Yang terhormat saudara/i Nikma Al Kafi, Bersama dengan artikel ini saya ingin menyampaikan tanggapan perihal artikel anda perihal upah rendah di Yogyakarta. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mengaku bahwa gemas ini tidak tertahankan pada artikel yang nggatheli ini.
Dan jika Anda dan segenap pemirsa mengamati karakter artikel saya, sudah pasti anda paham ke mana artikel ini diarahkan. Maka mari saya buka artikel ini dengan “Five, four, three, two, one. Close the door!”
Sebelum lebih jauh, mari kita memahami apa itu upah minimum. Toh artikel Anda menyoroti perihal itu kan? Patut kita pahami bersama, upah minimum bukanlah instrumen kesejahteraan, melainkan instrumen untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan layak.
Apa yang membedakan? Sebenarnya perbedaan hidup layak dan sejahtera berada dalam lingkup “cocok-cocokan”. Bicara kesejahteraan akan sangat personal. Setiap pekerja punya titik kesejahteraan minimal yang berbeda. Misal saya, saya merasa sejahtera ketika bisa memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis saya. Dan mengkritik tulisan Anda adalah bagian dari kesejahteraan saya.
Sedangkan, hidup layak adalah titik terendah seorang bekerja dapat bertahan hidup. Minimal, sandang, pangan, papan, dan segenap penunjang hidup bisa terpenuhi dalam ambang minimal. Maka tidak relevan jika bicara kesejahteraan ketika upah minimum adalah untuk menuju hidup layak.
Mengapa ini sangat penting? Anda harus menengok protes yang disuarakan oleh para pekerja di Jogja. Salah satunya protes satir perihal sultan Jogja harus memarahi gubernur DIY. Perwakilan buruh ini menuntut agar upah minimum Jogja bisa memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) yang mereka ajukan.
Perwakilan buruh ini memandang bahwa KHL yang menjadi dasar penetapan upah minimum 2020 tidak sesuai dengan KHL yang digagas oleh para buruh. Baiklah, kita tidak perlu menakar KHL versi siapa yang tepat. Toh perhitungan KHL tidak dibuka untuk umum dengan berbagai alasan. Padahal, pekerja berhak tahu bagaimana perusahaan bersama pemerintah memandang kelayakan hidup mereka.
Nah, sudah jelas bahwa masalah upah rendah ini memberatkan pekerja. Jadi tidak perlu menggunakan statement masalah kesejahteraan yang berbeda. Hidup layak punya takaran yang pasti, menilik kondisi ekonomi di daerah tersebut.
Apalagi bicara kinerja. Kinerja seseorang tidak menentukan upah minimum yang ditetapkan. Kembali lagi saya ingatkan, upah minimum adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Penghargaan terhadap kinerja tidak menjadi bagian dari upah minimum. Silahkan pelajari perihal UU ketenagakerjaan. Dengan logika kinerja menentukan upah minimum, apakah hanya mereka yang punya kinerja baik (menurut penilaian perusahaan) yang pantas untuk hidup layak?
Bukan berarti saya memandang artikel Anda menyebalkan secara keseluruhan. Saya setuju bahwa para pekerja harus bahu membahu dalam menjamin kesejahteraan bersama. Iklim kerja yang positif ikut menjamin kesejahteraan para pekerja. Dan membangun iklim ini memang menjadi tanggung jawab bersama.
Tapi, perihal adu penderitaan juga perlu diluruskan. Jangan sampai terkesan ada pukul rata dalam kondisi antarpekerja. Jika memang ada penderitaan yang dirasakan, berarti ada problematika yang harus diselesaikan. Jangan sampai dengan menolak adanya penderitaan yang berbeda, malah menjauhkan pekerja dari kehidupan layak dan pantas.
Pemikiran seperti ini adalah akar dari konsep “nrimo ing pandum.” Dan konsep luhur tapi melenceng ini hanya mengerdilkan problematika menjadi penerimaan seperti “hitungannya memang segitu”. Tidak riil dan ra masuk blas!
Tapi, puncak kesebalan saya adalah perkara menempatkan raja sebagai pihak paling menderita. Anda mengungkapkan bahwa raja adalah paling menderita karena menanggung beban dari sekian banyak rakyatnya.
Filosofis sekali. Memang, raja adalah sosok pengayom rakyat. Dan dengan satir anda mengungkapkan bahwa raja harus didukung rakyat untuk melakukan pendekatan kepada gubernur DIY. Ungkapan ini benar-benar adiluhung sampai batasan filosofis saja. Realitasnya?
Mari kita kembali ke realitas. Lupakan dulu semangat ala-ala filsuf pertapa. Bicara penderitaan, bagaimana mungkin Anda menempatkan raja sebagai sosok paling menderita? Bagaimana blio menanggung penderitaan rakyat Jogja? Apakah dengan jargon-jargon dan sabdatama yang menurut adiknya tidak relevan itu?
Perkara upah rendah, yang menderita adalah mereka yang hidup dari upah itu. Para pekerja harus bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan upah rendah adalah halangan besar untuk hidup layak. Jika bicara siapa yang menderita, Stevie Wonder saja bisa melihat bahwa pekerja yang menderita karena upah rendah!
Lalu mengapa harus mengaitkan raja sebagai sosok paling menderita? Yang saat ini kesulitan membayar kos dan menabung untuk masa depan itu pekerja. Abaikan saja nilai-nilai nir-fana itu. Jangan sampai muncul pemikiran bahwa pekerja tidak pantas merasa menderita karena upah rendah hanya karena anggapan raja yang paling menderita secara moral.
Pekerja menanggung derita yang lebih sempurna: menderita secara moril dan materiil. Membiayai hidup sudah susah, masih menanggung cibiran tetangga saat arisan ketika bicara “gaji kamu berapa?”
Tapi, saya hargai pendapat Anda dan perdebatan kedua teman Anda. Namun, jangan lupa, bicara upah rendah adalah bicara tentang kehidupan orang banyak. Maka perlu untuk membuka cakrawala tentang permasalah upah ini. Sekaligus membangun pemahaman mengapa upah rendah menimbulkan penderitaan yang nyata, bukan penderitaan yang kabur dan didasari nilai embuh.
Dan bagi anda semua yang masih berpikir raja menanggung beban, tolong buka mata dan telinga. Lihatlah siapa yang paling dirugikan dari upah murah, dan yang paling banyak mengecam upah murah. Merekalah yang sejatinya merasakan penderitaan nyata dari upah murah!
BACA JUGA Kita Harus Belajar dari Kegagalan Amerika dalam Pelarangan Minuman yang Mengandung Alkohol dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.