Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Kotagede Jogja, Bekas Pusat Pemerintahan yang Kini Jadi Kota Mati Gara-gara Tata Kota yang Ambyar Total!

Prabu Yudianto oleh Prabu Yudianto
10 Maret 2024
A A
Kotagede Jogja, Bekas Pusat Pemerintahan yang Kini Jadi Kota Mati Gara-gara Tata Kota yang Ambyar Total!

Kotagede Jogja, Bekas Pusat Pemerintahan yang Kini Jadi Kota Mati Gara-gara Tata Kota yang Ambyar Total! (Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Bayangkan tembok tebal setinggi 3 meter menjulang penuh hiasan dan relief. Gerbang kayunya megah dan berkilauan. Di dalamnya, rumah bagaikan istana lengkap dengan kolam renang dan taman indah. Suasananya sangat mewah, dan pasti Instagramable. Sayangnya, jalan menuju rumah itu hanyalah gang kecil yang cuma cukup satu motor. Kira-kira itulah gambaran Kotagede Jogja, bekas pusat pemerintahan Kasultanan Mataram.

Daerah ini berada di tenggara Kraton Jogja. Dikenal sebagai kota perak, Kotagede memang jadi sentra pengrajin logam mulia. Hampir sepanjang jalan Kotagede dipenuhi toko dan pengrajin perak serta emas. Keluarga konglomerat Jawa banyak lahir dari kota ini. Masyarakat Kalang sering dianggap sebagai masyarakat superkaya Jawa. Bahkan beberapa menganggap masyarakat asli Kotagede ini adalah “Rothschild-nya” Jawa.

Namun, kejayaan ini pelan-pelan sirna. Banyak komplek rumah megah mulai ditinggalkan penghuninya. Rumah kosong dan terbengkalai mulai menghiasi wilayah Kotagede. Semua berawal dari kesalahan tata ruang yang kebangetan. Dan kini, Kotagede menuju kota mati.

Kotagede Jogja, pusat kerajaan yang ditinggalkan

Sebelum hari ini jadi titik kemacetan di Jogja, Kotagede adalah pusat pemerintahan Kasultanan Mataram. Awalnya daerah ini adalah bagian dari hadiah bagi Danang Sutawijaya. Ia mendapat hadiah dari Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir karena berhasil menaklukkan Arya Penangsang. Tidak hanya seluas Kotagede, tapi seluruh Alas Mentaok.

Singkat cerita, Danang Sutawijaya melengserkan Sultan Hadiwijaya. Kemudian ia mendirikan Kasultanan Mataram dan bergelar Panembahan Senopati. Maka berdirilah Kraton Kotagede sebagai pusat pemerintahan. Bangkitlah kota ini sebagai pusat politik dan ekonomi Kerajaan Mataram.

Pada pemerintahan Sultan Agung, ibu kota Kasultanan Mataram dipindahkan ke daerah Kerto. Tidak jauh, hanya 4,5 km di selatan Kotagede. Alasan pemindahan ini belum jelas, beberapa mengaitkan dengan alasan keamanan menghadapi kedatangan bangsa Eropa. Ada juga teori yang menyebut topografi Kotagede kurang cocok untuk berkembang sebagai pusat pemerintahan.

Dalam pemindahannya sendiri ada dua versi. Versi pertama adalah Kraton Kotagede benar-benar ditinggalkan dan dibiarkan terbengkalai. Versi kedua adalah bangunan kayu Kraton Kotagede ikut diangkut dan dibawa ke Kerto.

Pusat “Rothschild” Jawa

Setelah ditinggalkan, Kotagede Jogja tidak lantas sepi. Masyarakat menjadikan Kotagede sebagai pusat ekonomi terutama perdagangan. Maka berdirilah Pasar Gede yang jadi sentra perdagangan Kasultanan Mataram. Bahkan setelah Ibu Kota Kasultanan Mataram berpindah dari Kerto ke Pleret, lalu Kartasura, dan terakhir ke Surakarta.

Baca Juga:

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Alasan Posong Temanggung Cocok Dikunjungi Orang-orang yang Lelah Liburan ke Jogja

Bangkitnya Kotagede sebagai kekuatan ekonomi dimotori oleh masyarakat Kalang atau Wong Kalang. Kelompok masyarakat ini bisa ditarik sejarahnya sampai Kerajaan Majapahit. Masyarakat Kalang dikenal sebagai pedagang dan pengrajin logam mulia.

Masyarakat Kalang diselimuti oleh konspirasi. Banyak kabar burung yang menyebut masyarakat Kalang hanya boleh menikahi sesama anggotanya. Alasannya adalah untuk menjaga harta kekayaan mereka agar tidak dimiliki masyarakat lain. Konspirasi ini dibumbui mitos bahwa Masyarakat Kalang memiliki ekor kecil.

Untuk mitos ini bisa saya bantah. Sebelum menikahi nenek saya, kakek saya pernah menikah dengan salah satu Wong Kalang. Dan kakek saya membuktikan teori ekor itu tidak nyata.

Konspirasi kedua yang sering dibicarakan adalah kekuatan ekonomi Wong Kalang. Karena memiliki bisnis di bidang logam mulia, Wong Kalang dikenal super kaya pada masanya. Kekuatan ekonomi ini membuat Kasultanan Mataram dan penerusnya bergantung pada Wong Kalang. Banyak yang menyebut Wong Kalang sebagai debitor dan bankir bagi kerajaan penguasa Jawa ini.

Karena ketergantungan ini, Wong Kalang disebut punya pengaruh besar dalam pemerintahan Mataram. Mereka digadang seperti Keluarga Rothschild yang disebut menguasai ekonomi dunia.

Perkara kekayaan ini bukan konspirasi. Terbukti Wong Kalang sangat kaya dan mampu mendirikan rumah megah layaknya istana. Rumah megah berdinding tebal ini memenuhi wilayah Kotagede, terutama di barat Pasar Gede dan Masjid Agung Kotagede. Anda pernah dengar Rumah Pocong Sumi? Rumah viral ini adalah salah satu dari rumah Wong Kalang.

Kita akan bicara tentang kejatuhan Kotagede, yang bikin mereka terkubur dari peradaban.

Tata kota Kotagede yang amburadul

Ketika Anda masuk area Kotagede Jogja, Anda akan menemukan ratusan gang kecil. Gang ini menjadi akses menuju rumah-rumah super megah milik Wong Kalang. Bahkan di dalam gang selebar satu meter, berdiri deretan rumah megah dengan dinding setinggi 3 meter. Karena tingginya tembok dan sempitnya jalan, seolah-olah Anda memasuki terowongan.

Jarang ada akses jalan di perkampungan Kotagede yang cukup dilalui mobil. Seandainya ada, jalan ini akan berujung di persimpangan yang menyempit. Saya menebak akses jalan sempit ini disebabkan oleh kencangnya urbanisasi pada masa kejayaan Kasultanan Mataram.

Banyak masyarakat, terutama Wong Kalang, berkerumun memenuhi Kotagede. Padatnya Kotagede ini tidak diimbangi dengan membangun akses jalan yang luas. Toh pada masa itu tidak pernah ada bayangan kendaraan yang namanya mobil. Orang biasa berjalan kaki, paling banter naik kuda. Dan keduanya tidak membutuhkan jalan yang luas. Inilah yang menjadi awal mula Kotagede menuju kota mati.

Banyak makelar tanah yang mengeluhkan sulitnya menjual rumah di tengah Kotagede. Terutama rumah megah warisan Wong Kalang. Di satu sisi, harga rumah yang ditawarkan cukup mahal. Seperti yang saya sebutkan di awal, rumah di area ini megah layaknya istana. Namun di sisi lain, akses jalan yang sulit membuat orang tidak tertarik.

Rumah gede, cuma beberapa ratus juta

Bapak saya pernah mendapat tawaran rumah di Kotagede. Harganya waktu itu hanya beberapa ratus juta. Sangat murah untuk sebuah rumah megah. Namun, tidak ada akses jalan yang mumpuni. Motor papasan saja sulit. Hal ini yang mengurungkan niat bapak saya untuk membeli. Jika ditempati akan susah parkir mobil. Jika mau dijual kembali, pembeli pasti akan punya alasan yang sama seperti bapak saya.

Saya pernah bertamu ke salah satu rumah megah ini. Rumah ini dibeli oleh salah satu aktris ibu kota. Awalnya ia kagum dengan arsitektur rumah yang dindingnya saja setebal 1 meter. Namun aktris ini menunda untuk tinggal di rumah itu. Bahkan memilih tinggal di hotel ketika mengunjungi Jogja. Alasannya rumah itu ada di tengah kampung yang tidak bisa dilalui mobil.

Rumah megah yang ditinggalkan

Hari ini, banyak rumah di Kotagede yang dibiarkan terbengkalai. Pemiliknya memilih untuk bermukim di daerah lain yang punya akses jalan lebar. Ketika Anda berjalan-jalan ke Kotagede, Anda bisa menemukan beberapa deret rumah kosong yang artistik dan berdinding megah.

Akhirnya beberapa bagian dari rumah-rumah megah ini dijual “terpisah”. Terutama bagian pendopo yang seluruhnya terbuat dari kayu. Maka sempat ada krisis di mana ratusan pendopo dijual ke luar daerah. Upaya menjaga warisan budaya ini sedang gencar digalakkan di Kotagede.

Oleh karena menjadi warisan budaya, bangunan di Kotagede tidak bisa sembarangan dibongkar demi akses jalan. Lagipula, merelakan rumah megah disunat untuk akses jalan juga akan berat. Mau dibangun ulang pasti akan makan biaya lebih besar.

Akhirnya Kotagede sedang menuju menjadi kota mati. Bukan karena wabah apalagi keamanan. Semata-mata karena tata kota yang salah membuat Kotagede tidak menarik bagi pembeli. Di satu sisi, pemilik rumah itu juga lebih suka tinggal di rumah baru yang mudah diakses kendaraan.

Bisa saja beberapa belas tahun lagi, rumah-rumah itu mungkin akan berakhir layaknya Kraton Kotagede sendiri. Menjadi monumen saksi kejayaan Mataram dan Wong Kalang. Namun, sepi dan tak berpenghuni karena modernisasi dan tuntutan atas akses.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kotagede, Tanah Hadiah Saksi Lahirnya Mataram Islam

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 10 Maret 2024 oleh

Tags: Jogjakota matiKotagedepusat pemerintahanrothschild
Prabu Yudianto

Prabu Yudianto

Penulis kelahiran Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer marketing. Founder Academy of BUG. Co-Founder Kelas Menulis Bahagia. Fans PSIM dan West Ham United!

ArtikelTerkait

Wisata Palang Pintu Kereta Api, Bukti Warga Jogja Kekurangan Tempat Hiburan

Wisata Palang Pintu Kereta Api, Bukti Warga Jogja Kekurangan Tempat Hiburan

7 November 2023
Salah Kaprah Anggapan Jogja Serbamurah. Tabok Saja kalau Ada yang Protes! terminal mojok.co

Upah Kerja Rendah di Yogyakarta, Siapa yang Paling Menderita?

22 November 2020
UIN Jogja Tidak Pantas Lagi Menyandang Status Kampus Rakyat (Unsplash)

UIN Jogja Tidak Pantas Menyandang Status Kampus Rakyat ketika UKT Anak Petani Tembus 7 Juta Rupiah!

28 September 2023
5 Aktivitas Seru yang Bisa Dilakukan di Underpass Kentungan Jogja Saat Banjir

5 Aktivitas Seru yang Bisa Dilakukan di Underpass Kentungan Jogja Saat Banjir

28 November 2024
7 Rekomendasi Motor Bekas untuk Mahasiswa Baru di Jogja

7 Rekomendasi Motor Bekas untuk Mahasiswa Baru di Jogja

9 Juni 2023
Kenapa Malang Terkesan Ingin Menjadi Jogja Terminal Mojok

Kenapa Malang Terkesan Ingin Menjadi Jogja?

14 Maret 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Linux Menyelamatkan Laptop Murah Saya dari Windows 11, OS Paling Menyebalkan

Linux Menyelamatkan Laptop Murah Saya dari Windows 11, OS Paling Menyebalkan

24 Desember 2025
Daihatsu Gran Max, Si "Alphard Jawa" yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan Mojok.co

Daihatsu Gran Max, Si “Alphard Jawa” yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan

25 Desember 2025
Tradisi Aneh Kondangan di Daerah Jepara yang Sudah Saatnya Dihilangkan: Nyumbang Rokok Slop yang Dianggap Utang

Tradisi Aneh Kondangan di Daerah Jepara yang Sudah Saatnya Dihilangkan: Nyumbang Rokok Slop yang Dianggap Utang

27 Desember 2025
Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk yang Pernah Ada? (Unsplash)

Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk dalam Hidup Saya?

27 Desember 2025
Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

24 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Biro Jasa Nikah Siri Maikin Marak: “Jalan Ninja” untuk Pemuas Syahwat, Dalih Selingkuh, dan Hindari Tanggung Jawab Rumah Tangga
  • Didikan Bapak Penjual Es Teh untuk Anak yang Kuliah di UNY, Jadi Lulusan dengan IPK Tertinggi
  • Toko Buku dan Cara Pelan-Pelan Orang Jatuh Cinta Lagi pada Bacaan
  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.