Jujur saja, cukup banyak teklap aksi yang saya ikuti didorong dengan setingan keos. Nggak semua memang, terutama ketika targetnya hanya aksi damai. Sayangnya, hampir semua aksi damai yang kami lakukan tidak berujung signifikan pada perkara dorongan wacana ke publik. Lah kalau damai ngga banyak media yang mau liput.
Itulah kenapa aksi berujung keos banyak dipilih. Semakin keos, semakin banyak pula media yang meliput. Publik makin banyak yang tahu kalau ada demonstrasi dan aksi menentang kebijakan pemerintah. Walau kemudian, ada satu dampak negatif dari setingan keos dalam aksi: narasi rusuh/ricuh lebih banyak diangkat ketimbang narasi tentang wacana dan isu politik kenapa mahasiswa melakukan demonstrasi.
Akhirnya ada cukup banyak publik yang menganggap aksi hanya merugikan kehidupan masyarakat. Kemacetan dan kerusakan yang ditimbulkan kericuhan menjadi fokus perhatian mereka. Ada sebagian media dan masyarakat sih yang punya perhatian pada tuntutan politik terhadap rezim, walau masih tidak imbang dengan pandangan yang pertama.
Mungkin perkara setingan keos dan tidak ini adalah dilema yang belum bisa diselesaikan. Bagai pedang bermata dua, dampak baik dan buruk tetap hadir pada setiap pilihan itu. Walau kemudian, ada satu hal yang agaknya dilupakan oleh publik, yakni tentang bagaimana pada akhirnya setingan keos itu bisa terwujud.
Semua keos pasti bermula dari upaya polisi membubarkan atau memukul mundur massa. Kalau tidak begitu, hampir pasti tidak terjadi keos. Dan jarang biasanya, kecuali ada provokator yang menyusup di barisan massa, pihak demonstran yang memancing kericuhan. Toh upaya mentok massa aksi untuk mendorong keos hanya ada pada upaya mencoba menerobos dan maju terus ke wilayah Istana atau DPR yang telah dipalang oleh polisi,
Kebanyakan setingan keos yang kami sepakati di teklap, hampir selalu diarahkan pada upaya membubarkan aksi kami. Sederhananya, aksi bakal berujung keos kalau aksi massa dibubarkan paksa. Dan itulah kemudian banyak aksi massa dilakukan hingga lepas jam 6 sore, agar kemudian dibubarkan dan seakan berujung keos padahal ya mereka mau bubar juga.
Sepanjang pernah ikut aksi, ada momen-momen ketika kami tidak mau bubar sendiri. Masa kami pulang dan bubar sendiri, kan tidak asik. Karena itulah kami menunggu dibubarkan, biar ketika dipaksa bubar kami ada alasan untuk mundur dan pulang. Tapi ini tidak berlaku untuk semua ya, hanya sebagian dan mungkin kecil saja.
Ada juga keos yang terjadi sebelum malam dan massa dibubarkan. Biasanya dimulai dari dorong-dorongan antara polisi dan massa aksi, kemudian polisi memutuskan membombardir massa dengan gas air mata serta senjata pengaman aksi lainnya. Tapi ya agak jarang sih di masa-masa sekarang. Lebih sering setingan agar massa aksi dibubarkan dan berujung keos.
Jika kalian ingat, pada aksi mahasiswa besar-besaran pertama di bulan September pada hari Kamis tanggal 19, tidak terjadi kericuhan dan keos walau aksi berakhir hingga lepas Isya. Keos tidak terjadi karena memang polisi tidak melakukan upaya membubarkan massa. Mereka hanya mengatur lalu lintas, dan menjaga agar mahasiswa tidak masuk ke jalan tol. Karena itulah, kemudian massa aksi mahasiswa memutuskan bubar sendiri dengan aman dan damai tanpa sedikutpun kericuhan yang terjadi. Sejauh ingatan saya sih begitu.
Pun dengan aksi Gejayan Memanggil, baik pada jiid satu dan dua. Karena massa aksi mundur teratur begitu pukul 17.00, sama sekali tidak ada gesekan dengan pihak kepolisian. Semua berjalan dengan damai, orasi politik disampaikan dengan tepat ke media, dan viralnya beberapa poster aksi dari Gejayan Memanggil membuat isu dan tuntutan terhadap rezim tersampaikan dengan baik ke publik.
Pada aksi tanggal 23, 24, dan 30 September di Jakarta, kericuhan terjadi karena upaya polisi membubarkan massa aksi dengan cara represi. Menggunakan senjata pengamanan, membubarkan paksa massa aksi dengan cara yang tidak manusiawi. Ribuan orang ditangkap, ribuan pula terluka, ratusan dijadikan tersangka, semua karena kericuhan yang bermula pada upaya membubarkan paksa massa aksi di depan Gedung DPR yang dimuliakan kepolisian tersebut.
Memang sih pada tanggal 30 September ada sedikit provokasi dari massa aksi di bilangan utara jalan depan DPR ke arah Slipi. Tapi ya, seperti yang saya nyatakan tadi, selama aparat kepolisian tidak melakukan tindakan represi kepada massa aksi, selama itu pula kericuhan tidak akan terjadi.
BACA JUGA Bagaimana Polisi Seharusnya Menangani Aksi Demonstrasi atau tulisan Aditia Purnomo lainnya. Follow Facebook Aditia Purnomo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.