Kelakuan Para Pembeli Gorengan: Lain yang Dipegang, Lain Pula yang Dibeli

gorengan

gorengan

Saya percaya bahwa warkop alias warung kopi, selalu menjadi tempat yang menyenangkan dalam berbagi cerita. Dari obrolan sederhana tentang permasalahan sehari-hari, prestasi Indonesia dari sisi olahraga, sampai dengan perbincangan berat seperti situasi dan kondisi politik terkini dari dalam negeri. Semua diceritakan dengan gaya bahasa yang ringan juga mudah dipahami oleh satu sama lain, lengkap dengan segala canda tawanya. Selain itu, biasanya juga ada kelengkapan lain seperti radio atau TV di suatu warkop, sehingga jika obrolan terhenti tetap ada sesuatu yang bisa dibahas. Semua mengalir begitu saja—tanpa direncanakan. Sambil berbincang ringan, ada banyak camilan gorengan dan aneka minuman yang bisa dimakan bersama. Dari mulai kacang, teh manis, kopi, aneka gorengan, juga indomie. Eh, indomie itu camilan atau makanan berat, sih?

Camilan apa pun yang ada di warkop biasanya akan cepat habis dan berbanding lurus dengan tingkat keasyikan mengobrol beberapa orang. Dari beberapa camilan yang ada, yang sulit untuk ditampik keberadaannya adalah gorengan. Apalagi jika disantap selagi hangat. Siapa pula yang dapat menahan godaan penampilan serta aroma dari gorengan.

Dimakan sembari didampingi teh manis, kopi, atau dicelup ke kuah indomie rebus, gorengan masih tetap terasa enak. Namun, kenikmatan dalam melahap gorengan seringkali terganggu saat saya melihat secara langsung bagaimana banyak orang memilih—sekaligus memegang—gorengan dengan menggunakan tangan kosong.

Sampai pada poin ini saya tidak ada masalah, kemudian yang menjadi masalah adalah saat seseorang memegang gorengan, disimpan kembali pada tempatnya, lalu malah mengambil gorengan lain untuk dimakan. Maksud saya sih, memang bedanya apa dan di mana? Kan sama-sama gorengan, sama-sama masih hangat, pegangnya yang lain, eh ngambil dan makannya juga yang lain.

Sejujurnya, saya sih jijik. Selain itu kan amat sangat jorok. Ditambah, saya tidak tahu menahu apa yang sudah dipegang seseorang sebelum memegang gorengan. Tangannya dalam keadaan bersih atau tidak, minimal sudah cuci tangan. Saya memang bukan seseorang yang over-higienis, tapi soal makanan tentu berharap ingin selalu terjaga kebersihannya. Boleh lah saya makan, selama saya tidak melihat secara langsung gorengan apa dan yang mana yang sudah dipegang—tapi tidak dibeli atau dimakan.

Masalahnya, gorengan yang satu dengan yang lain itu sama bentuknya, sama pula besarnya. Kalau pun ada perbedaan, tidak akan mencolok dan berbeda jauh dari segi ukuran—tidak seberapa. Jadi, untuk apa sih dipilih sebegitunya? Bahkan dijadikan kebiasaan yang jika tidak dilakukan terasa ada yang kurang saat membeli juga memakan gorengan.
Beberapa teman saya ada yang berperilaku seperti demikian. Saya pun sudah berusaha menegur secara langsung, alih-alih mengucapkan terima kasih karena sudah mengingatkan dalam rangka menjaga kebersihan bersama, eh saya malah kena omelan sekaligus sindirian secara langsung, “yaelah, emang kenapa, sih, sepele banget. Bersih kok (tangan) gue, sok bersih lu”.

Respon tersebut cukup telak, mengingat saya pernah terkena gejala tipes tiga kali dalam setahun—pada tahun 2013—yang salah satu sumbernya berasal dari makanan yang kurang higienis. Sebab itu, rasanya wajar jika saya menjaga kebersihan makanan sampai dengan saat ini.

Sebagian teman ada yang mengolok, “kalau mau makanan yang bersih, makan di restoran sana, jangan di warkop”. Ketahuilah, saya tidak sebegitunya. Saya masih sering dan biasa makan di warteg, nyemil di burjo dekat rumah, juga membeli lauk pecel lele atau ayam. Semuanya serba pinggiran dan tidak ada masalah sedikit pun bagi saya.

Padahal, jika memang ingin memilah terlebih dahulu gorengan atau makanan tanpa kemasan, sebelum dibeli atau konsumsi bisa menggunakan pencapit makanan agar setidaknya ada usaha untuk menjaga kebersihan makanan. Memangnya, yang mengonsumsi hanya dirimu seorang? Ingat, masih banyak pembeli lain yang berharap dapat makanan yang steril—bebas dari sentuhan tangan langsung yang tidak terjamin kebersihannya.

Saya juga selalu obervasi sewaktu membeli gorengan, hampir semua pedagang—entah di warkop atau pun dengan gerobak—jika mengambil makanan untuk pelanggan, hampir semua yang saya temui menggunakan capitan makanan. Tujuannya ya apalagi selain menjaga kebersihan makanan yang mereka jual.

Saya pun akhirnya menyadari, para pedagang yang baik berusaha menjaga kualitas serta kebersihan makanan yang dijualnya, namun tidak semua pembeli atau konsumen melakukan hal yang sama. (*)

BACA JUGA Stroke: Susahnya Mengatur Pola Makan di Negara Kuliner Terbaik Dunia atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version