Kawan yang Kini Merasa Menjadi Lawan, Kembalilah Seperti Dulu

kawan menjadi lawan

Sudah hampir lima tahun ini aroma perpecahan di dunia maya begitu kental terasa. Kawan berubah jadi lawan. Bahkan yang tadinya keluarga bisa menjadi tak saling kenal.

Banyak teman sekampus yang dulu begitu hangat bercengkrama, kini bersikap dingin hingga membekukan hatinya. Tak ada lagi obrolan penuh canda di media sosial. Tak pernah lagi saling bertanya kabar—bahkan mulai tak saling bertegur sapa saat tak sengaja bertemu di dunia nyata.

(Si)apa yang telah memisahkan kami sampai seperti ini? Hingga kami seakan saling menggempur dan bertempur. Setiap hari yang kudengar hanya raungan penuh emosi menyerang ke segala arah. Kami tak lagi berteman. Kami menjadi lawan demi kalian—kalian yang bersembunyi di balik doktrin kepalsuan.

Media sosial menjadi ruang perdebatan kami saat ini. Gadget kesayangan menjadi pintu pembuka kesenangan (semu) itu. Kalian racuni ruang bersosialisasi kami. Kami pun rela mabuk di dalam pusaran kemarahan dan kebencian.

Kalian jelas tak pedulikan kami. Kalian hanya inginkan sesuatu yang kami sebenarnya tak mau. Kalian manfaatkan kealpaan kami akan pentingnya berkomunikasi secara fisik. Hingga kami semakin larut dalam tuntunan kalian. Merasuk ke alam bawah sadar melalui media sosial dan gadget kesayangan kami.

Kami tertipu—tapi kami tak tahu itu. Karena tipuan yang kalian gunakan terus-menerus meruntuhkan logika kami. Hingga tampak seakan fakta—hingga tampak seakan nyata. Kalian berhasil. Kami terbawa arus.

Kami memang salah. Kalian tentu lebih salah—meski belum tentu merasa bersalah. Karena ego tak mudah dibelenggu. Apalagi ketika ego bersekutu dengan nafsu.

Maka kami yang harus sadar—menyadarkan diri kami kembali. Pada masa ketika kami pernah bersama—meski saling berbeda—dengan penuh sikap yang beradab. Ya, kami perlu kembali menjadi manusia yang beradab.

Untuk kawanku yang dulu pernah sekampus denganku. Kutuliskan sebuah surat pendek untukmu. Bacalah sambil mengingat masa itu—ketika harga telur sekilo tak menarik untuk jadi topik bahasan bersama. Ketika agama tak dijadikan tameng untuk saling menyalahkan pendapat.

Teruntuk sahabatku,

Mungkin kita butuh istirahat dari panasnya gadget yang kita pegang terus-terusan ini, lalu kita bisa menonaktifkannya sementara agar dia beristirahat pula.

Mungkin kita bisa duduk santai di trotoar ditemani kopi hitam dalam gelas plastik bekas wadah air mineral, beberapa bakwan dan tahu goreng dalam kantong kresek, dan pemandangan lalu lalang pemuda-pemudi yg turun dari mobilnya bergegas masuk ke gerbang kampus kebanggaannya.

Mungkin kita bisa menyampaikan sesuatu yang selama ini mengusik perasaan dan nurani atau melontarkan berbagai pertanyaan yg selama ini belum mendapat jawaban yg memuaskan—dengan kedua tangan kita sibuk memegang gelas kopi dan gorengan hingga tak ada lagi ruang untuk gadget kesayangan.

Mungkin kita bisa berdebat dengan sengitnya—diselingi iringan suara knalpot kendaraan di jalanan, teriakan tukang parkir di belakang, kuda yg tiba-tiba lewat dengan suara tapak kakinya yang khas, sambil sibuk mengunyah gorengan plus cabe rawitnya dan sesekali menyeruput kopi selagi hangat.

Mungkin kita bisa tertawa saat melihat salah satu diantara kita bercucuran keringat karena pedasnya cabe rawit atau malah mengumpat karena begitu panasnya kopi yang terburu-buru kita seruput, lalu mengumpat lagi saat melihat si kuda dengan damainya buang hajat di seberang sana.

Mungkin kita sudah terlalu lama tak lagi berbicara sambil menatap gurat wajah lawan bicara kita, mendengar intonasi suaranya yang naik turun, melihat gerak-gerik anggota tubuhnya, yang pastinya semua menyiratkan sebagian karakter pribadinya.

Mungkin kita sudah terlalu kaku untuk berbicara sambil menatap mata lawan bicara kita, mendengar deru napas yang saling berpacu dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, melihat air mata yg tak tahan untuk menetes di sudut matanya, yang pastinya semua menyiratkan sebagian isi hatinya.

Mungkin saya sudah terlalu banyak melontarkan kemungkinan.

Mungkin.

Surat ini mungkin memang terlalu pendek untuk bisa mengubah jalan pikiran yang terlanjur berseberangan. Tapi selalu ada harapan untuk merajut kembali persahabatan. Harapan yang disusun dari berbagai kemungkinan. Karena sekecil apapun kemungkinan itu, tetaplah sebuah kemungkinan yang pantas diperjuangkan.

Exit mobile version