Saya adalah salah satu penerima Kartu Prakerja yang saat ini bekerja sebagai freelancer content writer. Sebetulnya, tujuan awal saya mengikuti program pemerintah yang katanya “menggaji pengangguran” ini adalah karena penasaran, seperti apa sih pelatihan yang diberikan dari Program Kartu Prakerja itu?
Saya tak mau memungkiri bahwa saya juga tertarik dengan insentif yang diberikan. Namun, rasa penasaran saya tentang pelatihan jauh lebih besar ketimbang insentif Rp600 ribu per bulan.
Dan setelah saya mengikutinya, akhirnya saya tau bagaimana rasanya menjadi salah satu bagian dari penerima Kartu Prakerja, dan menemukan beberapa hal yang menurut saya luput dari banyak peserta Prakerja.
#1 Program Kartu Prakerja tingkatkan wawasan saya
Jadi, dalam program Prakerja ini saya mengambil pelatihan tentang copywriter demi meningkatkan skill saja di bidang kepenulisan. Basic saya adalah content writer, tapi juga ingin menambah kemampuan di bidang kepenulisan yang lain. Maka dari itulah saya memilih kelas copywriter.
Setelah mendapat persetujuan, video demi video saya tonton sampai selesai sembari mencatat materi yang dijelaskan. Dan setelah menonton video tersebut, wawasan dan pengetahuan saya sedikit bertambah.
Semula yang saya tidak tau apa itu copywriter, cara pembuatan, dan penerapannya dalam sebuah iklan, kemudian menjadi tau setelah menonton video pelatihan dari Prakerja.
Bagi saya, ini salah satu poin plus dari kartu Prakerja yang sangat perlu diapresiasi. Apa-apa yang menambah wawasan, memang harus diapresiasi.
#2 Tidak meningkatkan skill
Betul memang program Kartu Prakerja ini meningkatkan pengetahuan dan wawasan, tapi tidak dengan skill. Bentar-bentar, saya jelaskan dulu.
Pelatihan yang tersedia tidak memberikan pelatihan secara praktikal. Yang saya alami, saya diberi tahu tentang apa itu copywriter secara mendalam, tapi pelatihan skill atau praktikal nggak ada. Padahal yang saya harap ada sesi seperti itu juga. Saya bisa bikin copywriting, tapi nggak jago. Beda sama yang face-to-face atau dapat pelatihan skill secara praktikal.
Bayangin gini deh. Kalau Anda mau punya skill membuat kue, Anda harus benar-benar membuat kue. Bukan hanya sekadar menonton video resep atau membaca buku resep saja.
Hal ini yang menurut saya jadi kekurangan fatalnya. Sebab, kalau memang mau melepas peserta Kartu Prakerja, sebaiknya dibekali skill praktikal. Coba lihat di LinkedIn, atau di portal jobseeker lainnya, banyak yang meminta sertifikat skill. Kenapa? Ya biar recruiter tahu bahwa pelamar punya skill-nya. Kalau nggak punya pengalaman kerja, sertifikat tersebut bisa buat recruiter yakin.
Kalau tanpa sertifikat atau praktikal, ya kalah dengan orang yang wawasannya nggak jago-jago amat, tapi punya pengalaman. Kayak saya aja deh. Bisa jadi saya kalah sama copywriter yang nggak jago perkara wawasan, tapi tahu medannya kayak apa. Recruiter jelas lebih tertarik sama pelamar yang berpengalaman dong.
Rasanya agak percuma memberi pelatihan, tapi ujungnya bakalan kalah sama angkatan kerja yang lain. Ya nggak?
Ya memang saya sadar, harusnya wawasan tersebut saya olah dan saya latih sendiri. Cuman, alangkah baiknya kalau paket yang diberikan itu lengkap. Bukan saya nggak tahu diri juga, cuman usul sih.
Ke depannya, saya berharap program ini tetap berjalan, tapi diubah sistemnya. Karena pandemi sudah tidak seganas dulu, lebih baik bekerjasama dengan BLK agar mendapatkan pelatihan secara praktikal.
Atau jika mau tetap metode pelatihan online, jangan model nonton video tetapi video call seperti halnya ketika kita belajar melalui Zoom supaya bisa berkomunikasi dua arah.
Penulis: Firdaus Deni Febriansyah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ingin Mendaftar Kartu Prakerja tapi Bimbang