Ternyata, konspirasi seputar Covid-19 masih hangat diperbincangkan. Para penganut teori konspirasi ini mengajukan satu teori yang sebenarnya daur ulang. Saya sebut daur ulang karena teori ini sudah pernah digaungkan jauh sebelum Covid-19 menjadi momok. Teori tersebut adalah: vaksin corona adalah kedok WHO untuk menanamkan microchip ke tubuh manusia.
Jujur, membaca teori baru ini membuat saya bernostalgia. Saya pernah membaca (dan sempat percaya) teori ini sejak 10 tahun silam. Teori ini memandang microchip sebagai ancaman terhadap privasi kita. Kehidupan kita juga dikendalikan oleh microchip yang ditanam pada tubuh kita.
Padahal, tanpa ada microchip ini kita selalu “diawasi” dan “dikendalikan”. Terutama setiap menggunakan smartphone. Apa yang ditakutkan dari microchip itu telah kita alami tanpa harus melibatkan elit global keturunan reptil.
Mari kita mengenal konspirasi microchip ini. Teori ini membahas perihal penanaman microchip pada tubuh manusia. Microchip yang dimaksud adalah Verichip, terobosan teknologi dalam identifikasi personal serta mata uang digital. Chip seukuran beras ini dapat menjadi KTP dan kartu kredit yang selalu melekat pada tubuh Anda. Bagi pelupa akut seperti saya, teknologi ini sangat menjanjikan.
Namun, hadirnya teknologi ini dibarengi penolakan yang sama hebohnya. Microchip ini dipandang sebagai alat mata-mata yang menguntungkan otoritas negara serta korporasi. Selain masalah pengawasan, microchip ini juga dipandang akan menjadikan seluruh umat manusia menggunakan satu mata uang yang sama. Jika seluruh manusia menggunakan microchip ini, si pemegang server akan menguasai seluruh dunia. Dari identitas hingga harta, semua ada dalam genggaman pemegang server.
Salah satu penggagas teori ini adalah Mark Dice. Blio juga menghubungkan microchip dengan isi dari Kitab Wahyu. Dalam salah satu kitab penganut Kristen ini, dinubuatkan bahwa kelak setiap manusia akan ditandai oleh iblis dengan angka 666. Angka yang tidak asing, kan? Blio memandang microchip ini sebagai perwujudan ramalan dalam kitab tersebut. Wow!
Karena skala konspirasi microchip ini adalah dunia, maka tertuduh utama adalah PBB. Siapa lagi yang mampu memaksakan opini dalam skala global selain PBB serta anak organisasinya? Apalagi saat ini dunia sedang di bawah bayang-bayang Covid-19. Setiap keputusan WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dipandang sebagai konspirasi elit global. Dari kepalsuan tentang Covid-19, sampai wacana pengimplanan microchip berkedok vaksin.
Saya pribadi tidak bisa menilai mana yang benar. Kehadiran microchip ini memang menjadi lompatan jauh bagi manusia. Namun, teori tentang kendali umat manusia oleh segelintir orang tetap terasa nyata. Jadi saya tidak akan memandang orang yang percaya teori ini sebagai pandir.
Yang membuat saya garuk-garuk kepala adalah kepongahan para penganut teori konspirasi ini. Mereka ketakutan pada sesuatu yang belum pasti, tanpa menyadari realita. Realita bahwa seluruh teori yang disematkan dalam microchip ini telah terjadi. Bahkan, perkara pengawasan serta uang digital telah akrab dalam kehidupan kita.
Kok bisa? Coba Anda amati smartphone Anda. Pahamilah cara kerja serta fungsi di dalam gawai Anda. Dalam perkara privasi saja, kita sudah terbiasa “menanam” identitas kita dalam smartphone. Data diri kita telah tertanam dan dijualbelikan secara bebas bahkan dengan kesadaran kita. Dan jelas mengabaikan keamanan data dan privasi kita.
Salah satu skandal paling populer adalah pencurian data pengguna Facebook. Pada tahun 2018, jutaan data pengguna Facebook dipanen diam-diam oleh Cambridge Analytica. Data ini dimanfaatkan untuk membangun kampanye politik di Amerika Serikat. Mark Zuckerberg harus mempertanggung jawabkan pencurian data ini di depan Senat Amerika Serikat. Jelas, pencurian data ini telah mencederai hak atas privasi kita!
Di Indonesia sendiri juga terjadi hal serupa. Terjadi pencurian data para pengguna Tokopedia pada bulan Maret 2020. Data yang tercuri mencakup berbagai identitas pribadi, detil lokasi, hingga password. Jumlahnya juga tidak main-main. Diperkirakan ada 91 juta data pengguna yang dicuri. Tanpa harus pakai microchip, saat ini data pribadi kita sudah tidak terlindungi kok.
Anda juga bisa mencari lebih banyak kasus serupa di berbagai kanal berita. Dari Zoom, FaceApp, sampai WhatsApp pernah berurusan dengan kasus pemanenan dan pencurian data. Namun banyak yang memandang kasus ini sebagai kasus sepele. Perkara keamanan data dan privasi tetap diabaikan atas dasar kepraktisan dalam berkomunikasi. Kan nggapleki.
Dan bicara perkara konspirasi uang digital, kita tidak perlu menunggu kehadiran microchip dalam tubuh kita. Hari ini kita telah akrab dengan berbagai dompet digital yang disediakan banyak korporasi. Hari ini kita telah terbiasa untuk bertransaksi tanpa uang tunai. Jika kita percaya bahwa uang digital adalah alat kontrol sosial, maka kita sudah tidak perlu bermimpi. Hari ini uang digital dipandang sebagai hal yang lumrah.
Semua teori yang diajukan para penganut teori konspirasi microchip ini telah terjadi. Bahkan tanpa perlu proyek skala dunia. Hari ini, orang beramai-ramai membuka privasi serta menggunakan uang digital bahkan dengan kesadaran penuh. Bahkan, kita merasa semua itu sebagai kebutuhan masyarakat modern.
Saya tetap tidak memandang para penganut teori ini sebagai orang bodoh dan penuh mimpi pepesan kosong. Saya pribadi selalu berusaha meminimalkan kemungkinan kebocoran privasi saya kok. Tetapi jika Anda percaya teori microchip ini dan masih membiarkan data privasi Anda dikuras melalui gawai Anda, saya ingin bertanya: situ sehat?
BACA JUGA Harus Gimana Lagi sama Orang yang Percaya Konspirasi Wahyudi Covid-19?! dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.