Siapa sangka monumen kereta rel diesel yang berada di Stasiun Lempuyangan adalah cikal bakal Prameks. Kereta itu bernama Kuda Putih.
Ada satu kereta antik di timur Stasiun Lempuyangan yang cukup menarik perhatian saya. Saya pertama kali melihatnya waktu masih kecil. Saat itu, saya kerap berwisata di palang pintu kereta api di bawah Flyover Lempuyangan. Kemudian saya jadi sering melihat kereta antik itu saat bolak-balik naik KRL Jogja-Solo. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, kereta apa itu. Setelah dewasa, saya baru tahu kalau itu adalah salah satu kereta legendaris di Indonesia.
Daftar Isi
Sejarah kereta rel diesel di Indonesia
Cerita soal kereta rel diesel dan Kuda Putih berawal pada tahun 1960-an di mana saat itu dunia kereta api Indonesia dimodernisasi. Lokomotif dan rangkaian gerbong baru didatangkan. Fasilitas baru ini membuat penumpang senang dan operasional jadi lebih efisien.
Kemudian tepat pada tahun 1962, Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) melakukan terobosan baru dengan mendatangkan 10 unit kereta rel diesel (KRD) dari Jerman. KRD adalah kereta penumpang yang punya mesin diesel penggeraknya sendiri. Biasanya kan kereta harus ditarik dengan lokomotif, tapi KRD nggak begitu.
Kereta rel diesel ini punya desain keren pada zamannya dengan bodi berbahan stainless steel serta livery berupa corak garis biru elegan dan logo roda sayap khas PNKA di mukanya. Dari 10 kereta tersebut, 3 unit adalah kereta kelas 1 yang memiliki kapasitas 50 tempat duduk dan 7 unik kereta kelas 2 dengan kapasitas 93 tempat duduk. Kereta ini bisa berjalan dengan kecepatan 90 kilometer per jam.
Awalnya, kereta rel diesel dioperasikan sebagai kereta ekspres Jakarta-Bandung dan sebagai kereta lokal di wilayah Bandung Raya. Tapi pada akhir tahun 1960-an, semua unit KRD dipindahkan ke wilayah Jawa Tengah dan beroperasi di daerah Solo-Jogja-Kutoarjo. Bahkan daerah operasionalnya pernah diperpanjang sampai Madiun dan Purwokerto serta Cilacap.
Diberi nama Kuda Putih karena ornamen kuda berwarna putih pada bagian depan kereta
Barulah saat beroperasi di jalur tersebut, tiap unik kereta rel diesel diberi ornamen dua ekor kuda berwarna putih pada bagian depan. Makanya kemudian kereta ini akrab disebut kereta Kuda Putih. Kuda Putih juga kerap dipanggil Kereta Pelajar karena penumpangnya biasanya para pelajar dari Solo atau Kutoarjo yang mau sekolah ke Jogja. Selain itu, kereta ini jadi andalan bagi para pedagang dari luar Jogja untuk mengangkut barang dagangan mereka.
Kuda Putih kemudian menjadi ciri khas dan ikon bagi perkeretaapian di Jawa Tengah bagian selatan, terutama sebagai kereta lokal di lintas Solo-Jogja-Kutoarjo. Nggak berlebihan kalau menyebut kereta rel diesel ini sebagai nenek moyang dari Prambanan Ekspres atau Prameks yang melegenda itu.
Di sisi lain, kereta rel diesel rupanya kurang nyaman. Perjalanan Solo-Jogja pada waktu itu ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Lumayan lama, ya. Selain itu, kereta Kuda Putih juga kerap mengalami kendala teknis bahkan sampai mogok karena kurang perawatan dan sulitnya mendapatkan suku cadang di sini. Akhirnya, semua unit kereta Kuda Putih turun kelas jadi kelas 3.
Akhirnya jadi kereta biasa yang ditarik menggunakan lokomotif
Kondisi tersebut terus memburuk. Sampai akhir tahun 1980-an, mesin kereta rel diesel dibiarkan mati begitu saja dan dijadikan kereta biasa yang ketika jalan harus ditarik dengan lokomotif. Pada akhirnya, kereta Kuda Putih dibiarkan mangkrak dan dirucat jadi besi tua. Mengakhiri kisah KRD pertama di Indonesia yang usianya termasuk pendek ini.
Meskipun kereta Kuda Putih menghilang, kereta rel diesel terus bertambah dengan adanya KRD produksi Jepang yang didatangkan oleh PJKA. Barulah pada tahun 1994 kereta api Prameks muncul sebagai penerus dari Kuda Putih sebagai kereta lokal jalur Solo-Jogja-Kutoarjo. Dan akhirnya Prameks pada tahun 2000-an menggunakan KRD baru dari PT INKA.
Untungnya ada satu kereta Kuda Putih yang masih bisa diselamatkan. Setelah bertahun-tahun mangkrak di depo lokomotif Stasiun Solo Balapan, Kuda Putih kemudian dipindahkan ke Stasiun Lempuyangan untuk dijadikan monumen. Kereta itu lalu dipercantik tampilannya agar mirip seperti pada masa jayanya. Dan sekarang, kita bisa melihat nenek moyang Prameks di timur Stasiun Lempuyangan.
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Prameks, Kereta Api Andalan Warga Jogja-Solo yang Berulang Kali Revolusi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.