Sama halnya seperti mendapatkan pekerjaan di Jakarta, mendapatkan pekerjaan di Bali sepertinya juga menjadi hal yang diglorifikasi oleh orang-orang awam zaman sekarang. Kalau kerja di Jakarta identik dengan branding “naik kelas sosial” dan embel-embel “pekerja metropolitan modern”, kerja di Bali memiliki kesan “kerja santuy” dan “everday is holiday”. Alhasil, ketika kerabat dan teman tahu saya mendapatkan pekerjaan di Bali, respons mereka semua tak jauh dari, “Wah, asyik banget bisa liburan terus,” atau, “Nanti kalau aku liburan ke Bali, kamu jadi tour guide pribadiku, ya!”
Eh, tunggu dulu. Hanya karena saya tinggal dan harus mengais rezeki di Pulau Dewata, bukan berarti saya bisa hahahihi seperti turis yang tiap hari datang ke sini. Sini saya kasih tahu nggak enaknya kerja di Bali.
Kerja di Bali bukan jaminan bisa leluasa healing
Harus diakui, sebagai tempat yang berlimpah keindahan alamnya, setiap orang pasti punya tempat tujuan untuk healing di Bali. Mau duduk bengong di pantai menunggu sunset? Gampang. Ingin berkemah ke dataran tinggi yang sejuk? Sudah ada jalannya. Pun dengan mudahnya akses menuju tempat-tempat healing ini. Meski begitu, tidak berarti setiap pulang kerja saya bisa mampir untuk merasakan suasana santai di Bali.
Bali saat ini sudah ramai pendatang, baik pendatang domestik maupun dari luar negeri. Tidak jarang, di hari biasa saja bisa terjadi kemacetan. Apalagi ketika weekend dan tanggal-tanggal merah. Mau berlibur setelah kerja sudah malas duluan karena harus menghadapi keramaian.
Akan tetapi sebagai seorang pekerja kantoran, tentu ada hari-hari ketika kerjaan tidak terlalu sibuk. Nah, saat seperti itulah kita harus pintar-pintar melihat situasi dan kondisi untuk menyempatkan diri memberikan self-reward untuk diri sendiri seperti mendaki atau berkunjung ke pantai.
Baca halaman selanjutnya: Polusinya sama saja meski nggak separah di Pulau Jawa…