Komedi tak bisa jadi kartu bebas ngomong apa saja dan kebal dari konsekuensi, dan Popon harusnya tau itu
Kata Mas Jevi dalam artikelnya, saya orang yang harinya Senin terus. Alias mudah marah dengan kadar kelucuan rendah. Saya sih mengakui, lha wong hidup melawan klitih kok disuruh full senyum tho sayang. Tapi dengan kadar kelucuan rendah, saya masih bisa memahami apa yang lucu, apa yang goblok. Dan hal goblok adalah berlindung di balik “standup comedy” ketika beropini (baca: melucu) goblok.
Jelas yang saya maksud adalah komika Popon Kerok. Komika yang dengan enteng menyebut dirinya gila ini memang terkenal dengan opini dan candaan yang kontroversial. Dari menyindir pemerintah, Social Justice Warrior (SJW), Rafli, sampai feminis. Dan sepertinya, sasaran favorit Popon hari ini adalah SJW dan Feminis.
Sepertinya cukup banyak cuitan Popon yang dinilai ofensif kepada isu feminisme. Jadi saya tidak perlu mengutip satu dua cuitan dia. Puncaknya adalah aksi standup comedy oleh Patra Gumala yang ditujukan khusus untuk meroasting feminisme. Acara bertajuk #Patriarki ini bisa terbit di comica.id dan berbayar.
Bikin marah-marah orang dan dibayar, nice move Patra. Aku marah-marah malah jadi buron ICJ.
Saya tidak akan terlalu banyak membahas gesekan isu feminisme ini. Toh Anda semua bisa baca lebih dalam tentang ini di berbagai buku dan artikel. Kalau saya bahas di sini, yo nggak cukup. Isu yang setua peradaban ini tidak pernah selesai. Dan perempuan masih jadi warga kelas dua dalam hierarki sosial masyarakat.
Saya lebih tertarik membahas pertahanan Popon. Bagaimana dia memanfaatkan dagelan dan lelucon sebagai benteng menghadapi suara kontra. Bagaimana Popon memanfaatkan ide “konten orang gila” sebagai pembenaran atas isu kontroversial yang diangkat. Dan bagaimana Popon berlindung di balik komedi untuk memposisikan diri sebagai pihak yang benar.
Gini lho. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. Dari ideologi komunisme, anarkisme, kapitalisme, sampai para penyembah kerang ajaib juga sepakat. Siapapun dari presiden, menteri, tukang kredit, sampai Ferdy Sambo. Termasuk para komika.
Sebenar-benarnya opini komika, ia akan menemukan suara kontra. Dan komika tidak bisa berlindung dengan “ini kan cuma buat lucu-lucuan, cuma komedi.” Bahkan sekelas Suharto saja tidak bisa berlindung dari kasus megakorupsi dengan “ini kan cuma buat menghidupi keluarga.” Menghidupi keluarga matamu!
Apalagi membahas isu sensitif, yang tengah diperjuangkan banyak orang, dengan opini yang jelas tidak terdidik. Yo wajar kalau akun-akun yang peduli isu feminisme menyerang Popon. Akun yang dipukul rata sebagai SJW ini akan terus mengusik Popon selama ia menyuarakan serangan pada isu feminisme. Lha Popon berharap apa sebenarnya dari sindirannya, mesin cuci dua tabung?
Berlindung dengan gimmick “gila” juga percuma. Toh Popon tidak mengantongi surat kuning dari rumah sakit jiwa. Selama Popon tidak divonis memiliki kecenderungan mental tertentu, opininya sama seperti opini masyarakat umum. Sama-sama objek hukum serta moral. Kalau gimmick macam Popon bisa diterima, sudah dari kemarin saya menyebut diri “gila” agar opini saya tidak dibajing-bajingke pembaca.
Ketika Popon mengeluhkan ada job yang hilang karena serangan SJW, itu memang pekok. Job dia bersinggungan langsung dengan masyarakat. Konten dia menjadi konsumsi publik. Ketika publik menilai komedi Popon tidak bisa diterima, pemberi job jelas melihat ini sebagai kerugian. Wajar jika kontrak Popon dibatalkan. Pemberi job ingin mendapat profit dari penampilan Popon, bukan sedekah ke Popon.
Sek, saya nggak mendukung perlakuan putus kontrak ini. Disclaimer dulu ini. Cuman, inget, pemberi kerja ini mencari profit, bukan cari keributan. Saya pikir, selama perlawanan atas idenya didasari dengan argumen yang mashok, nggak bakal diputus kontrak. Bahkan, nggak perlu diserang netizen juga.
Lha guyonan kok “feminis ribet”. Jelek saja belum lho itu guyonan.
Menyebut diri sedang dicancel SJW dan feminis ini juga lucu. Lha wong Popon punya cukup waktu untuk melakukan check & recheck konten dan cuitan dia. Komika seperti Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono saja masih rutin review ulang materi mereka. Itu saja masih kena serangan. Lha kalau Popon dan Patra berpikir komedi yang ofensif itu “bukan selera kalian”, yo goblok. Selera itu ada, tapi isu dalam materi bukan masalah selera lagi.
Coba lelucon tentang feminisme tadi disampaikan ke Emma Goldman. Mau bilang “bukan seleramu?” Mung disawat cocotmu nganggo molotov!
Popon tetaplah manusia, yang kebetulan kerjaannya melucu. Ketika opini Popon, baik dalam cuitan atau standup comedy, diminta pertanggung jawaban ya wajar. Mau dengan gimmick apa pun, opini miring dia tetap memicu gesekan dan suara kontra. Dan Popon (juga Patra kalau nanti juga kena) tidak bisa berlindung dengan label “Standup comedy.”
Sekali lagi, kita tidak bisa lepas dari konsekuensi. Kau tidak bisa mengacungkan pedang ke kerumunan dan berharap mereka menanggapinya dengan biasa saja. Kalau memang dari awal merasa bahwa komedi adalah kartu sakti untuk bebas ngomong apa saja, saya pikir, yang perlu dipertanyakan adalah kemampuanmu bernalar.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Komedi Bukanlah Surat Izin untuk Bisa Mengatakan Apa Saja