Terpilihnya Bongbong Marcos di pilpres Filipina menunjukkan pentingnya warga negara belajar literasi dan sejarah
Pada 9 Mei 2022 lalu masyarakat Filipina melakukan pemungutan suara untuk memilih presiden baru menggantikan Presiden Rodrigo Duterte. Dalam pilpres tersebut terdapat sepuluh kandidat calon presiden yang bertarung untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di Filipina. Di antara kontestan pilpres tersebut terdapat beberapa nama yang cukup diperbincangkan di antaranya Ferdinand Marcos Jr. atau karib dengan sapaan Bongbong Marcos, Leni Robredo, dan Manny Pacquiao, mantan petinju kelas dunia.
Dalam gelaran pilpres tersebut Bongbong Marcos keluar sebagai pemenangnya dengan perolehan suara 58,74 persen meninggalkan Leni Robredo di posisi kedua dengan perolehan suara 27,99 persen dan Many Pacquiao dengan perolehan suara 6,85 persen Hasil dari pilpres Filipina ini menjadi sorotan global dan kontroversial, karena kemenangan Bongbong Marcos menandai kembalinya Dinasti Marcos yang telah tertidur selama 36 tahun lamanya ke tampuk kepemimpinan Filipina.
Bagi yang belum tau, Bongbong Marcos adalah putra dari Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina yang naik jabatan pada 1965. Ia memerintah sampai 1986, yang kemudian diturunkan paksa oleh rakyatnya sendiri melalui aksi people power lantaran dicurigai mencurangi hasil pemilu. Kepemimpinan Ferdinand Marcos menandai era kelam sejarah Filipina di bawah rezim otoriter. Banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi di Filipina sepanjang masa kepemimpinan Marcos, terlebih setelah ia menerapkan darurat militer pada 1972 dengan dalih untuk menyelamatkan negara dari ancaman pemberontakan komunis. Tidak kurang dari 3000 aktivis, jurnalis, dan oposisi pemerintah dipenjarakan tanpa pengadilan, dihilangkan paksa, disiksa, bahkan dibunuh dengan keji pada kala itu.
Selain terkenal karena kediktatorannya, era kepemimpinan Ferdinand Marcos juga diwarnai dengan praktik KKN besar-besaran. Setidaknya 10 juta USD kekayaan negara raib dikorupsi Marcos dan kroni-kroninya. Istrinya, Imelda Marcos pun tak kalah kontroversial. Mantan ibu negara ini dikenal memiliki gaya hidup yang sangat hedon dan boros. Pemerintah Filipina hingga saat ini berupaya mengambil kembali kekayaan negara yang telah dikorupsi oleh keluarga Marcos melalui pembentukan suatu komisi PCGG (Presidential Commission on Good Governance).
Namun, terpilihnya Bongbong sebagai presiden yang otomatis memiliki kewenangan terhadap PCGG dikhawatirkan dapat mempengaruhi upaya pengusutan kasus korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh keluarga ini. Bongbong sendiri dikabarkan terlibat dalam kasus penggelapan pajak.
Dengan banyaknya catatan hitam Dinasti Marcos tentunya kita patut heran, kok bisa sih Bongbong memenangkan pilpres? Padahal ada alternatif lain seperti Leni Robredo yang tak kalah populer, wakil presiden saat ini sekaligus kepala oposisi yang banyak berseberangan dengan Presiden Duterte terutama masalah HAM. Rupanya salah satu faktornya adalah pada gelaran pilpres 2022 banyak sekali jumlah pemilih usia muda yang hidup jauh setelah rezim Marcos usai.
Selama tiga dekade setelah penggulingan Marcos, kesenjangan sosial yang tajam antara si kaya dan si miskin di Filipina tak kunjung teratasi. Perekonomian tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Dan kondisi negara dirasa terlalu menjemukan bagi generasi muda yang ingin perubahan cepat. Dalam keputus asaan generasi milenial dan gen Z pada kondisi negara yang begitu-begitu saja, Bongbong Marcos dengan cerdiknya masuk dan memberi harapan baru. Ia meromantisasi masa keemasan Filipina di era kepemimpinan ayahnya.
Terjadi disinformasi sejarah secara masif di postingan media-media sosial yang terus-menerus mengungkit jasa baik keluarga Marcos dan betapa digdayanya Filipina di kancah internasional pada masa pemerintahan Marcos, sembari terus mengelak terhadap dakwaan korupsi. Fakta pelanggaran HAM mengerikan yang menjadi ciri khas rezim Marcos dipelintir sebagai upaya menjaga ketertiban negara belaka.
Narasi-narasi tersebut seolah memosisikan keluarga Marcos sebagai korban fitnah sejarah yang sebenarnya tak bersalah. Postingan-postingan berdasarkan data yang entah dari mana itu kerap kali bertebaran di media sosial beberapa tahun sebelum pelaksanaan pilpres. Apalagi dalam kontestasi pemilu kali ini Bongbong Marcos menggandeng Sarah Duterte, putri presiden Filipina saat ini untuk berkampanye sebagai wakil presiden. Yang jadi masalah adalah, ayahnya punya wewenang dalam membentuk komisi pemilihan. Jadi, banyak kecurigaan tentang conflict of interest. Perlu diketahui bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden di Filipina dilaksanakan terpisah.
Sekembalinya keluarga Marcos ke Filipina, mereka memang berupaya keras memperbaiki citra buruk keluarganya. Salah satu upayanya adalah dengan terjun kembali ke dunia politik dan melakukan aksi-aksi sosial. Kegiatan sosial seperti itu lantas mengaburkan ingatan kolektif masyarakat terhadap masa kelam kediktatoran Ferdinand Marcos. Terlebih generasi muda yang tidak hidup sezaman dengan rezim Marcos mudah terbuai dengan romantisasi sejarah yang sengaja dinarasikan oleh kubu Bongbong. Harus kita ingat bahwa kebohongan yang terus-menerus diulang-ulang bisa dipercayai sebagai suatu kebenaran umum.
Fenomena serupa sebenarnya bisa kita jumpai di Indonesia. Contohnya saja beberapa waktu yang lalu sempat viral pernyataan anak-anak muda terpelajar yang menyatakan kesejahteraan dan kebebasan di era Orde Baru lebih baik dibandingkan saat reformasi. Tapi kebebasan manakah yang dimaksud? Lha wong kritik sedikit saja nyawa bisa melayang. Bahkan pakpuh saya pernah gagal tes PNS di masa itu hanya karena menjawab presiden favoritnya adalah Soekarno.
Yang ngomong orang BEM lagi. Duh, suram.
Jika dilihat sekilas dari segi pembangunan infrastruktur serta kesejahteraan (dan ini masih amat bisa diperdebatkan), mungkin pernyataan itu ada benarnya. Tapi, tidakkah mereka melihat harga mahal yang harus dibayar untuk seluruh kepalsuan itu? Berapa banyak nyawa, darah, dan air mata tumpah demi menjadi tumbal rezim orde baru? Pun pembangunan di masa itu tentu saja terlihat megah karena dikomparasikan dengan Orde Lama yang masih dipenuhi konfrontasi fisik dan politik. Harga-harga stabil karena disokong subsidi dari utang luar negeri. Keamanan stabil karena aparat galak bukan kepalang pada masyarakat, lalu tikus berdasi di pemerintahan berkeliaran menggerogoti uang negara. Apakah mereka lupa dengan hal ini?
Kemenangan Bongbong Marcos dengan metode kampanye distorsi informasi ini tentunya menjadi bukti akan pentingnya literasi sejarah dan politik bagi masyarakat. Terlebih lagi pada masa-masa pemilu yang akan datang dua tahun lagi. Pasti akan banyak sekali narasi-narasi palsu yang sengaja diembuskan untuk meningkatkan elektabilitas seorang kandidat atau justru menjatuhkan kandidat lainnya sebagai lawan.
Jangan sampai para pemilih mudah terpengaruh framing yang dibentuk oleh media dan memilih kandidat berdasarkan emosional, favoritisme, atau termakan dengan politik uang semata. Pemilih yang baik seharusnya memilih berdasarkan pengetahuan dan kecocokannya pada visi misi, track record, serta kinerja kandidat wakil rakyat yang akan dipilihnya. Jangan sampai mempertaruhkan masa depan negara selama lima tahun ke depan di tangan yang salah hanya karena termakan hoax.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Warga Jogja Jangan Mimpi Kaya kalau Separuh Gajinya untuk Ongkos Transpor