Tahun 2019 sudah memasuki sepertiga akhir, dan popularitas Didi Kempot masih belum berakhir. Entah siapa yang memulainya, Didi Kempot rasanya harus berterima kasih pada orang yang membantu menaikkan popularitasnya lagi. Suka atau tidak, wabah dari karya-karya beliau nggak hanya menyebar di kalangan orang-orang Jawa saja. Bahkan orang-orang yang bukan Jawa, rela belajar bahasa jawa supaya bisa mengerti dan memahami karya-karya Didi Kempot. Lagu-lagunya bahkan diputar di seluruh tempat. Mulai dari kafe, restoran, sampai di tongkrongan sopir truk.
Kepopulerannya juga memunculkan satu koloni baru. Mereka menamakan dirinya sebagai “Sobat Ambyar”, yang kalau diartikan secara konteks, berarti sobat patah hati. Ya memang, sih, lagu-lagu Didi Kempot bercerita soal patah hati, sampai ditinggal nikah. Ya standar permasalahan masyarakat, lah. Sobat Ambyar ini ternyata mewabah di seluruh usia. Mulai dari bapak-bapak, sampai bocah yang belum sunat, pun, mengaku sebagai Sobat Ambyar. Istilahnya, sekarang kalau nggak Sobat Ambyar nggak keren, lah.
Jujur, bagi saya, membahas soal Didi Kempot ini sudah agak malas. Sudah terlalu banyak tulisan-tulisan dengan puja-puji pada beliau. Nggak mau kalah, stasiun TV juga ikut-ikutan membahasnya. Bahkan, beberapa publik figure juga ikut-ikutan. Ini juga yang membuat populasi Sobat Ambyar semakin berkembang pesat. Di sini lah masalahnya. Saya nggak akan bahas lagi soal Didi Kempot. Saya juga nggak ada masalah dengan Didi Kempot. Saya akan membahas tentang Sobat Ambyar yang akhir-akhir ini serasa jadi masalah bagi saya, dan beberapa kawan saya.
Ada dua hal yang setidaknya membuat saya risih dengan Sobat Ambyar ini. Pertama, adalah Sobat Ambyar ini latah, dengan mengunggah videonya yang sedang nonton konser Didi Kempot dengan ekspresi sok sedih. Tahu, kan, semua? Mereka seakan berlomba-lomba menunjukkan ekspresi sedihnya ketika nonton konser Didi Kempot, sembari menyanyikan lagu-lagu beliau. Kenapa saya bilang latah? Yak arena kelihatan banget mereka pingin “terkenal” dengan menunjukkan ekspresinya yang sok sedih itu.
Saya bahkan yakin sekali, mereka yang seperti itu sengaja menunjukkan ekspresi sedihnya, supaya dinotice oleh Sobat Ambyar lainnya. Nggak masalah sebenarnya, tapi kok gitu banget, sih, caranya. Pasaran banget gitu, lho. Pake belaga sok sedih, terus diunggah ke medsos, menandai koordinator Sobat Ambyar terdekat, berharap di repost, dan berakhir dengan keterkenalan. Ayolah, cara seperti itu kok masih dipakai, sih? Maksudnya kok tiba-tiba banget, melabeli diri dengan sobat ambyar, ketika eksposure-nya sedang tinggi. Ketahuan banget para Sobat Ambyar ini pingin terkenal. Apa-apa ambyar, apa-apa ambyar.
Lagian, saya juga yakin kalau mereka yang ada di video-video itu nggak sepenuhnya sedih. Oke lah, mereka berdalih dengan kalimat “merayakan kesedihan dengan berjoget”, tapi nggak harus seheboh itu. Biasa saja. Kalian nggak sesedih itu! Saya saja, yang yatim ini, nggak nangis ketika nyanyi atau mendengar lagu “Ayah” dimainkan. Biasa saja. Nggak usah sok sedih, nggak usah sok ambyar, deh. Menyebalkan! Itu baru ditinggal nikah, belum ditinggal mati!
Hal kedua yang jadi masalah, adalah soal attitude. Kasus ini mungkin nggak terjadi di tempat lain. Tapi kasus ini terjadi di kota saya. Begini ceritanya. Salah satu acara yang isinya expo pakaian dan panggung musik ada di Malang beberapa hari lalu, Didi Kempot jadi salah satu bintang tamunya. Ini jelas jadi kebanggaan bagi Sobat Ambyar di Malang untuk menyaksikan langsung idolanya manggung. Venue penuh sesak, dipenuhi Sobat Ambyar yang selain ingin nonton Didi Kempot langsung, juga ingin berburu konten video sok sedih.
Sebelum Didi Kempot tampil, ada satu musisi yang tampil. Tiba-tiba dari beberapa arah, muncul suara, “Musisi apa, sih, ini? Lagunya nggak enak. Udah, langsung Didi Kempot aja!” teriakan seperti itu nggak satu dua kali, tapi berkali-kali. Mereka seakan nggak menghargai musisi yang sedang manggung. Tahu seperti itu, saya agak geram. Maksunya gini, lho, kok mereka nggak menghargai banget, sih?! Kok ya masih ada orang-orang seperti itu di acara yang berbayar. Saya yang sebelumnya berpikir bahwa harga tiket bisa menyaring attitude, ternyata keliru. Orang-orang kampungan, yang attitude-nya nol, memang nggak kenal harga.
Ya mungkin ini nggak terjadi di tempat lain, dan bukan maksud saya untuk memukul rata semua Sobat Ambyar. Tapi ini jelas nggak bisa dibiarkan. Populasi mereka yang semakin banyak, dan attitude beberapa orangnya yang masih kampungan, menjadikan mereka sangat menyebalkan. Udah sok sedih, kampungan lagi. Tapi ya balik lagi. Mereka ini penggemar musiman. Saya berani taruhan, bahwa tahun depan, mereka nggak akan di sini lagi. (*)
BACA JUGA Jangan Pergi Ketika Didi Kempot Sudah Nggak Tenar Lagi atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.