Akhir–akhir ini perbincangan tentang BBM dan semua yang terkait dengannya memang sedang hangat-hangatnya. Yang terbaru, pada 25 Agustus, saya membaca di kanal-kanal berita ramai soal usulan DPR dalam rapatnya bersama Menteri ESDM yang meminta agar MUI membuat fatwa haram membeli BBM bersubsidi bagi kalangan yang mampu.
Lho, lho, lho…
Menurut pemikiran liar saya, usulan ini bisa saja lahir dari dua kemungkinan. Yang pertama adalah kemungkinan DPR atau pemerintah yang memang sudah mentok mencari solusi. Atau alasan lain agar masyarakat tidak terlalu heboh dengan kenaikan harga BBM sehingga “terpaksa” menggunakan atribut keagamaan untuk melegitimasi kebijakan tersebut.
Kemungkinan yang kedua, usulan ini ada karena para pembuat kebijakan memang sudah “malas berpikir” untuk mencari alasan lain yang bisa mendukung kebijakan tersebut, jadi yang mudah ya pakai atribut keagamaan. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius sehingga dengan menggunakan atribut keagamaan diharapkan masyarakat bisa lebih paham dan lebih “patuh” dengan kebijakan ini.
Sebenarnya jika dilihat sekilas kebijakan ini tujuannya bagus, pemerintah ingin BBM yang sudah disubsidi dapat dimanfaatkan dengan semestinya oleh kalangan yang memang berhak mendapatkannya. Sehingga nanti tidak ada lagi mobil-mobil mewah tidak tau malu yang ikut antre membeli BBM bersubsidi bareng dengan pengendara Beat, Supra (yang motor, bukan yang mobil), dan kendaraan lain yang sekelas itu.
Namun tetap saja, mengusulkan fatwa haram adalah hal yang berlebihan dan terkesan “sembrono”. Hal tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa MUI adalah lembaga penyedia jasa yang menerima pesanan fatwa dari penguasa atau pihak lain untuk melegitimasi tindak tanduknya. Hal itu kan jelas sangat tidak etis dan menjatuhkan wibawa MUI itu sendiri.
Meski begitu, saya (masih) amat yakin fatwa haram tersebut tidak akan pernah terbit, karena mereka paham kalau fatwa bukan pernyataan sembarangan yang bisa dipesan oleh siapa saja. Fatwa adalah pernyataan yang lahir melalui proses tertentu dan memiliki konsekuensi yang tidak sembarangan pula. Kalaupun nantinya ada fatwa yang senada dengan kebijakan tersebut, fatwa tersebut tentunya harus timbul dari kajian yang mendalam, bukan fatwa serampangan untuk mendukung pihak tertentu.
Pemerintah mungkin juga lupa beberapa hal, sebagai contoh, ukuran seseorang dikatakan kaya atau miskin saja masih kabur. Di beberapa daerah masih banyak ditemui keluarga yang sebenarnya bisa digolongkan dalam keluarga yang mampu tapi di rumahnya ada stempel keluarga miskin. Atau ada keluarga yang sebenarnya masuk dalam kategori kurang mampu tapi karena satu dan lain hal tidak bisa masuk dalam kategori tersebut.
Jadi kalau mau pakai ukuran kaya miskin maka pemerintah harus memperjelas kaya atau mampu itu yang seperti apa serta sebaliknya. Cari indikator yang jelas, atau tembak merek sekalian, atau bagaimanalah caranya. Saya nggak tau, kan saya juga nggak dibayar untuk cari tahu. Saya justru heran, dari dulu kok masalah BBM bersubsidi nggak jelas ya? Masalahnya itu-itu doang lagi.
Intinya meminta MUI mengeluarkan fatwa haram untuk melegitimasi kebijakan tersebut adalah hal yang seharusnya tidak dilakukan, bahkan seharusnya tidak boleh terlintas di pikiran pemerintah. Mencari solusi dan mengatasi masalah kan memang pekerjaan mereka. Meminta MUI mengeluarkan fatwa haram malah terkesan seperti malas mencari solusi dan memilih jalan singkat yang nggak tepat.
Kalau memang sudah mentok, mungkin bisa dipertimbangkan untuk mencari orang yang bisa menemukan solusi secara tepat. Mungkin lhooo.
Penulis: Januardi Panji Sukmawan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sesat Logika Pertamina: Subsidi BBM kok Indikatornya CC Mobil?