Sebagai sarjana Psikologi, sudah biasa rasanya saya dianggap sebagai seorang cenayang, bisa membaca kepribadian orang lain, dan dianggap mampu menyelesaikan berbagai macam masalah sosial di lingkungan sekitar oleh banyak teman saya. Udah begah rasanya dianggap sempurna dan tahu segala oleh orang sekitar. Please, Guys, saya hanya orang biasa yang juga kehidupan pribadi. Bahkan, nggak sedikit dari beberapa teman saya yang kuliah di jurusan Psikologi dengan niat “berobat jalan”—mengobati diri sendiri.
Selain itu, ada yang sampai saat ini mengganjal dalam benak saya. Sesuatu yang sebetulnya menjadi pertanyaan mayor untuk saya sejak awal kuliah. Kenapa mahasiswa Psikologi lebih banyak perempuan dibanding laki-laki? Masalahnya, bukan hanya di kampus saya, tapi juga di banyak kampus lain. Beberapa teman yang kuliah di jurusan Psikologi di lain kampus pun sulit untuk menyangkal hal tersebut.
Apa jurusan Psikologi kurang menarik bagi kebanyakan lelaki? Lalu, apa yang membuat jurusan ini begitu menarik bagi para perempuan? Sebagai perbandingan, ketika saya kuliah, dari 40 mahasiswa di kelas, jumlah lelaki hanya 9 orang. Belum lagi di kelas lain dengan perbandingan yang kurang lebih sama antara lelaki dan perempuan.
Saya rasa, di luar dari minat seseorang, pemilihan jurusan Psikologi bagi tiap orang dilandasi oleh stigma yang melekat di masyarakat. Seperti pertanyaan, “Kalau masuk Psikologi, nanti kamu kerjanya apa?” misalnya. Dari pengalaman saya, banyak teman-teman saya yang perempuan bisa dengan luwes menjawab setelah lulus ingin menjadi apa. Tiga terbesar adalah menjadi HRD, Psikolog, dan Dosen atau pengajar. Sisanya adalah jawaban beragam dan tidak linier dengan jurusan perkuliahan.
Untuk lelaki? Nggak jarang masih gagap ketika menjawab pertanyaan tersebut. Masih ngawang-ngawang nanti akan kerja apa dan di mana. Karena kebingungan tersebut, nggak jarang para lelaki menghindari jurusan Psikologi dan lebih memilih jurusan perkuliahan yang dianggap pasti dan jelas nantinya akan kerja apa. Beberapa di antaranya seperti Akuntansi, IT, Teknik Elektro, Fisika, Matematika, Public Relation, DKV, dan ilmu praktis lainnya yang dianggap menjanjikan dan menunjang masa depan.
Selain itu, ilmu ini juga dianggap sebagai ilmu yang dinamis. Belum lagi harus belajar bersabar dan menjadi pendengar yang baik ketika proses belajar dan praktik di lapangan. Beda dengan ilmu eksakta lain yang sudah pasti dan jelas. Dan para lelaki, sepertinya lebih menyukai belajar ilmu yang menurut mereka pasti. Mulai dari proses hingga hasil yang didapat. Terlebih, jelas-jelas jika ilmu yang dipelajari bisa diaplikasikan juga diimplementasikan pada pekerjaan yang dilakukan.
Kemudian, alasan di jurusan Psikologi lebih banyak didominasi oleh perempuan, karena perempuan dianggap lebih memiliki kepekaan perasaan. Hal tersebut dianggap wajar dan diiyakan oleh banyak orang, karena sebelumnya berpikir bahwa di jurusan Psikologi, kelak mahasiswa dituntut untuk menjadi pendengar yang baik dan peka terhadap lingkungan ataupun seseorang. Padahal, di antara beberapa masalah yang ada dan dihadapi, diperlukan juga analisa yang cukup kuat untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Kemungkinan lain, sebagai salah satu disipilin ilmu yang abstrak, Psikologi juga memiliki tingkat kesulitan tersendiri dan memerlukan kesabaran ketika mempelajarinya. Dan sudah menjadi stigma di antara masyarakat bahwa perempuan lebih banyak yang bisa lebih sabar untuk hal ini. Menyadari hal tersebut, itu kenapa para lelaki yang ada di jurusan ini lebih sedikit dibanding perempuan.
Satu yang pasti, kalau di antara kalian ada yang masuk Psikologi hanya karena untuk menghindari hitung-hitungan, kalian keliru. Pasalnya di jurusan ini, kita belajar juga soal ilmu statistika yang berguna untuk mengolah data saat penelitian. Percaya, deh, Psikologi nggak akan lepas dari hitung-hitungan dan berkutat sama data dan angka.
Lantaran lelaki yang ada di jurusan Psikologi terbilang sedikit, saya bertanya ke banyak teman di jurusan, entah kakak tingkat atau adik tingkat, kenapa mereka—sebagai lelaki—mau masuk jurusan Psikologi. Jawabannya beragam. Selain ingin belajar dan paham tentang ilmunya, ada juga beberapa teman yang jawabannya nyeleneh, soalnya di jurusan Psikologi banyak perempuan yang cantik.
Lantaran saya agak mangkel dengan jawabannya, saya hanya merespons dengan berkata, “Percuma banyak perempuan cantik di jurusan kita kalau kamu sendiri nggak bisa bikin mereka merasa tertarik sama dirimu.”
BACA JUGA Ketika Tidak Kuat Lagi, Biarkan Psikolog Hadir dan Mendengarkan dan tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.