Orang Madura, barangkali memang sengaja diciptakan Tuhan untuk membuat dunia terlihat lebih berwarna dan penuh tawa.
Madura itu unik. Begitu menurut saya kalau ditanya tentang pulau yang memiliki julukan Pulau Garam tersebut. Kita tentu tidak asing dengan imbuhan kata “taiye” di akhir kalimat. Atau aksen bicara yang bergelombang-gelombang (duh, kalau lewat tulisan kok saya sulit menyontohkan). Atau cara bicara dengan pengulangan kata seperti, “te-sate” untuk menyebut kata sate.
Ciri unik lainnya yang menunjukkan identitas Madura yakni, kaos loreng merah-putih yang biasanya dipakai satu stel dengan baju dan celana hitam lengkap dengan udeng yang melingkar di kepala. Madura juga dikenal dengan tradisi ikoniknya: karapan sapi ataupun tukang sate dengan kumis tebal dan celurit yang terselip di pinggang.
Lantas, dari mana khazanah itu saya dapatkan?
Saat masih duduk di bangku SMP, saya sangat gandrung menonton film dan FTV. Pada saat itu, peran-peran figuran di banyak film atau FTV yang saya tonton sering kali digambarkan dengan karakter di atas. Misalkan yang paling klise, dalam satu adegan si tokoh utama yang tiba-tiba merasa lapar tengah malam, dan pada saat yang bersamaan dari luar rumah seorang bapak-bapak berkumis tebal dengan dresscode kaos loreng merah-putih mendorong gerobak sambil berteriak, “te-sate, taiye.” Itu contoh dari FTV..
Contoh dari film layar lebar misalkan, dalam film Punk in Love (2009). Ada satu segmen tukang sate lewat tengah malam yang lagi-lagi digambarkan sebagai orang Madura. Ini scene favorit saya, nih, pas ternyata Arok (diperankan Vino G Bastian) akhirnya justru malah tunduk sama tukang sate Madura yang hendak dipalaknya. Ha gimana nggak tunduk, mainnya pakai celurit jeee.
Satu film yang memberi gambaran hampir utuh tentang Madura adalah film Semesta Mendukung (2011). Film ini malah mengambil latar belakang sebuah keluarga di Sumenep (salah satu kabupaten di Madura). Tukang sate berkumis tebal dan berbaju loreng tampaknya menjadi fardhu ain untuk mewakili Madura dalam kancah perfilman tanah air. Dalam film ini, lagi-lagi, ada saja adegan tukang sate (diperankan Indro Warkop) yang munculnya mesti tengah malam. Bahkan si tukang sate dalam film ini memiliki andil besar atas kesuksesan yang diraih si tokoh utama sewaktu meraih mimpinya di Jakarta.
Pada mulanya saya mengira kalau Madura adalah nama satu komunitas masyarakat yang ada di Jakarta, sebagaimana komunitas masyarakat Betawi. Lah gimana nggak kepikiran begitu? Film atau FTV yang saya sebut di atas kan diproduksi di Jakarta, tapi tidak pernah lepas dari unsur-unsur ke-Madura-an. Belakangan saya baru tahu, kalau bangsa Madura adalah bangsa perantau, tersebar di hampir seluruh Indonesia. Termasuk daerah dengan persebaran paling banyak, mana lagi kalau bukan Surabaya (tetangganya sendiri). Kota yang sekarang saya diami.
Saking banyaknya, saya sering gojloki teman saya yang dari Madura bahwa sekarang orang Madura meningkat statusnya dari bangsa perantau menjadi bangsa penjajah. Di kampus saya misalnya, coba cari satu saja fakultas atau prodi yang nggak ada orang Maduranya. Ibarat mencari keadilan di negeri ini jarum dalam tumpukan jerami. Mesti enek ae wong-wong Madura iki. Nggak di warkop, nggak di kampus. Kalau sudah saya gojloki begitu, teman saya yang dari Madura ini pasti bakal menjawab dengan tak kalah epic-nya, “Loh, tunggu saja kehadiran Madura Empire.” Beeehhh ngueri, Bos!
Selama saya di Surabaya, lingkaran pertemanan saya memang didominasi oleh orang Madura ketimbang teman-teman dari daerah asal saya sendiri. Dari sana saya akhirnya mengetahui banyak fakta baru mengenai Madura yang belum saya temukan dalam ensiklopedia mana pun.
Pertama, ternyata, orang Madura itu nggak mengenal warna hijau. Loh kok bisa? Fakta ini saya dapat ketika pada suatu siang di kosan, saya minta tolong agar teman saya (orang Madura) untuk mengambilkan gayung warna hijau di sudut kamar.
“Oh yang warna biru itu, ta?” tanyanya memastikan.
“Loh kok biru, itu yang ijo di pojokan,” protes saya.
“Iya, yang biru itu, kan? Biru daun,” wqwqwq.
Sempat saya iseng bertanya kepada kawan saya ini, “Kalau hijau itu biru daun, terus kalau biru asli itu apa dong, namanya?”
“Biru laut laaahhhh,” jawabnya dengan penuh percaya diri.
Saya semakin sadar bahwa ternyata pengetahuan saya atas warna-warna di semesta masih sangat jauh untuk disebut memadai.
Kedua, fakta lain yang saya dapat setidaknya dari teman Madura saya sendiri, ternyata di Madura itu nggak ada Taman Kanan-Kanak.
“Oh, berarti langsung masuk SD, ya?” tanya saya pada suatu ketika.
“Ya nggak lah,” jawab teman saya tegas.
“Lha, katanya nggak ada Taman Kanak-Kanak, berarti kan langsung SD?” tanya saya sekali lagi.
“Di Madura itu emang nggak ada Taman Kanak-Kanak. Adanya itu Taman Nak-Kanak, taiye.”
Asuuuuu logika saya benar-benar tidak pernah sampai sedetail itu. Seandainya dulu mereka hidup di zaman Plato, Socrates, dan Aristoteles, pastilah orang Madura jauh lebih layak untuk disebut sebagai pelopor filsafat dunia.
Tapi di antara sekian fakta tersebut, ada satu fakta yang membuat saya terkagum abang terheran-heran. Satu fakta yang sebenarnya sangat sufistik yang saya dapatkan dari cerita Cak Nun. Fakta ketiga tersebut adalah, orang Madura terkenal sangat akrab dengan Tuhan. Ini fakta yang membuat saya betul-betul iri. Pasalnya, serajin apa pun saya salat lima waktu, saya kok belum pernah bisa sampai pada tahap me-gojlok Tuhan.
Jadi ceritanya, ada seorang nelayan asal Madura yang mengajukan protes kepada Tuhan karena nggak dapat ikan. Sementara sudah seharian penuh dia bertaruh nasib di tengah lautan. “Ya Allah, masa iya njenengan tega lihat anak-istri saya kelaparan? Mbok ya dikasih empat atau berapa gitu.” Akhirnya ada empat ikan yang berloncatan ke perahunya.
Si Madura kembali menatap langit. “Ya Allah, masa iya dikasih empat beneran. Masa njenengan nggak paham kode saya?” Beberapa saat setelah mendongak ke langit, perahu Si Madura ini dipenuhi ikan-ikan. Saking penuhnya, Si Madura terpaksa menyeret perahunya sampai ke tepian sambil berenang karena sudah tidak ada tempat lagi di atas perahu. Tiba di tepi pantai, Si Madura mendapat kabar kalau rumahnya kebakaran. Si Madura mendongak ke langit sambil berkacak pinggang, “Ya Allah, urusan laut mbok ya nggak usah dibawa ke darat.”
Ini kalau bukan yang sangat akrab dan sangat bersahabat dengan Tuhan, nggak bakal berani, loh, bilang begitu.
Bayangkan, Tuhan saja diskak mat, apalagi manusia. Sebab dari cerita Cak Nun juga, pernah juga suatu hari si Madura ini tertangkap basah mencari ikan di perairan Malaysia. Oleh kepolisian laut Malaysia, si Madura diinterogasi.
“Anda tahu, kalau Anda sudah melanggar batas teritorial?”
“Mohon maaf, Pak. Tapi saya tidak mencuri ikan di Malaysia.”
Si Polisi mengernyitkan dahi mendengar pengakuan si Madura. Pasalnya sudah jelas-jelas ia tertangkap basah sedang menjala di perairan Malaysia.
“Pak, tak kasih tahu, saya itu tidak mencuri ikan di Malaysia. Saya itu cuma ngejar ikan dari Madura yang lari sampai ke Malaysia.”
Modyar koweeee. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa orang Madura memang bangsa pilihan. Bangsa yang dibekali kecerdasan akreditasi A+ oleh Tuhan.
Saat Indonesia dan China saling klaim soal perairan Natuna, adalah kesalahan besar militer kita tidak memanggil orang Madura sebagai negosiator. Pasalnya, jika ada satu saja bangsa yang boleh mengklaim kepemilikian atas pulau Natuna, tidak lain tidak bukan adalah bangsa Madura. Sebab konon katanya, yang pertama kali menemukan dan memberi nama perairan tersebut adalah orang Madura. Kalau bukan orang Madura, pasti namanya cukup “Tuna”. Namun, berhubung yang menemukan adalah orang Madura, alhasil namanya adalah “Na-Tuna” taiyeee.
Orang Madura, barangkali memang sengaja diciptakan Tuhan untuk membuat dunia terlihat lebih berwarna dan penuh tawa. Kalau bumi Pasundan tercipta saat Tuhan sedang tersenyum, (mengutip dari Cak Nun) maka Madura tercipta justru saat Tuhan sedang tertawa.
BACA JUGA Keuntungan Sesama Orang Madura Pakai Bahasa Madura di Luar Wilayahnya atau tulisan Aly Reza lainnya.