Bagi sebagian orang, masyarakat Betawi dianggap sebagai etnis yang identik dengan keributan atau biang onar. Ini terbukti dengan slogan yang biasa digunakan oleh orang Betawi, yaitu “lu jual, gua beli” yang artinya kurang lebih mengiakan sebuah tantangan untuk berkelahi. Slogan ini biasanya digunakan para jawara atau jago-jago silat dari mereka ketika ditantang musuh untuk berkelahi. Tidak hanya itu, ada slogan lain yang juga menguatkan isu bahwa mereka suka berkelahi, yaitu “orang Betawi jangankan kalah, seri aja ogah.” Ini sudah menunjukan bahwasanya orang suku ini memang memiliki gengsi yang besar yang hanya bisa diselesaikan dengan berkelahi. Sepertinya slogan-slogan semacam ini akan banyak kita temui dalam film-film silat yang berlatar suku ini.
Tapi terlepas dari itu semua, masyarakat ini tetap mengasyikkan. Mereka sendiri terbagi menjadi tiga. Pertama Betawi Tengah, mereka adalah masyarakat Betawi yang tinggal di perkotaan seperti Tanah Abang dan sekitarnya. Kemudian ada Betawi Pesisir yang berada di Jakarta Utara dan sekitarnya, dan ketiga ada Betawi Udik/Ora atau Betawi Pinggiran yang bisa ditemui di sekitaran Tangerang, Depok, Bekasi, dan Kabupaten Bogor. Ada satu kebiasaan masyarakat Betawi yang mungkin tidak ditemui di etnis mana pun dan ini salah satu kebiasaan yang mengasyikkan, yaitu pelesiran sehabis lebaran. Pelesiran yang dimaksud adalah jalan-jalan menikmati libur lebaran dengan pergi ke pantai atau ke daerah pegunungan. Saya curiga, hal ini dilakukan karena mereka tidak punya kampung halaman, jadi memanfaatkan libur lebaran dengan pergi jalan-jalan juga.
Kalau M.A.W Brouwer mengatakan “Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum,” maka saya akan mengatakan “Tanah Betawi Lahir Ketika Tuhan Sedang Tertawa Terbahak-Bahak”. Bagaimana tidak, sering kali kita melihat artis televisi yang merupakan orang suku ini membuat kita terpingkal-pingkal. Sebut saja komedian legendaris Komeng. Komeng yang belakangan ini dijuluki raja dari raja—dalam konteks komedi—datang dengan lawakan khas masyarakat Betawi yang ceplas-ceplos. Tentu masih terekam jelas di otak kita bagaimana seorang Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sedang marah, sedih, dan menangisnya selalu bikin kita terbahak-bahak. Bahkan, ketika beliau ribut dengan Babeh Benyamin atau H. Tile (Babehnya Mandra) pun tetap lucu. Barang kali ini sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada orang-orang suku ini, yaitu jenaka dan kocak.
Saya sendiri tinggal di lingkungan Betawi Pinggir yang mana dalam keseharian, saya menggunakan kata “ora” untuk mengganti kata “enggak”. Saya melihat betul dengan jelas tingkah laku masyarakat suku ini yang unik dan tentu saja lucu. Dari logat mereka ketika bicara, guyonan, bahkan tradisi sekalipun.
Jokes bapak-bapak yang belakangan ini sedang ngetren, sebetulnya sudah saya temui di masyarakat Betawi Pinggir. Contohnya, ya, bapak saya. Saya hafal betul bagaimana bapak saya berkelakar dengan teman-temannya sesama bapak-bapak suku ini. Salah satu jokes andalannya yang dari dulu tidak pernah terlewat ketika di rumah banyak orang adalah, “Rumah gua mah bocornya kalo lagi ujan doang,” atau ada juga ketika sedang makan-makan, “Kalo makan jangan nyari ikan, ya.” Mungkin di jokes yang kedua, kalau Anda tidak terbiasa dengan becandaan, Anda akan sulit menangkap maksudnya. Maksudnya begini, kalau makan mah makan saja, tidak usah cari ikan. Kalau cari ikan mah di kali. Begitu kira-kira. Wqwqwq. Sepertinya, teman-teman atau siapa pun yang lahir atau besar di Betawi Pinggiran pasti bisa melucu, paling tidak kalau bicara ceplas-ceplos seenak jidatnya.
Ada lagi kesenian dari suku ini yang terkenal menghibur, yakni lenong dan topeng. Teater rakyat yang dimiliki ini pun berlandaskan komedi. Tidak hanya itu, biasanya acara pernikahan yang menggunakan adat dibawakan secara khidmat dan sedih, tapi itu tidak berlaku di Betawi. Acara sesakral pernikahan bisa dibuat lucu dan menghibur dengan beradu pantun dan pencak silat oleh palang pintu. Entah berasal dari mana bakat melucu yang turun menurun yang dimiliki masyarakat Betawi.
BACA JUGA Betawi yang Modern, Betawi yang Tak Lagi Saya Kenal dan tulisan Fikri Ilhamsyah lainnya.