Sambutan terhadap datangnya bulan Ramadan dapat kita rasakan di berbagai tempat, mulai dari pertokoan yang menjanjikan diskon besar-besaran, masjid, bahkan hingga di gang sempit dan jalan-jalan desa. Mereka dengan meriah memasang spanduk, banner, atau poster bertuliskan “Marhaban Ya Ramadan” di mana-mana. Namun, rata-rata kemeriahan itu hanya akan kita temui di awal dan akhir Ramadan.
Kemeriahan Ramadan yang sanggup untuk menjaga ruhnya dari awal sampai akhir mungkin hanya ada di tiga tempat yaitu tayangan televisi, utamanya tayangan jelang berbuka yang biasanya diisi oleh komedi keroyokan itu. Iya, saya menyebutnya komedi keroyokan karena nggak lucu-lucu amat tapi rame-rame. Lalu tempat yang juga bakal tetap meriah dari awal hingga akhir Ramadan adalah pusat perbelanjaan dengan segala tipu diskonnya, danyang terakhir pasar takjil. Namun, pasar takjil bisa tiba-tiba sepi (layaknya masjid-masjid tanpa buka puasa gratis) kalau sewaktu-waktu ada hujan lebat.
Masjid dan segala keseruan ibadahnya pun akan mengalami pasang surut selama Ramadan. Masjid-masjid yang menyediakan takjil atau bahkan buka puasa gratis, sudah bisa dipastikan akan ramai saat tiba waktu magrib, bahkan saat-saat sebelumnya. Maklum, pemburu takjil gratis seperti saya ini memang rela berkorban asalkan tetap kebagian takjil.
Ibadah lain yang juga ramai di masjid adalah salat Tarawih, ibadah khas yang hanya ada di bulan Ramadan ini memang mengundang keramaian, khususnya di awal Ramadan. Sudah bukan pemandangan asing bukan, kalau hari pertama tarawih pelataran masjid akan sangat penuh bahkan tak jarang sampai ke jalan raya. Hari-hari kemudian, hingga mendekati hari raya, jangankan pelataran, serambi masjid pun bisa kosong dan tersisa jamaah tarawih yang sudah lansia di saf depan. Kira-kira pada ke mana ya orang-orang yang memenuhi saf di awal bulan Ramadan?
Berdasarkan pengamatan kasar dan obrolan ngawur saya, setidaknya mengerucutnya saf tarawih itu bisa dianalisis berdasarkan dua golongan yaitu golongan kota dan golongan desa. Menghilangnya masyarakat perkotaan yang mengisi saf tarawih ini biasanya tidak jauh-jauh dari godaan diskon. Biasanya pusat-pusat perbelanjaan akan memberikan diskon yang makin hari makin besar apalagi kalau jelang hari raya. Meskipun faktanya, barang-barang yang dijual adalah stok lama yang tidak laku-laku, tapi kata diskon itu menarik sekali jika angkanya semakin besar.
Atau alasan lain adalah jadwal buka bersama yang padatnya udah kaya jadwal kunjungan kerja presiden. Kadang, saking serunya momentum buka bersama ini kita jadi lupa bahwa dalam rangkaian ibadah bulan Ramadan itu ada yang namanya tarawih. Atau mungkin memang sengaja memanfaatkan waktu untuk ketemu kenangan, eh teman lama? Tarawih mah bisa besok-besok, ye kan?
Beda cerita kalau di desa. Musala di desa saya, awal Ramadan bahkan jamaahnya bisa salat di badan jalan karena musala yang terlalu kecil untuk menampung semangat jamaah yang membara. Wah, kalau seperti itu perlu perluasan dong musalanya? Tidak begitu, Maesaroh. Pertengahan hingga akhir Ramadan, musala kecil itu akan terlihat sangat lapang karena jamaahnya tinggal dua saf. Ke mana yang lain?
Jadi begini, berdasarkan pengamatan lapangan, saya mendapati bahwa para jamaah khususnya ibu-ibu memilih tarawih di rumah (istilah keren untuk menyebut tidak ikut tarawih) karena serial TV atau sinetron bertema Ramadan lagi seru-serunya. Ini beneran terjadi, lho, karena si tokoh A di episode sebelumnya mau cerai sama isterinya tapi bersambung, jadilah para jamaah tarawih menunaikan ibadah nonton serial TV.
Atau biasanya, kalau sudah semakin dekat hari raya, masyarakat sibuk membuat kue kering untuk suguhan lebaran dan hanya bisa dikerjakan malam karena siangnya harus kerja. Nggak usah menghujat dengan bilang, “Suguhan lebaran dipikirin, amalan Ramadan ditinggalin,” wong kalian kalau datang ke rumah orang juga hepi aja kok makan kuenya. Nggak pakai nanya, “Ini bikinnya pas waktu tarawih ya, Pak?”
Pada dasarnya semua orang selama Ramadan hanya ingin menikmati hal-hal yang tidak bisa dirasakan keseruannya di bulan-bulan lain. Baik yang berburu takjil, berburu diskon, nonton serial Ramadan, bikin kue lebaran, maupun yang sibuk tarawih dan tadarus, sebenarnya sedang menikmati Ramadan dan mencari keseruannya masing-masing. Jadi, tidak perlu merasa lebih baik di antara yang lain. Biarkanlah Ramadan tetap indah bagi semua orang dengan segala pilihan cara menikmatinya.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.