KPI tengah disorot akibat keputusan mereka untuk tidak memberi sanksi terhadap stasiun televisi yang menyiarkan pernikahan Atta-Aurel. Banyak yang curiga bahwa keputusan tersebut diambil karena pernikahan tersebut dihadiri Jokowi. Tapi, KPI sendiri berkilah bahwa mereka tidak memberi sanksi bukan karena Jokowi. Acara pernikahan tersebut dianggap mempunyai nilai edukasi dan budaya, dan tak ada alasan bagi mereka untuk melarangnya.
Dan jujur saja, alasan KPI tersebut ora mashoook.
Saya sebenarnya sudah muak dengan bantahan-bantahan klise dan mengada-ada seperti itu. Seakan-akan, seluruh penduduk Indonesia ini gobloknya nggak ketulungan. Alasan KPI tersebut justru menegaskan bahwa mereka sebenarnya melakukan praktik tebang pilih. Saya pun yakin sebenarnya adanya Jokowi di acara tersebut ya punya andil yang lumayan besar bagi keputusan KPI.
Argumen acara pernikahan punya nilai edukasi dan budaya itu sendiri sudah aneh. Unsur budaya itu nggak bisa dilepaskan dari pernikahan ya because it’s a f**king cultural event. Kalau alasannya kayak gitu, kenapa stasiun televisi tidak menayangkan pernikahan di Ponjong atau Banyuwangi? Kan pernikahan di daerah tersebut pasti ada unsur budayanya. Lagian apa-apa kok pasti nyebut budaya, kek paham aja. Kemben aja diblur di tivi Indo, kok dengan pedenya ngomongin budaya.
Terus argumen nilai edukasi, yaelah, edukasi apaan sih yang mau didapat dari pernikahan YouTuber? Kayak yang nikah di Indonesia cuman Atta doang, Bos.
Lagian kenapa nggak jujur aja sih, kalau emang Atta-Aurel mendatangkan engagement yang dibutuhkan oleh industri pertelevisian? Kan enak kalau ngaku potensi cuannya gede. Atau ngaku aja kalau emang Atta-Aurel itu warga negara yang punya kelas tersendiri.
Lho, saya serius ini. Nggak sekali-dua kali kita ditunjukkan bahwa memang dalam praktiknya, jurang kelas itu menentukan sikap orang kepada kita. Anak orang kaya atau pejabat sekolah mendapat privilese yang berbeda dengan murid kebanyakan. Saudara orang terpandang bisa dapat kemudahan jika mengurus administrasi. Perlakuan kepada orang berbaju seadanya dengan yang necis pun dengan mudah kita lihat di keseharian.
Jadi kalau KPI bilang dengan gamblang kalau itu nggak dihukum karena yang nikah Atta-Aurel, menurut saya alasan itu bisa diterima. Ya memang pada marah sih, tapi kan lama-lama bisa nerima juga. Rumusnya emang gitu kan, ketidakadilan jika dibiasakan dan dipertontonkan setiap hari, ujungnya jadi norma.
Contoh lain, sweeping warung di bulan puasa deh. Itu berkali-kali kejadian, nyatanya tetap berulang. Resistensi warga aja yang bikin makin hari makin berkurang, meski tak menghilang. Apakah hal itu ditindak tegas oleh pihak berwenang? Iya. Tapi, apakah berkelanjutan? Nggak tau yaaa.
Sudah saatnya kita sadar dan menerima bahwa kebanyak orang Indonesia memang dianggap bukan prioritas. Influencer yang dapat vaksin duluan, bantuan dikorupsi, pengurangan hari libur, itu adalah contoh bahwa kita-kita yang biasa-biasa aja ini nggak jadi pikiran orang-orang yang harusnya mikirin kita. Wong seringnya rakyat disalahin atas kekacauan yang terjadi kan? Perkara yang salah yang bikin kebijakan, tetep aja yang jadi kambing hitam ya rakyat.
Sebaiknya sih, acara-acara nggak jelas yang dilolosin KPI nanti nggak perlu dibumbui alasan-alasan klise lagi. Blak-blakan aja, bahwa memang ada warga negara yang punya hak lebih dan kalau tidak suka, you can go fuck yourself. Kayak gini malah jelas, kita jadi tau bahwa nggak perlu capek-capek marah dan mengingatkan lagi.
Hal terbaik yang bisa kita lakukan setelah melihat pernikahan dua artis memakai frekuensi publik dan dilindungi oleh pihak yang harusnya melarang adalah melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya. Cari pekerjaan, tabung gajimu, sisakan untuk bersenang-senang—mabuk atau makan mahal, bebas—lalu jalani hari dengan gembira sebagai warga negara kelas kedua.
BACA JUGA Kita Salah Kaprah Jika Mengira KPI Adalah Tukang Sensor Doang dan artikel Rizky Prasetya lainnya.