Hampir di setiap Ramadan semua channel televisi berlomba-lomba menayangkan program-program khusus Ramadan. Mulai dari sinetron (yang mungkin agak absurd) hingga acara entertainment lainnya. Preman Pensiun mungkin salah satu program televisi yang identik ditayangkan di bulan Ramadan. Preman Pensiun saat ini sudah mencapai season 5, tidak termasuk layar lebarnya. Ceritanya mungkin sudah diketahui banyak orang, tentang kisah kehidupan preman di Kota Bandung dengan dibumbui komedi dan drama.
Di season 5 ini beberapa pemain lama masih tampak eksis seperti Kang Mus, Ujang, Cecep, Kang Murad, dan tentunya Saep, bos copet. Ceritanya pun masih hampir sama yang berkisar antara kehidupan pasar, terminal, dan jalanan, namun dengan beberapa tambahan cerita seperti bisnis kicimpring Kang Mus.
Sejak season 1 hingga season 5, Preman Pensiun selalu mendapat sambutan yang baik dari para penggemarnya. Bahkan di season 5 ini, yang ditayangkan pada saat jam sahur. Netizen mendesak agar ditayangkan di jam menjelang berbuka atau bis dikatakan di waktu prime time. Namun ya kembali lagi, sepertinya hingga akhir Ramadan ini, keinginan netizen tersebut belum terpenuhi. Tapi tidak masalah, karena yang akan dibahas di sini adalah kritik sosial yang ada dalam serial Preman Pensiun 5 ini.
Sebenarnya setiap karya termasuk film dan sinetron bisa jadi media kritik sosial yang cukup ampuh, apalagi tidak dapat dipungkiri dua media ini bisa dikatakan media yang paling akrab dengan masyarakat. Preman Pensiun memiliki banyak penggemar karena bisa jadi masyarakat merasa relate dengan cerita yang diangkat. Setidaknya ada tiga kritik sosial yang diangkat dalam cerita Preman Pensiun 5.
Pengangguran
Sepertinya sudah menjadi sesuatu yang umum diketahui masyarakat, bahwa pengangguran akan dekat dengan apa yang mungkin dinamakan kriminal. Di serial Preman Pensiun 5 sangat jelas mengangkat isu ini, seperti perekrutan calon-calon preman baru oleh Bang Edi (salah satu bos preman baru) menyasar kepada mereka yang masuk dalam kategori ini walaupun nyatanya yang direkrut tidak cukup layak dianggap sebagai preman (karena tidak punya nyali).
Scene lain yang menggambarkan ini adalah perekrutan copet baru oleh Saep si bos copet yang selalu menekankan bahwa kriteria untuk menjadi copet adalah pengangguran, miskin, dan lemah iman. Pengangguran sebenernya bukan tanggung jawab pemerintah semata akan tetapi masyarakat. Mereka yang selalu berpikir kreatif dan punya keinginan untuk berubah selalu ada jalan untuk keluar dari jurang kriminal akibat pengangguran seperti kang mus dengan usah kicimpringnya atau beberapa copet yang tobat dari dunia percopetan.
Politik dan premanisme
Dua hal ini mungkin sesuatu yang baru yang coba diangkat sutradara dalam Preman Pensiun 5. Dua hal ini kemudian digambarkan sangat erat kaitannya dengan masuknya Bang Edi (bos preman baru) yang diceritakan telah menguasai wilayah jalanan. Bang Edi karena berambisi menjadi anggota dewan kemudian mencoba ekspansi ke terminal dan pasar untuk mendapatkan modal yang lebih banyak. Selain itu, kehidupan preman yang keras dan saling sikut agaknya bisa dijadikan gambaran kehidupan politik kita yang tidak jauh beda.
Budaya kekerasan
Premanisme memang identik dengan budaya kekerasan. Beberapa scene Preman Pensiun 5 mengangkat cerita saling sikat demi merebut kekuasaan antar kelompok preman. Budaya kekerasan ini jika tidak diubah perlahan dikhawatirkan menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. Akibatnya kekerasan menjadi sesuatu yang sering terjadi di masyarakat baik dilakukan oleh negara atau masyarakat sendiri.
Kurang lebih tiga kritik sosial di atas yang diangkat di serial Preman Pensiun, terkhusus Preman Pensiun 5 yang mungkin bisa menjadi pengetahuan baru untuk pembaca sekalian. Kritik sosial ini sebenernya tidak ditujukan kepada pihak manapun. Mungkin lebih tepatnya ditujukan kepada kita semua sebagai penonton agar lebih peka dengan isu di sekitar kita.
BACA JUGA ‘Preman Pensiun’ Mencerminkan Garut sebagai Kota Preman dan tulisan Januardi Panji Sukmawan lainnya.