Di era media sosial seperti saat ini, kita terfasilitasi dengan penyebaran informasi yang serba cepat dan tidak hierarkis. Dulu, kita hanya dapat berperan sebagai penerima informasi, tapi saat ini dengan gawai yang kita miliki kita dapat ikut andil dalam memproduksi informasi maupun menjadi sumber informasi. Kita hampir dapat melakukan apa pun yang dulu terlihat musykil.
Akan tetapi, segala kemudahan akses ini bukan tanpa masalah. Buktinya, kita jadi lebih sering ribut di medsos memperkarakan hal-hal yang kadang juga tidak perlu. Membela kelompok atau gagasan yang kita suka atau kita yakini benar dengan menjelek-jelekkan pihak yang lain, melakukan bullying dan sebagainya.
Media sosial yang serba cepat itu memang menuntut kita untuk memperdalam informasi yang kita dapatkan secara mandiri. Maksudnya ya usaha sendiri untuk bisa benar-benar paham, karena sering kali bingkai yang ada di media sosial bahkan hanya muat untuk menulis judul atau kutipan. Padahal kita tidak mungkin akan langsung mengerti segala sesuatu hanya dengan judul, kan?
Sayangnya, kita terburu-buru merasa cukup dengan apa yang kita lihat dan tidak berusaha mendalaminya. Sehingga yang terjadi, kita mudah sekali menjadi hakim atas suatu perkara di media sosial, tanpa tahu seluk beluk perkaranya. Kita juga jadi mudah memutuskan mana yang benar dan kemudian mempersalahkan yang lain. Alih-alih menjadi hakim yang dapat mengurai permasalahan, sering kali kita justru menjadi sumber masalah akibat mempertentangkan kebenaran versi kita dengan versi orang lain.
Kalau kata Ferdinand de Saussure cara berfikir yang serba memperlawankan itu namanya oposisi biner. Mirip konsep bilangan biner yang berbasis angka dua, kita juga sering membuat dua kotak untuk memahami masalah di medsos. Kayak gini misalnya, mulanya kita hanya berfikir bahwa “ide dan gagasan si A ini kayanya bagus, deh” lalu untuk semakin meyakinkan diri kita bahwa ide si A itu bagus kita mulai mencari pembanding. Sayangnya perbandingan itu biasanya tidak dimaksudkan untuk komparasi, tapi mencari kelemahan pihak lain sehingga kita punya alasan kuat bahwa apa yang tadi kita pikirkan itu benar.
Contohnya begini. Tahu itu bagusnya bentuknya trapesium, jadi kalau ada tahu yang bentuknya nggak trapesium itu pasti tahu yang jelek. Kira-kira seperti itu pikiran kita bekerja dalam mencerna informasi serba cepat di media sosial.
Kenapa bisa begitu? Pasalnya, algoritma media sosial memang membuat kita cenderung akan lebih banyak menemui hal-hal yang kita setujui dan memperkuat dengan narasi kontra terhadap hal-hal yang tidak kita setujui. Misalnya kita dukung klub bola X dan sering nge-like postingan yang mengunggulkan klub itu, maka di halaman pencarian kita yang muncul juga mayoritas tentang keunggulan klub X dan sesekali kelemahan klub-klub bola yang lain. Biar apa? biar kita makin percaya diri kalau pendapat kita benar, dan sekali lagi ini merupakan konspirasi kapitalis strategi marketing supaya kita betah berlama-lama main medsos.
Akibatnya, kita jadi sangat sulit menerima perbedaan karena kita sudah memupuk kepercayaan diri bahwa apa yang kita yakini dan kita pahami adalah hal yang benar sehingga jika ada pendapat atau pemahaman yang berbeda dari kita berarti pendapat itu salah.
Padahal jauh sebelum era media sosial, Rasulullah sudah wanti-wanti kepada kita untuk bersikap moderat karena sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah atau yang sedang-sedang. Lha gimana mau berdiri di tengah-tengah kalau kita tidak pernah mau belajar memahami apa yang tidak kita setujui? Bawaannya pengin semua orang sependapat sama kita terus.
Jadi ingat kata Gus Dur bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, maka ia akan makin sulit menemukan kesalahan orang lain. Karena jika pun salah dari satu sudut pandang, tetapi bisa jadi benar melalui perspektif ilmu yang lain.
Jadi, mulai sekarang kita perlu banyak tanya dan banyak tahu sebelum berkomentar atau menilai apa pun yang kita temukan di era yang serba cepat ini. Begitu pula jika kita berperan sebagai sumber informasi, kita perlu melakukan yang namanya disiplin verifikasi. Ya meskipun kita belum jadi seseorang yang tinggi ilmunya seperti yang dikatakan Gus Dur. Setidaknya kita berusaha untuk tidak terjebak dalam pemikiran yang saling memperlawankan lah, ya.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.