Saya tidak berlebihan dalam menulis judul di atas. Dan saya tidak berniat meromantisasi secangkir seduhan biji Coffea sp. berwarna gelap ini. Faktanya, kopi memang pernah sangat ditakuti oleh para tiran.
Mungkin, Anda merasa kopi sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Pagi sebelum kerja, ngopi. Hangout malam, ngopi. Bahkan rapat RT yang berputar-putar itu juga akrab dengan seduhan hitam getir ini. Belum lagi olahan minuman kopi yang memanjakan lidah. Pokoknya kopi itu sedekat nadi bagi banyak orang.
Siapa sangka, minuman kopi pernah menjadi momok bagi para penguasa. Kopi dipandang sebagai “bahan bakar pembangkangan” yang membahayakan posisi para penguasa ini. Tidak main-main, kopi pernah dilarang dikonsumsi bahkan dicap sebagai minuman satanis! Saya pikir hanya darah kambing saja yang dipandang minuman pemuja setan.
Perjalanan kebencian tiran pada kopi meliputi dua benua: Asia dan Eropa. Setidaknya itu yang tercatat. Mari kita mulai napak tilas kebencian kepada kopi di Asia Barat. Tepatnya di Timur Tengah.
Pada awal abad ke-16, minuman kopi begitu akrab dengan sufi. Sebelumnya, budaya minum kopi dibawa dari Etiopia dan Yaman. Ada kedekatan khusus antara sufi dengan kopi. Dan kedekatan ini tidak hanya sekadar “kopi itu tanpa gula” seperti para pendekar kopi yang berkeliaran di kedai kopi.
Sufi terbiasa untuk minum kopi agar selalu terjaga saat berdoa dan prosesi pemakaman. Bahkan, kata kopi dan “coffee” berasal dari kata qahwa di Timur Tengah. Bisa dibayangkan bagaimana kedekatan masyarakat Timur Tengah dengan kopi. Bahkan sampai menyumbangkan nama bagi minuman anti ngantuk ini. Konon, kedai kopi pertama lahir di Kota Mekkah.
Konsumsi kopi yang makin membumi menyebabkan menjamurnya kedai kopi. Apalagi dengan citra buruk kedai anggur serta terbatasnya akses ke pemandian. Kedai kopi menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Timur Tengah. Dan apa yang dibicarakan oleh mereka di kedai kopi?
Tidak berbeda dengan hari ini, pembicaraan di kedai kopi mula-mula juga sangat variatif. Dari keseharian, ilmu agama, ilmu filsafat, sampai kekecewaan pada kerajaan. Nah, materi pembicaraan yang terakhir ini dibenci oleh tiran.
Meningkatnya diskusi tentang kritik kepada kerajaan sampai ke telingan Khair Beg. Blio adalah pemimpin wilayah Mekkah pada masa tersebut. Demi langgengnya pemerintahan Khair Beg, maka dimulailah upaya pelarangan konsumsi kopi.
Banyak kedai kopi ditutup paksa. Disebarkan pula isu bahwa kopi termasuk dalam khmar dan haram dikonsumsi. Kampanye hitam Khair Beg ini gagal. Alasannya, Sultan Kairo (Pemimpin Khair Beg dan Timur Tengah) tidak berkenan jika minuman favoritnya dan rakyat Kairo dilarang seenak jidat tanpa izin Sultan sendiri.
Kopi makin identik dengan penyebaran agama dan budaya Islam. Di setiap daerah yang terjamah para musafir dari Timur Tengah, kopi akan muncul di sana.
Itulah kisah pelarangan kopi dari Timur Tengah, yang bisa dianggap sebagai tanah kelahiran minuman kopi. Namun, pelarangan kopi di wilayah Asia tidak berhenti di sekitar Mekkah saja.
Pelarangan kopi di wilayah Asia juga muncul di Konstantinopel. Setelah Murad IV menguasai takhta Ottoman pada 1623, blio segera menerbitkan hukum larangan konsumsi kopi di wilayah kekuasaannya. Tidak hanya sekedar melarang, hukuman tegas juga mengancam para penikmat kopi (yang entah minum saat senja atau tidak).
Hukumannya tergantung berapa kali seseorang tertangkap sedang minum kopi. Hukuman untuk yang baru pertama tertangkap adalah dipukuli. Baik dengan tangan kosong maupun dengan bilah kayu. Jika tertangkap lagi, orang tersebut akan dibuang ke Selat Bosporus.
Bisa Anda bayangkan, hanya karena minum kopi Anda bisa berenang bersama ikan di Selat Bosporus. Namun, alasan Murad IV sendiri cukup jelas. Kopi dapat memicu pembicaraan kritis terhadap pemerintah. Dan pembicaraan ini bisa berujung pada revolusi.
Kita sudah bicara pelarangan kopi oleh para tiran di Asia. Bagaimana dengan Eropa? Bangsa Eropa mulai menikmati kopi setelah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan di Asia Barat. Salah satu pelopor budaya minum kopi di Eropa adalah Inggris. Dan upaya melarang konsumsi minuman kopi muncul juga di Inggris.
Pada Desember 1675, Raja Charles II dari Inggris menerbitkan pelarangan untuk mendirikan kedai kopi. Charles II memandang kedai kopi sebagai “seminaries of sedition” (seminari hasutan). Wah, pandangan yang tidak main-main. Tentu pandangan Charles II punya dasar, dengan melihat ke arah mana kedai kopi di Inggris berjalan.
Di Inggris, muncul istilah kedai kopi sebagai “penny universities” alias universitas receh. Dengan membayar segelas kopi—yang tidak lebih mahal dari beberapa penny—Anda bisa terlibat dalam diskusi dan perdebatan perkara sains, agama, dan politik. Sebelumnya, obrolan yang demikian terkurung di balik pagar otoritas pendidikan.
Derasnya arus diskusi yang mengancam kerajaan Inggris menjadi alasan bagi Charles II melarang berdirinya kedai kopi. Tapi, toh upaya ini menemui kegagalan. Kedai kopi makin menjamur di Inggris dan belahan bumi Eropa lain. Konon, awal diskusi perihal Revolusi Prancis juga dimulai di kedai kopi.
Upaya pelarangan kopi juga muncul di Italia pada abad ke 16. Ketika budaya minum kopi datang ke Eropa daratan, para biarawan segera mengupayakan pelarangan. Alasan biarawan ini sederhana: kopi dipandang menyebabkan kecanduan seperti alkohol.
Upaya para biarawan Italia ini juga tidak setengah-setengah. Mereka ingin kopi dilarang oleh pihak gereja, serta melabeli budaya minum kopi sebagai budaya satanis. Namun, upaya ini gagal setelah Paus Clement VIII mencicipi kopi untuk pertama kali.
Sang pemimpin gereja Katolik ini langsung jatuh hati pada seduhan biji berwarna gelap ini. Blio “memberkati” kopi sebagai minuman favorit. Dengan penerimaan Paus Clement VIII, menjamurlah kedai kopi di wilayah Papal State (daerah kekuasaan Paus) serta Eropa Daratan.
Meskipun pemimpin gereja Katolik mendukung budaya minum kopi, toh tidak semua kerajaan Eropa setuju dengan budaya minum kopi. Contohnya adalah wilayah Swedia. Raja Gustav III melakukan pelarangan minum kopi. Blio juga menerapkan pajak tinggi pada sirkulasi biji kopi di daerahnya.
Bahkan, Raja Gustav III mempelopori hoax perihal minum kopi. Salah satu hoax yang terbit adalah minum kopi dapat menyebabkan kematian. Gustav III memaksa salah satu narapidana untuk minum kopi. Dokter kerajaan melakukan pemantauan perihal berapa banyak kopi yang bisa dikonsumsi sampai seseorang mati.
Percobaan ini tentu menyenangkan bagi si narapidana, dan membuat para dokter bosan menunggu. Tapi, hoax perihal bahaya minum kopi tetap terbit hingga akhir pemerintahan Gustav III.
Gelombang minum kopi tidak dapat terhenti oleh upaya para tiran ini. Pada akhirnya, kopi menjadi teman akrab manusia. Kopi juga menjadi saksi lahirnya revolusi dan negara baru di dunia. Sebut saja Prancis, Amerika Serikat, sampai Indonesia.
Maka, tanpa meromantisasi kopi ala-ala filsuf kopi, beri waktu sejenak. Sebelum menyeruput kopi favorit anda, berikan waktu sejenak untuk mengenang berbagai kisah pilu ketika kopi dipandang sebagai sumber masalah dan jadi sasaran para tiran. Kenang pula betapa rebelnya Anda jika minum kopi di abad ke 16 di pusat kota Mekkah.
BACA JUGA Menelusuri Asal Usul Nama Malioboro, Ikon Kota Jogja dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.