Kisruh dan silang pendapat hadir karena wacana naturalisasi beberapa remaja Brasil, sebagai persiapan jelang Piala Dunia U-20 yang digelar di Indonesia tahun depan. Setidaknya menggambarkan situasi umum yang absurd di sepakbola nasional. Reaksi keras pelatih timnas U-19, Fakhri Husaini, yang menentang proyek naturalisasi ini sebenarnya menunjukan juga pandangan umum dari wacana yang dicanangkan oleh PSSI tersebut.
Wacana naturalisasi para remaja asal Brasil ini juga menunjukkan, bagaimana lingkup sepakbola Indonesia memiliki skala prioritas yang buruk dalam menyelesaikan masalah. Padahal ada sektor-sektor lain yang sebenarnya mesti segera dibenahi. Misalnya, terkait kasus naturalisasi para remaja asal Brasil, tentu rasanya akan lebih bijak apabila dilakukan dengan segera melakukan pembenahan sektor pengembangan bakat usia muda di negeri ini. Agar produksi bakat di Indonesia mencapai kualitas yang lebih baik.
Permasalahan lain yang sebenarnya mesti segera diatasi di sepakbola Indonesia adalah terkait keberlangsungan karier para pesepakbola profesional. Entah mengapa permasalahan ini tidak menjadi urgensi. Padahal mereka merupakan penggerak utama dari industri sepakbola negeri ini.
Kita semua sudah melihat bagaimana situasi pesepakbola setelah pensiun. Tidak banyak yang bernasib baik. Beberapa bahkan kehidupannya ambruk, hingga mesti menjual medali atau kaus-kaus mereka yang bernilai historis. Beberapa yang lain bahkan mesti melakukan pekerjaan berat hanya sekadar untuk menyambung hidup.
Banyak pemain justru mengalami kejatuhan tepat setelah mereka pensiun. Yang terlihat, sepertinya mereka kesulitan untuk melakukan perencanaan terkait apa yang akan mereka lakukan setelah gantung sepatu dari dunia sepakbola.
Tidak semua beruntung bisa seperti Bima Sakti, Nova Arianto, atau Markus Haris Maulana yang menjadi pelatih tim nasional. Begitu pula dengan Charis Yulianto, Ferry Rotinsulu, dan Yandri Pitoy yang menjadi pelatih di level klub. Atau Bambang Pamungkas yang jadi manajer di klub. Tepat selepas ia memutuskan untuk pensiun.
Karena kebutuhan pelatih baik di level klub maupun tim nasional, tidak sebanyak yang diperkirakan. Misalkan hitungan sederhana. Satu pelatih kepala, dua asisten pelatih, satu pelatih kiper, dan satu pelatih fisik. Ada lima lowongan yang tersedia.
Karena pelatih kepala seringnya diberikan kepada sosok asing, jatah yang tersisa tinggal empat. Kemudian karena pelatih fisik memiliki lisensi khusus, dan tidak banyak pemain yang mengambilnya. Maka lowongan yang tersedia semakin sedikit. Sementara dalam setiap tahunnya, ada lebih dari selusin pemain yang memutuskan untuk gantung sepatu.
Maka melanjutkan karier di sepakbola sebagai pelatih juga tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi para mantan pemain ini mesti mengikuti kursus agar bisa terus naik level kepelatihannya. Ditambah fakta lain, bahwa tidak semua pemain memang ingin melanjutkan kariernya di sepakbola setelah pensiun.
Beberapa bernasib baik. Karena bisa menabung hasil selama bermain, kemudian dijadikan modal usaha. Beberapa menabung, kemudian menempuh jenjang pendidikan tertentu. Hingga kemudian bisa “banting stir” ke pilihan karier yang berbeda karena pendidikan yang ia tempuh tersebut.
Fenomena serupa sebenarnya terjadi kepada pada mahasiswa ketika mereka lulus dari perguruan tinggi. Beberapa ada yang sudah memiliki rencana bahkan sebelum mereka lulus, akan melakukan apa. Sebagian akan langsung bekerja, sebagian lain akan meneruskan jenjang pendidikan.
Tapi adapula yang merasa bingung akan melakukan apa setelahnya. Dan hal ini juga terjadi kepada para pesepakbola. Boleh jadi para pemain bukan tidak memikirkan apa yang mesti mereka lakukan setelah tidak lagi bermain secara profesional. Tetapi mereka bingung, sama seperti para mahasiswa yang bingung setelah mereka lulus.
Beruntungnya, di level kampus biasanya ada semacam pusat pengembangan karier (career center). Lembaga yang ditujukan untuk membimbing mahasiswa, untuk menentukan pilihan jalan mereka setelah lepas dari kampus. Entah itu akan langsung bekerja, atau meneruskan studi.
Pusat pengembangan karier ini juga bisa saja diadopsi di sepakbola. Bagaimana akan ada lembaga yang memberikan bimbingan kepada para pemain, terutama terkait perencanaan apa yang mereka lakukan apabila sudah tidak bermain nanti.
Karena memungkinkan adanya crossover antar bidang. Di mana mungkin ada pemain yang ingin mencoba hal baru dalam kariernya. Tidak lagi bergulat di dunia sepakbola dan olahraga, bisa didatangkan pembimbing dari sektor yang lain.
Misal sang pemain ingin terjun di bidang teknologi pangan, di mana ada yang ingin berusaha tani dan berkebun dengan cara yang lebih baik. Bisa didatangkan sosok yang kompeten untuk membantu para pemain di bidang tersebut. Pemain bisa diajarkan bagaimana pengelolaan modern produksi beras dan tanaman lain. Begitu pula dengan bidang-bidang lainnya.
Boleh jadi sistem nantinya akan berbentuk konseling atau kursus di kelas. Dikategorikan berdasarkan peminatan masing-masing dari para pemain. Program ini bukan hanya untuk para pemain yang sudah pensiun. Mereka-mereka yang berada di usia segar juga bisa mengikutinya. Bahkan ini juga tidak menutup konseling bagi para pemain yang sudah pensiun lama, seandainya mereka memiliki niatan untuk berpindah jalur dari karier mereka saat ini.
Silang temu antar sektor ini juga yang nantinya akan menghadirkan banyak kolaborasi. Dengan dampak lebih jauh tentu terkait pendanaan selama program ini berlangsung. Karena mau tidak mau, proses dan program seperti ini membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) pernah mengutarakan bahwa perhatian mereka tidak hanya saat para pemain masih aktif saja. Tetapi juga setelahnya. Sejauh ini belum ada Langkah-langkah yang konkret dari APPI untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh pemain selepas mereka pensiun.
Maka, pusat pengembangan karier bagi pesepakbola juga menjadi sesuatu yang mesti segera ditangani. Karena ini bisa menjadi langkah preventif agar tidak terjadi lagi fenomena para pemain kemudian hidupnya ambruk setelah mereka tidak lagi berlaga di lapangan hijau. Pusat pengembangan karier ini juga bisa sangat membantu para pemain apabila terjadi force majeur seperti pandemi COVID-19 saat ini.
Namun segala sesuatunya juga bergantung kepada para pemain itu sendiri. Apakah mereka bersedia untuk belajar Kembali, mempelajari sesuatu yang benar-benar baru untuk kehidupan mereka selanjutnya?
BACA JUGA Pareidolia dan Dugaan Gambar Salib di Logo HUT RI atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.