Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh Menang Cepat dari Shinkansen Jepang, tapi Kalah Telak Soal Menjawab Kebutuhan Warga

Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh Menang Cepat daripada Shinkansen Jepang, tapi Kalah Telak dalam Menjawab Kebutuhan Warga

Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh Menang Cepat daripada Shinkansen Jepang, tapi Kalah Telak dalam Menjawab Kebutuhan Warga (Unsplash.com0

Whoosh boleh menang cepat dari Shinkansen, tapi apakah kereta cepat ini sudah menjawab kebutuhan warga?

Kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh yang mulai dibangun pada tahun 2016 dengan berbagai dramanya—pembengkakan anggaran di tengah jalan (cost overrun) hingga melakukan pemangkasan rute—akhirnya selesai dikerjakan. Proyek prestisius yang menelan anggaran hingga Rp108 triliun ini resmi beroperasi pada Oktober 2023 lalu.

Sebagai orang yang suka dan percaya bahwa negara yang maju adalah negara yang memiliki transportasi umum yang proper dan terkoneksi ke semua wilayahnya, saya langsung mencoba naik Whoosh begitu ada kesempatan. Saya semakin antusias naik Whoosh lantaran banyak influencer yang mengatakan jika kereta ini lebih bagus ketimbang Shinkansen di Jepang.

Kebetulan, saya juga sudah pernah naik Shinkansen, jadi saya ingin membandingkan kedua kereta cepat tersebut. Benarkah Whoosh memang sebagus yang diceritakan orang-orang atau semua pujian tersebut gimik doang?

Kecepatan

Kereta cepat Whoosh mampu melaju hingga 350 km/jam. Perjalanan dari Jakarta (Halim) ke Padalarang yang berjarak 125 km bisa ditempuh dalam waktu 25 menit saja.

Sementara di Jepang, Shinkansen terbagi dalam tiga jenis, yaitu Nozomi, Hikari, dan Kudama. Shinkansen dengan jenis yang tercepat adalah Nozomi dengan kecepatan 300 km/jam. Naik dari Tokyo ke Osaka yang berjarak 492 km bisa ditempuh dalam waktu 2 jam 30 menit.

Jika dilihat dari segi kecepatan, Whoosh terbukti lebih cepat dari Shinkansen.

Kenyamanan di dalam kereta

Whoosh memiliki tiga pilihan kelas, yaitu ekonomi, bisnis, dan first class. Perbedaannya ada pada kursinya.

Kalau di kelas ekonomi kursinya agak tipis, tapi masih cukup nyaman. Sementara kursi first class-nya tebal dan penumpang akan mendapatkan makanan dan minuman gratis.

Sama dengan Whoosh, Shinkansen juga memiliki tiga pilihan kelas, yaitu reserve, non-reserve, dan green seat (first class). Untuk reserve dan non-reserve, keduanya sama-sama kelas ekonomi. Bedanya, yang reserve harus pesan dulu sehingga bisa memilih tempat duduk, sementara yang non-reserve kursinya acak, jadi siapa cepat dia dapat.

Kursi pada Shinkansen reserve kurang lebih sama tipisnya dengan Whoosh kelas ekonomi. Tapi, jarak antarkursi di Shinkansen lebih luas. Kemudian meja lipat pada Shinkansen nggak menempel di kursi sehingga penumpang bisa leluasa menggeser kursi ke belakang tanpa mengganggu penumpang lain.

Dari segi kursi dan jarak antarkursi sebenarnya Shinkansen unggul. Sayangnya, saat berada di dalam Shinkansen, penumpang masih merasakan guncangan meskipun nggak parah. Sementara kalau duduk di dalam Whoosh rasanya anteng dan hening. Saking stabilnya Whoosh ini, kalau kita letakkan koin 500 perak di pinggiran jendela, koin tetap bisa berdiri tegak. Keren pol.

Jadi, soal kenyamanan di dalam kereta, Whoosh sekali lagi lebih unggul.

Baca halaman selanjutnya: Whoosh memiliki satu rute saja…

Konektivitas, rute, dan biaya

Whoosh memiliki satu rute saja, yaitu Jakarta-Bandung, atau lebih tepatnya ke Padalarang dan Tegalluar. Kalau mau ke Kota Bandung, kita bisa turun di Padalarang lalu oper menggunakan kereta feeder.

Untuk konektivitas dengan mode transportasi lain, Whoosh juga terbilang cukup mumpuni karena sudah terkoneksi dengan bus DAMRI, TransJakarta, LRT, bahkan ojek online. Meskipun masih kurang di sana sini, tapi secara konsep konektivitasnya sudah bagus, sih.

Harga tiket Whoosh dari Jakarta (Stasiun Halim) menuju Padalarang dengan jarak 125 km adalah Rp200 ribu (kelas ekonomi). Tapi jika membeli tiket di weekend harganya naik menjadi Rp250 ribu. Jika dirata-rata, Whoosh memberikan tarif Rp1600/km.

Berbeda dengan Whoosh, Shinkansen memiliki rute yang panjang dan menjangkau seluruh Jepang. Konektivitas dengan mode transportasi lainnya tak perlu dipertanyakaan lagi karena sudah terkoneksi dengan beragam pilihan. Harga tiket Shinkansen ekonomi reserve dari Tokyo ke Osaka yang berjarak 492 km adalah Rp1,6 juta, atau rata-rata Rp3252/km.

Jika dilihat dari nominal harganya, tiket Shinkansen memang lebih mahal. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata warga di setiap negara, yaitu UMR Tokyo (Rp49,2 juta/bulan) dan UMR Jakarta (Rp5 juta/bulan) jelas sekali tiket Whoosh jauh lebih mahal bagi warga Jakarta atau Indonesia pada umumnya ketimbang tiket Shinkansen bagi warga Tokyo dan Jepang secara keseluruhan.

Kesimpulan dari Whoosh vs Shinkansen

Jika membicarakan teknologi dan kecepatan, Whoosh memang lebih unggul dari Shinkansen. Hal tersebut sebenarnya wajar mengingat Whoosh mulai dibuat pada tahun 2016. Sementara itu, Shinkansen pertama kali dibuat pada tahun 1964.

Akan tetapi jika dilihat dari tujuan pembangunan kereta cepat itu sendiri, saya rasa Whoosh belum bisa disandingkan dengan Shinkansen di Jepang.

Begini, Shinkansen mampu menjawab kebutuhan transportasi umum cepat bagi warga Jepang secara keseluruhan. Di Jepang, proyek Shinkansen mulanya dibuat oleh pemerintah Jepang untuk menghubungkan wilayah Jepang yang jauh dari ibu kota (Tokyo) untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di daerah yang tertinggal.

Rute pertama Shinkansen adalah Stasiun Tokyo ke Shin-Osaka. Di sepanjang jalur Shinkansen atau di wilayah sekitarnya, dibuat jalur komuter line untuk meningkatkan mobilitas warga di sekitar daerah metropolitan sehingga geliat perekonomian di daerah tersebut bisa cepat berkembang.

Mari kita bandingkan dengan logika pemerintah Indonesia saat membangun Whoosh. Kereta cepat Whoosh masuk dalam proyek stategis nasional. Jika merujuk pada statement Presiden Jokowi, kereta Whoosh dibangun untuk mobilitas dan peningkatan perekonomian warga.

Pertanyaannya, apakah semendesak itu membangun Whoosh? Apakah dampak ekonominya akan signifikan dan sebanding dengan biaya bombastis yang dikeluarkan negara dengan uang hasil utang?

Proyek Whoosh terkesan dipaksakan

Saya bukannya nggak sepakat dengan modernitas, tapi ini soal urgent atau tidaknya. Apakah Whoosh dibangun atas dasar kebutuhan atau keinginan?

Mengingat pilihan transportasi dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya sudah beragam—ada kereta api, pesawat, dan bus—saya kira proyek Whoosh terkesan dipaksakan. Ibaratnya, negara ini adalah pekerja Jogja dengan gaji bulanan hanya Rp2 juta dan sudah memiliki Honda Beat untuk sarana transportasi, tapi malah ambil pinjol untuk membeli Rubicon dengan alasan agar mobilitas lebih cepat sehingga pendapatan bulanan naik. Logika yang nggak masuk akal dan aneh, kan?

Selain itu, dalam konteks Shinkansen, wilayah Jepang yang luas daratannya lebih lebar ketimbang lautan, membangun kereta cepat tentu masuk akal. Namun, bagi negara kepulauan seperti Indonesia, jika ingin membuat perekonomian merata dan nggak ada kesenjangan yang lebar antara daerah, harusnya pemerintah memberikan subsidi pada tiket pesawat murah untuk daerah-daerah tertinggal. Harapannya agar warga di wilayah yang jauh dari pulau Jawa bisa menikmati fasilitas transportasi yang sama dengan Jawa. Bukannya malah membangun kereta cepat yang rutenya pendek sekali dan hanya bisa diakses segelintir orang.

Kalau sekadar buat gaya-gayaan agar terlihat seperti negara modern, Whoosh memang berhasil dan cukup membanggakan. Akan tetapi, jika disamakan dengan Shinkansen yang menjawab kebutuhan warga Jepang, Whoosh jelas kalah. Sebab, hal yang paling penting dalam pembangunan transportasi umum adalah menjawab kebutuhan mobilitas seluruh warga, bukan sekadar untuk bergaya.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pengalaman Naik Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh untuk Pertama Kali.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version