: pulping, fermentasi, washing, drying, roasting, dan akhirnya diseduh.
Tapi rantainya tidak berhenti di situ. Kopi hanya bisa hidup kalau ada budaya yang menopang. Dan Menoreh—meski senyap—punya itu. Ada yang turun ke hulu mendampingi petani, ada yang membangun roastery, ada yang menjaga edukasi brewing, ada yang sekadar ngopi sambil cerita, tapi justru menciptakan ruang pertemuan. Dari situlah ekosistem kopi Menoreh tumbuh.
Anak muda dan Kopi Menoreh: perlawanan yang rasional
Kopi Menoreh hari ini mungkin belum menang di pasar nasional, tapi ia menang di hal lain: hati anak-anak mudanya. Orang mungkin menganggap tren home brewing cuma gaya-gayaan. Tapi dari sanalah muncul kesadaran baru: bahwa kopi bukan sekadar minuman, tapi kebudayaan kerja.
Dari energi anak muda lokal yang bikin acara kopi, kelas seduh, sampai bincang soal pascapanen—kopi Menoreh jadi tema yang serius tapi tetap cair. Obrolan tentang varietas, fermentasi, atau roast profile bisa dibahas sambil tetap bercanda soal kehidupan. Begitulah kopi bekerja: menghubungkan yang hulu dengan yang hilir, yang serius dengan yang santai, yang idealis dengan yang realistis.
PR Kopi Menoreh masih banyak
Tapi perjalanan kopi Menoreh belum selesai. Justru di balik semua pencapaian, masih ada pekerjaan rumah yang menunggu dijinjing bareng-bareng. Hilirisasi, misalnya, masih terseok di tengah jalan. Banyak petani yang sudah bisa menyangrai kopi, tapi berhenti di situ karena tak tahu bagaimana memasarkan produknya. Branding juga masih jadi PR. Kemasan kopi kadang masih tampak seadanya, kalah ngegas dibanding kopi-kopi kota yang modal tipografinya saja sudah bikin dompet merinding ingin belanja.
Dan soal pasar, ini lebih pelik lagi. Potensi besar, iya. Tapi konsistensi distribusi dan akses promosi masih jadi tembok yang harus ditembus pelan-pelan.
Orang kota mungkin sibuk ribut soal origin Ethiopia, Guatemala, atau Colombia. Tapi aku percaya, loyalitas rasa lahir dari kedekatan cerita. Dan kopi Menoreh punya itu. Ia tidak kompleks berlebihan, ia punya identitas.
Suatu hari, mungkin kopi Menoreh akan hadir di lebih banyak kafe di luar Jogja. Mungkin ia akan masuk pasar nasional. Mungkin ia akan ikut kompetisi kopi. Tapi buatku, hal paling penting dari kopi Menoreh bukan masa depannya—melainkan cara ia bertahan hari ini.
Karena setiap kali aku meneguk kopi dari lereng Menoreh, selalu ada rasa yang sama: sederhana, jujur, tapi penuh perlawanan. Kopi ini tidak mengejar sensasi. Ia cukup jadi dirinya sendiri. Dan itulah yang membuatnya layak dihormati.
Jadi lain kali kalau kamu ke Kulon Progo, jangan cuma cari pantai. Duduklah sebentar di kedai kecil yang menyeduh kopi Menoreh. Hirup aromanya. Seruput pelan. Dan kamu akan paham, tanah ini tidak hanya menumbuhkan kopi. Ia, tanpa sadar, menumbuhkan harapan.
Penulis: Nur Anisa Budi Utami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kulon Progo Sepi, tapi Punya Pesona Tersendiri
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















