Asli, saya curiga, jangan-jangan mereka mengira pusat dunia itu adanya di Sleman, ya? Padahal, di pusat Kota Jogja itu ada banyak kafe yang bisa dijadikan tempat pertemuan selayaknya di Sleman. Misalnya, nih, Legend Coffee atau Kumpeni.
Bisa juga mencari di sekitar daerah Taman Siswa, Prawirotaman, atau Jalan Kranggan itu banyak sekali kafe dan co-working space. Di Bantul pun juga ada Bento Kopi atau Kopi Nuri yang sama persis seperti yang ada di Sleman.
Ya maaf saja, saya masih belum bisa berdamai dengan ajakan ngumpul di Sleman. Ini kalau saya pribadi, lho ya.
Kita nglaju itu nggak cuma memikirkan jarak, lho, tetapi juga cuaca, estimasi waktu pulang, sampai bensin. Kalau cuaca nggak mendukung, kita juga semakin lama berada di jalan. Belum kalau pertemuannya dilaksanakan malam hari dan mundur dari waktu perkiraan. Harus diingat, jarak tempuh untuk kami pulang itu nggak kemudian berkurang jadi setengahnya lho, ya!
Kegelisahan warga Bantul
Padahal kami, sebagai sobat nglaju, mintanya cuma satu, yaitu merasa adil dengan jarak tempuh. Namun, semakin ke sini, saya semakin yakin bahwa memang keadilan soal jarak tempuh cuma dipegang sama mereka yang tinggalnya di Sleman.
Hal-hal sekecil menghargai jarak tempuh inilah yang nggak kemudian dipikirkan oleh mereka ketika mengadakan pertemuan. Padahal, timbal balik itu penting sebagai bentuk rasa dihargai dan menghargai. Wajar makanya kalau saya marah: mangkat kadohan, ora mangkat dadi omongan, terus saiki aku kon piye?
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bantul, Daerah yang Penuh dengan Kejadian (dan Orang) Aneh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.