Ampuun, deh, ada lagi nih kasus plagiarisme baru. Nggak tanggung-tanggung, yang diplagiat cerpen karya Agus Noor. Waduh!
Yang bikin saya heran itu, cerpen yang dicomot, diganti tokohnya, dan dijadikan cerpen karangan dia itu malah dikirim ke koran. Kalau niatnya mau belajar, ya nggak usah dikirim dong, Bos. Simpan saja di laptopmu untuk jadi bahan pembelajaran saja.
Siapa yang melarang kita meniru? Bukankah penguburan pertama di dunia yang dilakukan putra Adam adalah hasil peniruan seekor gagak yang mengubur gagak lainnya? Ya tentu saja boleh. Anak bayi pun meniru apa yang dilihatnya. Tapiiiiii ingat, peniruan hanya boleh dilakukan ketika tujuannya untuk belajar, bukan untuk dipublikasikan.
Di dalam semesta Sastra Indonesia, kasus plagiat sudah banyak terjadi. Tidak bisa dihitung jari lagi. Malahan kebanyakan kasus terjadi di zaman yang sudah canggih ini. Tuh kan bener apa kata pepatah “Internet itu adalah pisau bermata dua”, eh emang bener ada ya pepatahnya? Di satu sisi internet memberi kita keluasan yang tidak terhingga, disisi lain memberi kita ketololan yang tak terhingga pula.
Betapa semestinya ketika kita bisa menemukan karya sastra yang tersebar luas di internet ini, mulai dari mudahnya akses buku, baik pdf atau cetak, artikel jurnal, karya sastra di media online, dan lain sebagainya, kasus plagiat-plagiatan tidak akan terjadi. Karena apa? Karena referensi kita menjadi luas dan gerak untuk mengembangkan tulisan lebih terbuka lebar.
Apa sih sebenarnya yang tukang plagiat ini inginkan? Apakah harta? Tahta? Atau wanita?
Apa mereka nggak tahu ya kalau mau mengejar ketiga itu susah kalau jadi penulis, apalagi kalau mau jadi kaya ckck. Daripada plagiat tulisan, mending plagiat cara kerja BuzzeRp aja sana. Saya jamin lebih cepat jadi kaya hhe hhe.
Ah mungkin bukan harta, tahta, apalagi wanita, mereka melakukan plagiasi mungkin karena tiga hal ini kali yak.
1. Pengin dapet status sebagai penulis
Ini adalah salah satu permasalahan penulis pemula. Saya dan dalam lingkaran teman-teman saya juga merasakan hal ini. Jika karya kita sudah diterbitkan media, apalagi media nasional, waduh, status kita akan naik menjadi “seorang penulis”. Trah kita seolah-olah sudah hampir mendekati dewa. Seorang penulis yang karyanya sudah diterbitkan di media nasional.
Guna status ini adalah pertama, untuk membusungkan dada di antara teman-teman yang karyanya belum terbit. Kedua, agar bisa sok-sokan merevisi karya teman lain yang belum terbit. Ketiga, untuk sebagai bahan jualan untuk mendekati perempuan. “Abang seorang penulis, Dek. Gimana? Mau nggak sama Abang?”
2. Pengin dapet sesuatu dengan cara yang instan
Permasalahan ini tidak hanya terjadi di dunia kepenulisan, tapi di semua aspek kehidupan. Siapa sih yang tidak mau segera mencapai tujuan yang sangat diidam-idamkannya. Orang lebih memilih cara yang cepat dari pada harus bertungkus-lumus dengan proses.
Contoh terbaiknya adalah ketika kita membuat SIM. Pasti lebih memilih orang dalam daripada harus mengikuti aturan yang ada. Untuk kasus yang satu ini, teman saya pernah bersikeras untuk mengikuti sesuai ketentuan yang berlaku. Tapi memang tidak pernah berhasil mendapatkan SIM, padahal beliau sudah melakukannya dengan sangat baik, sampai menghapal materi lalu lintas. Ya mau bagaimana lagi, kita sudah diajarkan untuk meraih segala sesuatu secara instan.
Contoh kedua tentu budaya mencontek untuk mendapatkan nilai sempurna. Atau mencari joki untuk menggantikan ujian tes CPNS. Walah! Ternyata dalam kehidupan sehari-hari kita disuap cara-cara yang instan. Sehingga orang-orang yang mendewakan proses kalah dengan yang punya duit banyak!
Jika kita membaca bagaimana Gabriel Garcia Marquez menulis, ia bahkan mengendapkan idenya selama dua puluh tahun untuk membuat novel Seratus Tahun Kesunyian yang terkenal itu. Bayangkan dua puluh tahun! Siapa yang mau mengendapkan idenya selama itu? Dalam wawancaranya ia mengatakan, hal itu dilakukannya agar ide itu benar-benar menjadi matang.
Dan mengapa Jhon Lennon bisa menjadi pemusik yang handal di dalam dunia permusikan dunia? Ya tentu karena ia bermain gitar setiap harinya selama sepuluh jam. Tu! Coba deh tiru, betapa mereka yang berhasil begitu disiplin terhadap apa yang didalaminya.
Jadi proses adalah koenji! Proses tidak akan pernah mengecewakan hasil.
3. Kekurangan Ide
Nah, ini. Ini adalah alasan sejuta umat! Tidak ada ide, susah mencari ide, ide sudah habis di dunia ini. Dunia ini sudah kekeringan ide. Sontoloyo! Itu mengapa saya mengatakan bahwa di zaman canggih ini orang masih melakukan plagiat terhadap karya orang lain. Padahal di dunia tanpa batas ini, ide terbentang sampai ke entah. Tinggal kita keruk saja kemudian kita saring sesuai kemampuan dan kebutuhan kita.
Ide yang berserak-serak di dunia ini tentu tidak hanya bisa temui di dunia internet dan sebagainya. Sebab mereka itu juga ada yang bersembunyi di dalam lipatan baju masa kecil kita, berputar di pembicaraan teman-teman kita, menggantung di atas kepala ketika kita sedang mandi atau sedang kencing atau apapun yang kita lakukan di kamar mandi, dan sebagainya. Jika kita menyadari hal tersebut, dan tentu tidak akan ada alasan lagi untuk melakukan plagiarisme di muka bumi ini.
Sumber Gambar: Twitter
BACA JUGA Bisa Nggak sih Kita Memanfaatkan Turnitin untuk Meminimalisir Plagiarisme Karya Sastra? atau tulisan Muhaimin Nurrizqy lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.