Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Living in a Bubble: Ketika Media Sosial Digunakan Penguasa untuk Membungkam Demokrasi

Made Supriatma oleh Made Supriatma
18 Desember 2019
A A
Living in a Bubble: Ketika Media Sosial Digunakan Penguasa untuk Membungkam Demokrasi

Living in a Bubble: Ketika Media Sosial Digunakan Penguasa untuk Membungkam Demokrasi

Share on FacebookShare on Twitter

Saya sedang mengikuti workshop tentang media sosial di Asia Tenggara. Berbagai presentasi disampaikan oelh ahli-ahli dari beberapa negara.

Sungguh menarik. Hampir semua presenter menunjukkan bagaimana media sosial telah berubah. Awalnya, warga negara menggunakan media ini untuk menyuarakan pendapat dan keinginan mereka kepada penguasa. Inilah ‘demokratisasi’ informasi yang dilakukan lewat media.

Namun ini tidak berlangsung lama. Beberapa tahun terakhir ini, para penguasa sangat sadar mereka tidak bisa membendung arus informasi. Seperti biasa dalam politik, jika Anda tidak bisa mengalahkan lawan, Anda harus memeluknya, bekerjasama, dan menggunakannya untuk kepentingan Anda.

Itulah yang terjadi dalam media sosial. Penguasa memakai media sosial dengan sangat efektif. Di banyak negara, taktik ini berhasil membungkam demokrasi.

Anda tentu tahu bahwa Donald J. Trump memenangkan pilpres di Amerika tahun 2016 karena media sosial. Dia dibantu oleh Russia. Sebuah strategi politik yang sangat cerdik. Sejak saat itulah para penguasa di dunia, khususnya para tiran dan diktator, belajar untuk bagaimana menguasai media sosial untuk kepentingan pelestarian kekuasaan mereka.

Pendeknya, media sosial menjadi alat politik yang sangat penting—dan efektif. Tidak ada pemilihan umum yang dilakukan tanpa media sosial. Twitter, Facebook, Instagram, dan tentu saja WhatsApp (yang dimiliki oleh Facebook) menjadi medium kampanye yang harus dikuasai para politisi.

Kita sudah mengalami ini di Indonesia. Naiknya Presiden Joko Widodo tidak bisa dilepaskan dari bantuan media sosial. Itu sudah dimulai sejak tahun 2014. Tidak ada politisi Indonesia yang memiliki infrastruktur media sosial sebaik Jokowi.

Pemiihan presiden 2019 telah membawa peran media sosial ke tingkat yang lebih tinggi. Ini adalah periode naiknya kekuatan strategis media sosial lewat ‘agency’ yang bernama “buzzer” dan “influencer.” Merekalah yang membentuk opini dan membuat informasi yang menguntungkan politisi yang mereka dukung.

Baca Juga:

Drama Cina: Ending Gitu-gitu Aja, tapi Saya Nggak Pernah Skip Menontonnya

Konten “5 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Adalah Bentuk Pembodohan

Kita menyaksikan bagaimana para ‘buzzer’ dan ‘influencer’ ini sangat aktif. Mereka berperang membela kandidatnya (membela yang bayar!) dengan kegigihan seperti seekor anjing menjaga anak-anak yang baru lahir. Hasilnya, kita tahu, pemilihan kita menjadi sangat ‘toxic,’ sangat beracun.

Pemilu yang seharusnya menjadi wujud demokrasi yang beradab, ditangan para buzzer menjadi sangat brutal dan biadab. Perkawanan pecah, keluarga tercerai berai, bahkan komunitas menjadi berantakan akibat agitasi, propaganda, dan provokasi.

Bahkan setelah pemilihan umum selesai, peranan buzzer dan influencer tidak menyurut. Hampir setiap pejabat memeliharanya. Bahkan Kementrian Kominfo hendak melestarikannya dengan menugaskan ASN yang memiliki banyak pengikut di media sosial untuk menyebarkan “keberhasilan” pemerintah.

Buzzer dan influencer sekarang sudah secara resmi dilembagakan ke dalam tubuh negara. Kebijakan dan keputusan pemerintah sekarang dijaga oleh para buzzer. Merekalah yang bertugas membungkam kritik dan menciptakan realitas yang lebih sesuai dengan versi penguasa.

Pemerintah pun makin bertingkahlaku dengan membuat kebijakan yang lebih “made for social media.” Kalau bisa, kebijakan pemerintah harus ‘instagramable,’ harus indah di instagram dan menarik banyak like dan followers.

Tidak mengherankan jika pemerintah sekarang ini sangat terobsesi dengan golongan ‘millenial’—yang selalu dipersonifikasikan sebagai orang muda, kaya, sukses, dan punya perusahan start up. Seakan negara ini ada hanya untuk para millenials. Seakan warga negara yang hidup bernafas makan dan berak itu tidak ada. Warga negara tidak lagi berbentuk fisik, namun mereka semua hanyalah ‘netizen.’

Apakah konsekuensinya? Menurut saya sangat besar. Media sosial adalah sebuah bubble of realities (gelembung kenyataan). Kita semua hidup disana.

Namun, persoalannya menjadi sangat lain ketika bubble of realities ini menjadi alat pemerintahan, menjadi teknik dan instrumen kekuasaan.

Penguasa kita memperlihatkan sikap anti-korupsinya dengan bermain lenong (drama). Sementara di sisi yang lain, mereka melemahkan semua platform anti-korupsi. Semua platform anti-korupsi menjadi jinak oleh dramatisasi anti-korupsi yang tanpa drama itu.

Hari ini, saya membaca bahwa Menko Polhukam, Mahfud Md, mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM oleh pemerintah kepada masyarakat. Kita tahu ada banyak kasus HAM tidak selesai. Pemerintah sekarang memiliki tahanan-tahanan politik lagi. Lihatlah apa yang terjadi di Papua. Itu dilakukan bukan oleh pemerintah?

Penguasa kita hidup dalam gelembung realitas itu. Namun, saya ingin mengingatkan, barang siapa yang hiidup dalam gelembung harus siap dihempaskan ketika gelembung itu pecah!

BACA JUGA Melihat Bagaimana Industri Buzzer Politik Bekerja atau tulisan Made Supriatna lainnya. Follow Facebook Made Supriatna.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Desember 2019 oleh

Tags: buzzerDemokrasiinfluencerMedia Sosialpenguasa
Made Supriatma

Made Supriatma

ArtikelTerkait

3 Hal yang Mungkin Terjadi Andai Luna Maya Beneran Jadi Ketua RT terminal mojok

3 Hal yang Mungkin Terjadi Andai Luna Maya Beneran Jadi Ketua RT

20 November 2021
harapan awal bulan

#AugustWish: Perayaan Harapan Para Netizen di Awal Bulan

3 Agustus 2019
Tips Melayangkan Kritik Pemerintah tanpa Ditangkap Polisi terminal mojok.co

Kalimat ‘Siap, Bang Jago!’ dan Tanda bahwa Kita Sukar Menerima Kritik  

9 Oktober 2020
Orang Pintar Pamer di Twitter, Netizen Sewot. Kalian Kenapa, sih Terminal Mojok

Orang Pintar Pamer di Twitter, Netizen Sewot. Kalian Kenapa, sih?

19 Juli 2022
ariel heryanto twitter facebook alasan suka upload foto bunga mojok.co

Menunggu Penjelasan Ariel Heryanto yang Suka Upload Bunga di Media Sosial

21 Mei 2020
Burgerkill

Bangga Menjadi Fan Burgerkill di Tengah Aksi Mahasiswa

3 Oktober 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

5 Hal yang Jarang Diketahui Orang Dibalik Kota Bandung yang Katanya Romantis Mojok.co

5 Hal yang Jarang Diketahui Orang di Balik Kota Bandung yang Katanya Romantis 

1 Desember 2025
Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan

Gresik Utara, Tempat Orang-orang Bermental Baja dan Skill Berkendara di Atas Rata-rata, sebab Tiap Hari Harus Lawan Truk Segede Optimus!

30 November 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025
4 Hal Sepele tapi Sukses Membuat Penjual Nasi Goreng Sedih (Unsplash)

4 Hal Sepele tapi Sukses Membuat Penjual Nasi Goreng Sedih

29 November 2025
Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

30 November 2025
Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang Mojok.co

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang

5 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.