Pemberlakuan jam malam (22.00-04.00)di Jogja belum berjalan sebulan. Namun, klitih Jogja, yang oleh polisi disebut kejahatan jalanan, sudah terjadi lagi di awal masa libur sekolah!
Aksi brengsek tersebut terjadi di daerah Minomartani (sekitar “perempatan maut” arah Candi Gebang). Kejadiannya terjadi sebelum pukul 12 malam. Ironis? Ya memang. Ini Jogja, Bung, di mana ironis adalah sebuah kata yang bisa kamu sematkan di banyak peristiwa, kebijakan, dan lain sebagainya.
Aturan jam malam sontak dipertanyakan. Apakah benar, kebijakan ini efektif untuk mengantisipasi klitih Jogja? Jawabannya sudah terpampang dengan jelas: tidak!
Para pemuda tanggung, khususnya mereka yang berstatus sebagai pelajar, akan terus memperjuangkan eksistensinya dengan cara seperti itu. Apalagi, dua minggu ini adalah momen yang tepat untuk pameran klitih Jogja yang seperti virus tanpa antidote-nya. Momen libur sekolah yang berlangsung dari minggu lalu hingga 11 Juli 2022.
Tak bisa dinafikan bahwa pelajar di Jogja adalah semesta yang lain. Bagi mereka, perilaku klitih Jogja bukannya dianggap sebagai kejahatan jalanan, melainkan kreativitas. Oleh karena itu, klitih bukan lagi dianggap sebagai peristiwa melainkan fenomena karena selalu ada, berulang-ulang, dan berlipat ganda.
Ketiadaan payung hukum yang jelas untuk menindak pelaku di bawah umur barangkali menjadi persoalan. Meskipun begitu, beberapa waktu silam, klitih yang terjadi di daerah Kota Yogyakarta itu sempat maju hingga meja hijau. Namun, itu hanya sedikit dari ratusan perilaku klitih yang berhasil ditindak.
Jauh sebelum pemberlakuan jam malam, salah satu seorang pihak berwenang yang telah bertugas hampir dua dekade untuk mengurusi klitih Jogja pernah berkata kepada saya.
“Seingat saya, hanya satu kejadian yang berhasil masuk ke pengadilan sejak saya bertugas. Itu saja karena korban nggak mau memaafkan pelaku.”
Ya, memang kuncinya di situ. Jika korban enggan memaafkan, pelaku bisa ditindak. Namun pertanyaannya adalah:
“Hati siapa yang tega memasukkan anak di bawah umur ke hotel prodeo?”
Dan pertanyaan itulah yang (biasanya) akan meluluhkan hati korban, dan tentu saja orang tua, sehingga mau memaafkan pelaku. Alhasil, barangkali formula seperti ini yang tidak akan membuat jera para pelaku klitih Jogja. Mereka seakan punya celah untuk tidak bisa ditindak hingga ditahan oleh pihak berwenang.
Usulan lebih ekstrem sebenarnya pernah diucapkan kenalan saya itu. Para pelajar tidak boleh mengendarai sepeda motor mulai pukul 22.00 hingga 04.00 pagi.
Menurutnya, karena para pelaku klitih selalu menggunakan sepeda motor saat “bekerja”, aturan tersebut akan mengurangi daya serangnya. Sebab, tidak ada ceritanya pelaku klitih malah jogging atau naik sepeda fixie untuk mencederai mangsanya. Jika saya tidak berkhianat pada ingatan, saya juga belum pernah menemukan berita seperti itu.
Masalahnya adalah, siapa yang BISA dan MAU mengawasi? Apakah polisi harus siaga 24 jam untuk menanyakan satu per satu para pelajar ketika mereka keluar rumah? Apakah polisi perlu melakukan cegatan yang dilakukan pada pukul 22.00 hingga 04.00 di setiap sudut Jogja?
Saya pikir, sih, tidak mungkin.
Pelaku klitih Jogja sulit ditebak meskipun ada yang bilang dapat terlihat dari ciri-cirinya. Oleh karena itu, orang tua memang menjadi garda terdepan dalam penanganan klitih. Mereka perlu mengawasi anak-anaknya untuk tidak keluar malam ketika memang tidak ada aktivitas yang cukup penting. Apalagi sampai melakukan tindakan yang tidak dibenarkan oleh siapa pun.
Namun, semestinya pihak yang di atas juga intervensi akan hal ini. Masak, ya, fenomena lebih dari dua dekade hanya mencetuskan kebijakan jam malam? Kebijakan preventif (yang tidak efektif) seperti ini seharusnya telah ada sejak tahun 2010an. Namun, kenapa baru muncul sekarang?
Apakah karena yang meninggal dalam peristiwa sebelumnya adalah anak dari “orang besar” baru pemerintah mau bertindak? Tolonglah, pemerintah. Ini nyawa bukan mainan. Keselamatan warga harus dijaga bukan dibuat percuma.
Pemerintah seharusnya sadar bahwa sejak lama Jogja sudah tidak aman. Sebelumnya, peristiwa besar telah terjadi di Babarsari. Dua hari setelahnya, terjadi klitih di Minomartani. Entah dalam beberapa hari ke depan masih ada lagi atau tidak, ya, tidak ada yang pernah tahu. Yang pasti, warga seperti tidak diberi kesempatan untuk sekadar merasa aman untuk menikmati Jogja, terutama di malam hari.
Pelaku klitih masa kini akan melakukan tindakan random dan sulit ditebak. Kalo pun ada orang yang mestinya bisa didengar lalu bisa memberikan keputusan tegas, orang itu adalah Sultan.
Tidak bisa tidak, Sultan harus intervensi masalah ini agar tidak lagi berlarut di kemudian hari. Saya harap, setelah nanti pelantikan Sultan jilid kesekian, akan ada kebijakan yang memang langsung ada sanksi. Biar jera. Biar tidak ada lagi klitih yang mencederai keharmonisan Jogja.
Akhir kata, sebagai orang yang pernah sangat dekat dengan klitih, izinkan saya memberi peringatan. Masa libur sekolah 2 minggu ini berpotensi jadi masa di mana jumlah kasus klitih Jogja akan naik lagi setelah pemberlakuan jam malam. Sudah saya peringatkan, lho ya. Kalau kejadian, jangan nyalahin warga lagi.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Apa Itu Klitih? Panduan Memahami Aktivitas yang Mengancam Nyawa Ini.