Seorang bocah di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan mendapat perlakuan tidak menyenangkan, berupa pukulan dan bullying saat tengah beristirahat di Lapangan Bonto-bonto, Kecamatan Marang. Bocah berinisal RL ini adalah penjual kue Jalangkote. Ia mendapat perlakuan bullying dari seorang pria dan beberapa temannya.
Kasus ini pun kemudian sempat menjadi trending topik jagat Twitter. Saya yang mula-mula nggak tahu kasusnya, mendapati retweet videonya dari kawan saya. Dari awal sejujurnya saya males buat mengikuti lanjutan kasusnya.
Sebab, kasus-kasus perundungan seperti ini selalu mempunyai ending cerita yang nggak menarik babarblas. Mudah ditebak alurnya. Paling ujung-ujungnya, si pelaku ditangkap, lalu minta maaf, dan korban akhirnya mendapat bantuan dari berbagai macam pihak.
Selain itu, bisa juga ceritanya korban bullying ini pura-pura. Mengerjain orang-orang, dan mengaku-ngaku kalau si korban ini mendapat pukulan hingga lebam-lebam. Kasus bullying yang punya plot twist begini, mengingatkan kita akan kasus Audrey.
Kasus bullying sebagai permasalahan serius yang kerap menimpa anak-anak, remaja dan perempuan ini sepertinya bakal terus terjadi. Apalagi kasus ini selalu berakhir pelaku minta maaf dan korban dapat santuan. Tanpa ada sedikit niatan, atau gerakan supaya bagaimana caranya kasus ini tak terjadi lagi.
Kasus perundungan yang menimpa bocah di Pangkep ini akhirnya cuma menambah daftar panjang kasus bullying terhadap anak. Sejak 2011 hingga 2019, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus bullying yang menerpa anak-anak sejumlah 2.473 kasus. Jika dikalkulasi, maka kira-kira per tahun ada 300-an kasus bullying.
Jumlah kasus tersebut tidaklah sedikit. Bahkan di beberapa kasus sebelum-sebelumnya, anak-anak korban bullying mengalami depresi. Sehingga akhirnya ada yang bunuh diri segala. Meski begitu, kasus-kasus bullying hanya ibarat tradisi tahunan yang bakal ramai sejenak, kemudian dilupakan.
Ironisnya lagi, kasus perundungan malah seolah jadi komoditi semata. Iya, komoditi, kamu nggak keliru baca. Sekarang coba lihat kasus kemarin saja. Saya mencoba cari tahu di Google, dengan mengetik kata kunci “perundungan”, seluruh kantor berita online hasil pencarian merujuk pada kasus di Pangkep.
Seperti apa yang sudah saya duga di awal. Pasti lewat kasus ini, si korban akan mendapat bantuan dari berbagai elemen masyarakat. Dan benar saja. Situs berita yang saya temukan itu, nyaris semuanya memberitakan bantuan dari si A, si B, si C, sampai si X,Y, Z kepada korban. Setelah itu, informasi orang yang memberi bantuan mengalir deras di Twitter.
Dalam benak saya, bocah yang dibully ini justru bukannya tambah sedih, tetapi senang. Karena dia mendapat bantuan macam-macam. Andai bocah ini nggak hidup dan dibully di era semua orang keranjingan medsos, mungkin dia akan merasakan dampak bullying yang sesungguhnya menyedihkan.
Namun medsos mengubah segalanya. Nasib bocah yang kena bully lumayan mujur dan nggak sial-sial amat. Kasus di Pangkep ini mengingatkan saya akan kasus Audrey tahun 2019 lalu. Saat itu Audrey—sebelum ketahuan bullshit—mendapat bantuan yang begitu banyak, dari kalangan pejabat dan selebritis.
Loh, apa yang salah dari memberi bantuan? Mereka-mereka korban bullying itu harus mendapat perhatian. Wajib mendapatkan bantuan moril dan sedikit materiil. Supaya korban nggak ngerasa tertekan.
Cengli sih, nggak ada yang salah kok dengan memberi bantuan. Silakan ngasih apa pun ke korban bullying. Dan itu barangkali memang benar-benar bisa membantu korban.
Sayangnya, dengan masifnya bantuan ke korban bullying justru mampu mengaburkan informasi. Saya sendiri suka nggak percaya kalau ada kasus bullying. Terlebih ketika terjadi bullying, videonya bakal viral, kemudian pelaku ditangkap, berikutnya korban dapat bantuan, dan akhirnya pelaku minta maaf—kadang tidak.
Hampir begitu alurnya. Seperti sudah direncanakan masak-masak. Ini memang terkesan suudzon dan mengada-ada. Tetapi apa yang nggak bisa dilakukan di era semua bisa direkam ini? Semua orang pengin viral, pengin terkenal, pengin mendadak kaya.
Oleh karena pintu pekerjaan tertutup, kartu pra kerja nggak jelas, dan serba kepengin cepat dapat duit, segala cara dilakukan. Berkaca dari kasus Audrey, berpura-pura jadi korban bullying adalah salah satu—untuk tak menyebut satu-satunya—cara yang boleh dipilih.
Apa boleh begitu? Iya boleh saja. Dia yang menipu udah fitrahnya salah. Nah, tinggal kita saja yang terlalu mudah dikelabui. Kalau kasus perundungan yang sungguh-sungguh terjadi bagaimana? Apa kita juga nggak boleh bantu?
Nggak ada yang melarang membantu korban bullying. Sama sekali nggak ada yang bisa. Namun yang agak njelei adalah bantuan dari tokoh-tokoh publik, entah pejabat atau selebritis. Mereka kan juga manusia, boleh dong membantu sesama?
Iya deh… iya, artis-artis, pejabat publik, dan tokoh masyarakat, semua itu ya manusia, bukan skincare. Status mereka sebagai tokoh publik itulah masalahnya. Korban bullying jadi semacam komoditi. Tokoh-tokoh publik ini bisa sekadar numpang dompleng popularitas dengan alibi memberi bantuan ke korban.
Wartawan langsung mengejarnya. Meliputnya, dan jadilah satu produk berita bahwa walikota beri bantuan korban bullying, tokoh ini kasih sepeda, pejabat itu kasih beasiswa. Publik akhirnya memahami, oh pejabat dan tokoh masyarakat peduli akan kasus bullying.
Sebentar… sebentar… ngasih bantuan ke korban lantas dianggap peduli begitu? Dianggap ikut menyuarakan korban? Hilih. Ajaibnya lagi, mereka yang ngasih ini-itu ke korban bullying dalam narasi berita selalu dilebih-lebihkan. Seolah pernah senasib, korban dianggap pahlawan, dan yang paling nggak saya pahami, mereka ini menyesalkan adanya kasus bullying.
Hadeh. Sesal nggak akan menyelesaikan persoalan bosquee. Tetapi, pejabat publik paling sering bilang begitu sembari ngasih bantuan. Terkesan mulia memang. Namun di situ pula ada kewaguan yang saya sendiri akan menyesalkan kinerja otak saya apabila nggak menyebut argumen itu wagu.
Dengan ngasih bantuan dan bilang menyesalkan—sebuah kata pamungkas setiap kali terjadi bullying—pejabat-pejabat justru mencoba physical distancing dengan kasus bullying. Bahkan nih ya, bukan cuma jaga jarak, melainkan juga cuci tangan bahwa mereka nggak tanggung jawab terhadap kasus bullying.
Memang cuci tangan sedang digalakkan sih, tapi untuk perkara bullying yang mendarah daging ini harusnya beliau-beliau nggak cuci tangan gitu aja dong. Hukum pelaku, dan dampingi korban bullying. Sekalian mereka harus menjamin kesehatan psikologis korban dengan merehabilitasi, misalnya.
Kasus bullying nggak akan pernah putus kalau setiap kasus selalu berakhir dengan pemberian bantuan ke korban secara masif belaka. Kecuali jika si korban tidak benar-benar mengalami perundungan. Halahwismbuh~
BACA JUGA Apa yang Harusnya Orang Tua Lakukan kalau Anaknya Dibully? dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.