Ramai-ramai di media sosial para penulis yang mengungkapkan kekesalannya lantaran beberapa karya mereka dalam bentuk e-book diedarkan dengan ilegal oleh beberapa oknnum. Sebut saja Ntsana (Rintik Sedu), Boy Candra, J.S. Khairen, dan Tere Liye untuk yang ke sekian kalinya terpaksa harus pakai urat buat ngasih peringatan.
Saya sendiri hampir saja tergoda buat turut menikmati edaran e-book gratis dari kawan-kawan. Rasanya tergiur saja gitu, kayak lagi kena gendam (hipnotis). Maklum, saya kalau lihat buku memang suka nafsu. Seperti tokoh Bibbi Bokken dalam The Magic Library-nya Jostein Gaarder, yang kalau ngelihat buku bawaannya ngiler dan jadi laper. Buku bagi karakter novel berkebangsaan Norwegia itu ibarat cokelat dan makanan khas negara sana yang super lezat.
Meski sempat meminta agar salah seorang kawan mengirimkan e-book tersebut via aplikasi chatting, untungnya langsung saya delete sebelum sempat saya download. Efek gendam-nya ternyata nggak bekerja maksimal dalam diri saya wqwqwq~ Jangankan gendam, ha wong disasarin setan saja saya bisa lolos, kok. Serius ini pernah kejadian. Tapi kita nggak lagi bahas itu sekarang. Kapan-kapan saja saya tulis.
Balik lagi ke topik. Parahnya, Selasa (31/03) kemarin, banyak banget yang nyebarin e-book gratisan tersebut, dari story dan grup WA, Instagram, sampai jagat Twitter juga diramaikan dengan bagi-bagi e-book bajakan. Dari story WA salah satu kontak di HP saya, katanya sih sebagai kampanye agar di rumah saja dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat. Baca buku salah satunya, Uwuwuwu~ keren.
Alasan yang cukup masuk akal dan cukup bisa bikin perasaan saya amburadul. Saya seneng karena akhirnya banyak yang menyadari kalau membaca merupakan aktivitas yang candu lagi menyenangkan. Apalagi di tengah wabah seperti ini, sangat cocok buat ngisi waktu luang yang lumayan panjang di sela-sela kuliah daring, work from home, bersih-bersih rumah, olahraga, video call pacar, main cacing, berburu ayam, dan sangat worth it buat temen rebahan seharian.
Tapi lain pihak, sungguh miris banget pas tahu bahwa kenyataannya masih banyak yang menganggap pembajakan buku baik yang berbentuk hard copy maupun e-book hanyalah perkara biasa. Di sini nih saya merasa maklum kalau Boy Candra marah-marah di Twitter, J.S. Khairen sampai bikin cuitan yang pedesnya ngalahin Indomie Seblak Hot Jeletot, Ntsana yang mengaku jijik dengan para pelaku pembajakan, bahkan Bang Darwis a.k.a Tere Leye untuk yang ke sekian kalinya harus bikin klarifikasi di media sosial pribadinya.
Gimana nggak marah coba. Secara, banyak banget yang ngeremehin profesi sebagai penulis. tapi tanpa malu nyomot kutipan tulisannya buat caption. Nggak sedikit yang alergi sama para pengarang, eh tahu-tahu doyan juga kalau dikasih buku gratisan. Namun, yang lebih gawat adalah nggak banyak yang paham kalau para penulis itu hidupnya ya bergantung dari laris tidaknya buku yang terjual. Lah kalau bukunya dibajak gini, coba pikir deh gimana nasib mereka. Dapur harus tetep ngebul, istri harus tetep belanja, anak-anak butuh uang jajan sehari-hari, san kebutuhan pokok lainnya harus terbeli.
Lucunya, ada tuh beberapa orang yang saya kenal dengan terang-terangan bilang, “Apa sih yang bisa diarepin dari pekerjaan menulis? Duwit juga nggak seberapa.” Bener juga, sih, tapi jadi terkesan menyakitkan karena udah tahu penulis itu miskin, bukannya bukunya dilarisin eh sumber penghidupannya malah diembat juga. Dosa lu! Nggak punya hati lu pada ya, kebangetan emang! Ah malah jadi ikut ngegas, baper soalnya.
Jadi, pliiiisss, stop membagikan e-book gratisan tanpa izin resmi dari penerbit maupun penulis. Selain ilegal, itu juga tindakan kriminal you know? Membajak buku—dalam bentuk apa pun—itu sama dengan melakukan pembantaian massal terhadap penerbit, editor sekeluarga, penulis dan anak-istrinya, serta semua pihak yang terkait dalam proses pembukuan sebuah karya. Kejem kan, ya? Jadi jangan lagi deh kalau kalian masih punya hati nurani.
Saya yakin, kalau kalian di posisi para penulis sekarang ini, pasti juga ngerasain hal yang sama: rasa-rasanya pengin muntab. Ya coba renungin aja, nggak ada bedanya loh sama sistem tanam paksa. Yang kerja dia, yang nikmatin untungnya kalian. Kalian sih seneng, mereka yang sekarat.
“Udah lah, hitung-hitung amal buat menghibur yang lagi bosan di rumah. Toh yang penting kan maksud baik tulisannya sudah sampai ke pembaca,” celetuk salah seorang kenalan di kampus. Hei, sadarilah bahwa penulis juga butuh makan, mereka juga harus bertahan secara finansial di tengah pandemi yang entah kapan berakhirnya ini.
Bagi penulis penuh waktu, menulis bukan hanya sekadar biar bisa dibaca. Menulis bagi mereka ya bekerja, sama kayak kalian di pabrik sozzis. Bungkusin sozzis bukan cuma untuk dibagi-bagiin gratis ke seluruh plosok tanah air, tapi buat dijual, biar dapet uang. Sama-sama untungnya lah. Jadi kalian bisa nikmatin buku atau sozzis tersebut, penulis atau pekerja pabrik dapat juga upahnya. Kalau dalam Ilmu Pengetahuan Alam, ini namanya simbiosis mutualisme. Gitu aja masa lupa?
“Mau beli, tapi bukunya mahal banget. Nggak ada duwit.” Kalau sudah begini kasusnya, saya harus melibatkan Bang J.S. Khairen (yang nulis Kami Bukan Sarjana Kertas itu loh, Rek.)
J.S. Khairen lewat cuitannya di Twitter mengilustrasikan percakapannya dengan para pembajak buku sebagai berikut (dengan redaksi yang sedikit saya ubah):
“Lu download itu PDF pakai apa?” tanyanya.
“HP Bang,” jawab si pembajak.
“Lhah itu mampu beli HP, giliran beli buku kok mendadak miskin” cecarnya sekali lagi.
“HP itu kan hasil nabung Bang,” si pembajak masih belum menyerah.
“Oke, good. Nabung buat beli buku kan nggak ada salahnya juga.” Skak mat.
Gemesnya J.S. Khairen ke para pembajak ini masih mending ketimbang gregetnya Bang Boy Candra. Ada salah seorang pembajak yang meminta maaf karena telah lancang. Alasannya, dia menyebarkan story WA berisi edaran e-book salah satu karyanya Bang Boy karena merupakan amanah dari pihak penyebar story WA yang pertama. Amanah kalau nggak dikerjain jatuhnya ntar dosa, begitu katanya. Saking gregetnya, Bang Boy sampai bilang, “Ya sudah. Sekarang kamu makan taik. Itu amanah dari saya. Tolong dilakuin. Kalau nggak ngelakuin itu kamu dosa.” Buwahahahaha.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, kenapa para penulis selalu muntab dan ngegas-ngegas di media sosial kalau ketahuan bukunya dibajak. Dan bagi saya, itu sangat wajar dan memang perlu dilakukan. Kalau nggak gitu, kerja mereka selamanya nggak bakal dihargai dan hak-hak mereka juga nggak bakal terpenuhi.
Saya sendiri belajar banyak dari salah satu kawan dekat saya. Sebagai penikmat buku-buku bajakan, dia kini bahkan bertekad menyisakan uang bulanan untuk menebus buku versi aslinya. Sebab dia tahu belaka, menikmati buku bajakan sama halnya dengan menikmati pembunuhan dengan telanjang, di hadapan kita. Dan dia sadar, kondisi tersebut hanya terjadi pada orang yang kondisi kejiwaannya sedikit terganggu.
BACA JUGA Terpujilah Wahai Engkau, Para Pembajak Buku atau tulisan Aly Reza lainnya.