Salah satu tanda mendekatnya kiamat lebaran bukan cuma hype-hype ihwal Lailatul Qadr dan zakat fitrah. Tapi juga episode ketiga (epilog) iklan bersambung khas Ramadan dari Sirup Marjan. Btw sebagai pengingat di awal, tulisan ini tidak di-endorse oleh Marjan, pun penulis tidak disewa sebagai buzzer oposisi dari merk-merk kompetitornya.
Jujur, saya merasa iklan Ramadan Sirup Marjan tahun ini kurang ngena. Mulai dari episode pertama yang tayang di awal bulan puasa, sampai episode pungkasan yang menampilkan scene tik-tok an itu. Opini tersebut sebenarnya sekadar buntut dari opini saya yang lain (yang lebih kontroversial): iklan Ramadan Sirup Marjan makin ke sini makin ga ngena. Puncaknya adalah iklan tahun kemarin-–tentang Timun Mas dan Buto Ijo yang kejar-kejaran hampir sebulan penuh–-dan iklan tahun ini-–Purbasari dan Lutung Kasarung.
Saya mencoba menggunakan pendekatan historis-komparatif dalam meninjau permasalahan yang begitu krusial ini. Yaitu dengan membandingkan konsep, teknik, dan hikmah dari iklan khas Marjan tersebut dari masa ke masa.
Sampel saya batasi dalam rentang 10 tahun terakhir, yaitu 2010-2020. Pengambilan sampel tersebut adalah berdasar pada video 20 menit kompilasi iklan Sirup Marjan yang saya temukan di Youtube. Yak, betul! Anda tidak salah. Saya menghabiskan 20 menit menonton video kompilasi iklan sirup.
Adegan nggrujug sirup yang makin sedikit
Jika Anda perhatikan, scene nggrujug (terj: mengguyur) sirup pada tahun ini blas nggak ada. Adegan legendaris sirup yang diguyur ke gelas berisi es itu sama sekali absen di ketiga episode. Kalau seruput-seruput mungkin masih ada namun sangat minimal. Sedangkan untuk yang versi tahun 2019, adegan tersebut masih nampak walau hanya di akhir-akhir.
Beda dengan iklan-iklan di tahun sebelumnya, di mana adegan tersebut ditaruh melimpah di setiap episode. Bahkan di iklan tahun 2010, adegan tersebut lebih mendominasi ketimbang alurnya. Padahal, jujur, adegan mengalir dan menyiramnya sirup marjan itulah yang justru bikin kita-kita yang sedang puasa ini ngeces dan tergoda buat buka sembunyi-sembunyi. Hehehe~
Kurang humanis, terlalu hitam-putih
Sudah dua tahun ini, 2019 dan 2020, plot yang dipakai di iklan Sirup Marjan mencomot dari legenda lokal. Tahun kemarin Timun Mas dan Buto Ijo kejar-kejaran di kampung, mirip aktivis reformasi diuber-uber aparat. Tahun ini Purbasari dan Lutung Kasarung, yang mending gabung universe sama naga indosiar.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, mereka membuat plot original dengan tokoh-tokohnya sendiri. Tahun 2012 tentang kompetisi lomba dayung. Tahun 2013 tentang bocah Madura yang belajar pecut karaban sapi. Tahun 2017 tentang kolaborasi para penari Betawi dengan anak-anak sepatu roda.
Bukan hanya tentang orisinalitas plot tetapi juga pesan kemanusiaan yang jadi pembeda. Iklan-iklan tahun kemarin selalu menampilkan sebuah koflik antara dua kutub manusia. Yang modern versus yang tradisional. Yang muda versus yang tua. Yang pro versus yang kontra. Namun di balik seluruh clash itu tadi, pada akhirnya napas yang diusung mirip. Yaitu kemenangan dari berlapang dada. Keberhasilan yang dicapai dengan menurunkan ego masing-masing. A lam nasyrah laka sadrak. “Bukankah kami telah melapangkan dadamu?”
Sedangkan di iklan tahun 2019-2020, terjadi pergeseran konflik. Yang bertarung dan bergesekan adalah yang baik versus yang jahat. Yang benar versus yang salah. Ini membentuk pola pikir hitam-putih. Padahal di kehidupan, jarang terjadi bentrokan antara sang pembela kebenaran yang 100% benar-–yang cuman merasa paling benar ga keitung–-melawan sang kekuatan jahat. Lebih seringnya adalah ketegangan dari sesama manusia yang berbeda. Berbeda opini, berbeda kepentingan, berbeda preferensi.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah eksistensi narator di tahun 2019 dan 2020. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, iklan Sirup Marjan selalu bisa menyentil walau tanpa narasi. Cukup lewat dialog-dialog singkat.
Perkara Teknis
Saya kasihan sama tim kreatif iklan Sirup Marjan kalau merasa berkecil hati dengan semua kritikan di atas. Mereka sudah susah-susah buat iklan malah saya roasting. Padahal dibanding mereka pun saya juga sekadar serbuk marimas.
Nanti takutnya ada yang protes ke saya, “Emangnya kamu udah bisa bikin karya kaya gitu?! Daripada menghujat mending bikin dong yang lebih bagus!!1!11!” Tentu saya bakal K.O. Sebab jelas, saya yang garap PR bikin video masih ada watermark nya ini tentu bukan apa-apa dibanding kru penggarap iklan nasional. Makanya saya kasih sedikit apresiasi yaa. Dikiiit aja:
Kualitas videonya udah bagus, kok. Nggak kaya iklan-iklan tahun 2000-an awal, yang kualitasnya 3gp kaya video mesum jepretan hp Nokia balok. Sinematografinya juga lebih oke. Dah itu tok.
N.B: Tolong itu make up penyakit kulitnya Purbasari. Anu… gimana yaa… Nanggung banget. Malah kayak ketemplekan Tao Kae Noi.
BACA JUGA Jika Seorang Wibu Diberi Kesempatan Bikin Iklan Sirup Marjan atau tulisan Fandy Ahmad Salim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.