Kenapa kekerasan di pondok pesantren seakan-akan lenyap dari dunia, dan jarang sekali viral?
Kita sudah sangat menyadari, bahkan bersepakat dengan seksama tentang hukum rimba di negeri Wakanda, yakni “no viral no justice”. Tentang bagaimana hukum bisa ditegakkan, diusut, bahkan diproses kalau viral terlebih dahulu. Entah apa pun itu kasusnya, kalau dah viral duluan ya pasti kok dilirik aparat kita.
Salah satunya yakni kasus kekerasan di sekolah yang beberapa waktu lalu banyak diperbincangkan. Kasus pencolokan mata yang dialami siswa SD di Gresik nggak bakal diusut kalau nggak viral dulu. Kasus pembacokan guru di Demak yang baru diusut setelah videonya viral di sosial media. Bahkan kasus bullying di Cilacap juga baru diproses hukum ketika viral. Oke, benar berarti no viral no justice.
Namun, pertanyaannya adalah apakah aturan sosial ini juga berlaku di institusi pendidikan yang lain seperti pesantren?
Memang bahwa kasus kekerasan seksual di pesantren juga beberapa kali viral dan diproses tuntas. Namun, bagaimana dengan model-model kekerasan yang lain? Kekerasan fisik, verbal bahkan simbolik apakah pernah mencuat di publik? Kalau viral saja nggak bisa, bagaimana memprosesnya? Apalagi mendapat keadilan atas berbagai kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren.
Daftar Isi
Pondok pesantren adalah institusi semi militer
Mungkin sudah tak menjadi rahasia lagi bahwa pesantren itu adalah institusi pendidikan semi-semi militer. Khususnya pesantren tradisional yang masih menerapkan sistem pendidikan klasik, tempo jadul, atau pendidikan yang masih kolot banget, yang apa-apanya mengandalkan fisik.
Saya adalah alumni di salah satu pesantren di Gresik, dan sedikit banyak telah menjelajah di beberapa pesantren tradisional di Jawa Timur dan Jawa Tengah ketika bulan Ramadan. Ketika mendengar pengalaman santri-santri lain di luar pesantren saya, semuanya memiliki keserupaan dengan apa yang saya alami juga, bahwa kekerasan di pesantren adalah hal yang lumrah bahkan dinormalisasi sebagai tradisi.
Ada santri yang merokok, digunduli, dipotong nggak karuan rambutnya, bahkan ada yang badannya ditusuk pakek bara rokok. Ketika ada santri yang mencuri, kepalanya disiram air got oleh pengurus, bahkan sebelum itu digebukin oleh santri sampek babak belur. Telat berjamaah satu rakaat bakal kenak satu hempasan rotan. Nggak sekolah, disuruh lari muter lapangan pesantren. Santri senior yang bebas memerintah, mukul, bahkan membully santri yang lebih junior. Bahkan paling mengerikannya ada santri yang membunuh santri lainnya.
Kalau saya boleh membandingkan, kekerasan di sekolah yang kerap viral itu nggak ada apa-apanya dengan kekerasan di lingkungan pesantren. Liat saja kekerasan seksual di pesantren lebih mengerikan bahkan sampai punya anak, merenggut banyak korban, bahkan seperti perbudakan, jika daripada kekerasan seksual di sekolah. Pesantren itu udah nggak hanya sekelas akademi polisi, tapi udah militer yang sangat mengerikan. Taruhannya udah seperti hidup dan mati.
Beberapa pesantren tidak diperbolehkan membawa HP
Pertanyaannya adalah mengapa berbagai kekerasan di pondok pesantren itu sulit untuk viral, bahkan rasanya sulit menjadi perbincangan publik?
Mohon maaf ya di pesantren saya itu pernah ada kasus pengeroyokan santri hingga babak belur. Bahkan pihak korban keluarga itu sempat melaporkan polisi, dan sampai aparat sudah datang di pesantren. Tapi, sayangnya kasus itu lagi-lagi tidak sampai viral, bahkan nggak sampai diproses hingga tuntas. Lagi-lagi diselesaikan secara kekeluargaan.
Ternyata pertanyaan tentang kenapa kok kekerasan di pesantren nggak sampai viral itu salah satunya jawabannya cukup sederhana. Sebab, di beberapa pesantren itu nggak memperbolehkan santrinya membawa HP. Boro-boro mau ngeposting dan ngeviralin, lah wong main medsos aja nggak pernah.
Mentok yang boleh membawa HP ya pengurusnya doang. Dan, nggak mungkin juga dong selaku pengurus ngevideoin kekerasan di pesantren. Lah wong dia pelakunya, apalagi pengurus memiliki beban yang lebih dari kiai untuk merawat pondok pesantren, termasuk menjaga nama baik.
Unsur kepatuhan berlebih demi barokah
Nah, di titik yang paling substantif dari kenapa kekerasan di pesantren nggak seviral di sekolah adalah karena ada relasi kuasa yang sangat tinggi, antara kiai, pengurus dan santri. Dan, dari relasi ini menciptakan kepatuhan yang sangat berlebih dari hierarki tertinggi hingga ke bawah dengan dalih barokah.
Percaya nggak percaya, sepatuh-patuhnya seorang siswa, itu masih patuhan santri. Siswa kalo disuruh aneh-aneh pasti ada berontaknya, meskipun dikit-dikit. Lah, kalo santri, diperintah A ya A, B ya B, masuk jurang ya masuk jurang. Dalihnya adalah barokah. Seolah-olah fungsi otak seorang santri itu dinonaktifkan dan diganti dengan kebarokahan. Dikit-dikit berkah, dikit-dikit berkah.
Satu sabetan rotan dianggap barokah, dua kali berarti dua barokah. Disiram air got dianggap mandi barokah. Dibuanting dianggap dibanting keberkahan. Digunduli dianggap merontokkan kesialan dan diganti dengan keberkahan.
Diskursus wacana
Inilah yang kemudian oleh filsuf kondang Michel Foucault disebutkan bahwa kekuasaan dan penundukan itu berlangsung melalui diskursus wacana. Jadi, para santri diberi pengetahuan bahwa apa pun yang dilakukan padanya oleh pesantren adalah kebaikan, keberkahan, apa pun itu, jadi harus nurut dan nerima begitu saja, tanpa mempertanyakan bahkan menentangnya.
Ya, gimana ya, patuh sih boleh, tapi goblok jangan. Santri itu boleh dan sah-sah saja patuh, nurut, tapi tolong otaknya difungsikan, jangan seperti otak udang. Karena manusia dilahirkan untuk berpikir, bukan menjadi robot.
Kepada para pengurus maupun pelaku pesantren, plis, jadikan pesantren lebih ramah pada santri. Apa pun itu bentuk pesantrennya, kekerasan sudah nggak relevan lagi bagi santri. Pesantren bukan akademi militer, ia adalah akademi ilahiah yang tidak membenarkan kekerasan.
Kalau sekolah nggak boleh ada kekerasan, pesantren pun juga nggak boleh ada kekerasan.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sisi Gelap Pondok Pesantren, dari Maling Kutang hingga Menyukai Sesama Jenis