Keputusan mengejutkan sekaligus mengecewakan datang dari Kepolisian Republik Indonesia dua hari menjelang bergulirnya kembali kompetisi sepak bola Liga 1. Ya, pihak kepolisian nggak mengeluarkan izin keramaian. Alasannya amat klasik, karena kasus corona di Indonesia terus meningkat. Padahal nih kompetisi sepak bola kan sudah diatur tanpa penonton di stadion, kok masih bermasalah di izin keramaian?
Sementara gelaran pilkada yang potensi mengundang massa lebih besar malah tetap dilanjutkan. Sontak saja keputusan ini mengecewakan seluruh penggemar sepak bola di tanah air termasuk klub.
Siapa yang nggak kecewa, Bos, lha wong mayoritas klub sudah memulai persiapan jauh-jauh hari. PSM Makassar misalnya, yang memilih berkandang di Jogja sudah terlanjur datang dan menggelar latihan.
Malahan, Bali United sudah memasang papan iklan elektroniknya di Stadion Sultan Agung Bantul. Termasuk Barito Putra yang beberapa hari lalu menggelar uji tanding dengan PSIM Jogja.
Dipikir jarak Makassar, Bali, dan Banjarmasin itu dekat kali dari Jogja ha?!? Belum lagi akomodasi juga nggak murah. Emang ngeri-ngeri sedap pejabat negeri ini kalau buat kebijakan. Eitss.. tapi tunggu dulu, kalau menurut saya sih emang tepat Liga 1 ditunda. Ini dia alasannya
Alasan pertama, pilkada memutar banyak sektor perekonomian
Di era pandemi, sepak bola lagi sepi-sepinya karena nggak ada penonton dan pedagang asongan yang biasanya jalan-jalan melewati sela-sela penonton di tribun. Artinya, ekonomi masyarakat juga tidak berputar.
Beda halnya dengan pilkada memutar sektor perekonomian masyarakat. Misal saja akun buzzer. Para buzzer ini jadi ada pemasukan. Selain itu, lihatlah dampaknya bagi rakyat-rakyat kecil jadi dapat sembako dan kaos saringan tahu (bergambar calon pemimpin). Apalagi kalau ditambah serangan fajar, rakyat dijamin lebih makmur dah..
Belum lagi vendor-vendor masker kain. Mereka jadi punya garapan memproduksi masker bergambar calon gubernur atau partai-partai pengusung. Jadi memang sudah tepat menunda Liga 1 demi ekonomi masyarakat lewat pilkada.
Alasan kedua, sepak bola di era pandemi nggak bisa jadi kendaraan politik
Nah, lagi korona gini pengerahan suporter jadi susah. Artinya kalau nggak ada pengerahan massa di stadion, mana bisa sepak bola jadi kendaraan politik. Sulit bos. Biasanya pas musim kampanye kayak sekarang ini calon-calon pejabat getol banget manfaatin suporter buat jadi komoditas suaranya kelak di TPS.
Ya caranya kayak dangdutan dengan mengundang artis-artis cantik nan seksi di stadion, sebelum atau sesudah pertandingan.
Beberapa contoh kompetisi sepak bola yang berbau politis kayak Piala Presiden, Piala Gubernur Jatim, atau Piala Gubernur Kaltim. Nggak bisa dimungkiri sepak bola memang kendaraan politik yang paling menggiurkan.
Tapi, pas korona gini kan nggak mungkin. Akibatnya di stadion sepi dan nggak ada yang bisa dimanfaatin buat calon kepala daerah. Jadi memang sudah tepat kalau ditunda dulu.
Alasan ketiga, nggak bisa datangin cuan buat PSSI
Selama satgas Covid-19 melarang sepak bola dihadiri penonton, di situ pula PSSI nggak cuan. Lah kok cuan bos? Ya iyalah selama ini kita tahu kalau pemasukan PSSI salah satunya ya dari uang denda.
PSSI bisa dapat uang denda kalau ada tim yang ngelanggar peraturan salah satunya karena ada keributan, kericuhan, atau tawuran antar suporter di dalam atau luar area stadion. Di era pandemi, saat ini hal tersebut jarang atau bahkan tidak mungkin terjadi. Yang ada PSSI sekarang malah jadi nombok buat biaya swab test dan operasional protokol kesehatan lainnya.
Bayangin saja buat ongkos tes swabnya sebelas kali selama satu musim. Tiap dua minggu sekali tim-tim harus melakukan swab test ke seluruh pemain termasuk official-nya. Kurang lebih satu tim ya paling 30-an orang lah. Dikali ada 18 tim di Liga 1.
Memang sudah tepat sih ditunda atau kalau perlu dibatalkan sekalian biar PSSI nggak nombok banyak. Saya sendiri percaya sekali kok uang denda bakal dipakai buat pembiayaan pengembangan sepak bola usia muda. Salah satunya timnas U-19 yang TC di Kroasia.
Alasan keempat, nggak ada degradasi
Walaupun dilanjutkan, sudah fiks kalau Liga 1 memang tanpa degradasi. PT Liga Indonesia Baru sendiri yang menetapkan peraturan ini. Artinya semua tim bisa pertanding tanpa takut kalah. Kalah pun kan nggak masalah lha wong nggak ada degradasi.
Eh, tapi kebijakan ini rawan dimanfaatkan oknum-oknum yang nggak bertanggung jawab untuk jual-beli pertandingan. Mumpung nggak ada degradasi bisa jadi peluang bagi klub untuk meraup keuntungan dari jual beli laga.
Jual beli laga artinya salah satu tim sengaja mengalah agar tim yang lain bisa menang. Ingat ngalah bukan masalah karena nggak ada degradasi jadi.
Saya bisa bilang begini karena memang ekosistem liga di Indonesia ini tidak sepenuhnya bersih dari mafia bola. Buktinya pengungkapan mafia bola Vigit Waluyo dan Joko Driyono beberapa waktu lalu. Jadi memang sudah tepat kalau ditunda atau sekalian dibatalkan supaya nggak lahir mafia-mafia baru yang memanfaatkan aji mumpung situasi saat ini.
Jadi intinya di balik kekecewaan penundaan kompetisi sepak bola Liga 1 dan tetap dilangsungkannya pilkada di tengah pandemi ini tetap ada hikmah yang bisa dipetik, walau nggak banyak-banyak amat.
Sumber gambar: Akun Twitter @panditfootball
BACA JUGA Main Master League PES dengan Tim Medioker Itu Jauh Lebih Menyenangkan dan tulisan Fatony Royhan Darmawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.