Di desa, kita pasti mengenal satu organisasi kepemudaan, yaitu karang taruna. Sering kali, keberadaan karang taruna ini menjadi unik. Namanya ada dan populer di setiap desa, tapi gerakannya tidak begitu kelihatan atau malah tidak pernah kelihatan. Paling-paling, baru kelihatan saat mendekati kegiatan tahunan agustusan. Hal ini akhirnya menjadikan karang taruna dianggap sebagai organisasi tahunan, karena hanya muncul saat acara agustusan saja yang dilaksanakan setahun sekali.
Padahal, karang taruna harusnya hadir sebagai wadah positif bagi para pemuda di desa. Harusnya, organisasi kepemudaan ini membuat program rutinan yang memfasilitasi para pemuda di desa untuk berkreasi membangun desa. Tapi, kenyataannya justru organisasi ini hanya menjadi organisasi hiasan di setiap desa. Memang, ada beberapa desa yang memiliki karang taruna aktif dan solid. Tapi, hal semacam itu hanya segelintir. Bahkan dari satu kecamatan, tak lebih dari tiga yang benar-benar aktif dalam menjalankan tugasnya.
Hal demikian akhirnya memunculkan pertanyaan, mengapa? Mengapa organisasi kepemudaan ini sulit untuk aktif mewujudkan sebuah gerakan, selain gerakan kegiatan rutin agustusan? Di sini, saya selaku ketua karang taruna di salah satu desa, akan menguraikan betapa rumitnya mengurus organisasi ini di desa.
Daftar Isi
Karang taruna tidak menjadi prioritas pemuda di desa
Sebatas perjalanan saya menjadi pengurus, saya melihat bahwa organisasi ini tidak menjadi prioritas pemuda di desa. Karang taruna dianggap terlalu luas dalam ranah organisasi. Pemuda di desa, lebih senang berorganisasi dengan kesamaan yang jelas, seperti organisasi keagamaan atau komunitas berdasarkan hobi. Karang taruna dianggap organisasi yang tidak jelas arah dan tujuannya, sehingga banyak pemuda yang enggan bergabung menjadi pengurus.
Selain itu, para pemuda desa saat ini lebih sering sibuk dengan urusannya sendiri yang dianggap lebih menyenangkan, daripada harus berurusan dengan organisasi kepemudaan desa.
Karang taruna selalu dianggap tak tahu apa-apa
Namanya juga di desa, anggapan-anggapan kolot yang usang masih dipertahankan. Salah satunya dalam urusan melihat peran pemuda di desa. Pemuda di desa, masih saja dianggap sebagai remaja atau bahkan anak kecil oleh kalangan orang tua. Pemuda dianggap tidak punya pengalaman dalam urusan desa. Tidak cukup banyak ruang gerak yang bisa dilakukan oleh karang taruna untuk berkembang. Sehingga, kegiatannya hanya itu-itu saja.
Itu-itu saja dalam artian bukan pemudanya yang tidak kreatif, tapi kreativitas pemuda di karang taruna seringkali terbentur dengan egoisme kalangan tua tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan di desa.
Dianggap tidak layak ikut campur dalam urusan pembahasan politik
Salah satu pantangan untuk pemuda karang taruna di desa adalah ikut campur urusan politik. Anggapan bahwa pemuda karang taruna hanyalah seorang remaja dianggap apolitis atau tidak tahu apa-apa tentang politik. Padahal, pemuda itu ya politis, dan hal itu pula yang membedakan antara pemuda dengan remaja.
Hanya saja, sepertinya masyarakat desa tidak cukup memiliki kemampuan untuk memahami itu. Atau paling tidak mereka tidak cukup punya nyali untuk mengakui keberadaan pemuda dalam pembahasan politik di desa. Gara-gara anggapan dangkal ini, karang taruna yang merupakan organisasi pemuda politis, menjadi tidak bergairah hidup dalam organisasi yang harus ikut kemauan orang tua. Lagi pula, urusan politik kan tidak selalu bersifat praktis. Bisa saja bersifat edukatif. Lagi-lagi, namanya orang desa, yang disebut politik hanya dipahami sebagai pilkades dan sogok-menyogok. Dangkal betul.
Pernah suatu ketika, karang taruna yang saya pimpin berinisiasi mengadakan diskusi publik dengan masyarakat tentang kontestasi politik untuk edukasi. Mengingat, pada saat itu sudah mendekati tahun politik pilkades. Tujuan kami jelas, agar masyarakat tereedukasi lebih luas tentang politik dan tidak mudah termakan politik uang. Hasilnya apa? Tentu saja dengan mantap, rencana kegiatan tersebut dilarang total dan gagal total. Hufft.
Hanya menjadi “pesuruh” kalangan tua
Sudah menjadi rahasia umum masyarakat desa, bahwa yang muda adalah pelayan bagi yang tua. Hal inilah yang terus mengakar di kepala para tetuah desa. Karang taruna hadir sebagai organisasi yang selalu dianggap siap melayani urusan-urusan kegiatan desa kalangan tua, seperti persiapan bersih-bersih makam, bersih-bersih dusun, bersih musala, menyebar undangan kegiatan, menyebar brosur kegiatan desa, menyebar informasi sumbangan untuk kegiatan desa, dan berbagai kegiatan lapangan lainnya/
Seakan-akan, kalangan tua di desa ingin mengatakan bahwa untuk urusan lapangan yang remeh-temeh, serahkan saja para karang taruna. Untuk keuntungan dan hal-hal yang penting, biar yang tua yang mengatur. Pemuda tak perlu ikut campur. Miris. Hal ini terus terjadi dan bisa terus terjadi, karena karang taruna adalah organisasi kepemudaan yang ada di desa, bukan di kota. Di desa, ada dogma jitu yang mewajibkan kalangan muda agar terus patuh dan tunduk melayani para orang tua.
Sulit merapatkan barisan
Kerumitan selanjutnya adalah persoalan rapat atau mengaggendakan sebuah kumpul antarpengurus. Kesulitannya berakar tidak jauh dari poin pertama, yaitu tentang prioritas. Karena karang taruna bukan menjadi organisasi proritas pemuda, maka untuk diajak berkumpul merapatkan barisan selalu saja banyak alasannya. Ada yang beralasan kerja kelompok, kerjaan, bisnis, kencan, ngarit, ngabuburit, dan buanyak alasan lainnya yang akhirnya menjadi kumpul anggota hanya menjadi wacana. Baru terlaksana ketika mendekati agustusan saja. Itu pun tidak sepenuhnya.
Selain itu, karang taruna di desa saya juga tidak diberi fasilitas basecamp atau markas berkumpul. Sehingga, tempat agenda berkumpulnya harus berganti-ganti dan membingungkan, serta tidak jarang rencana perkumpulan karang taruna menjadi batal, karena tidak ada tempat yang bisa dipakai untuk merapatkan barisan. Syulitttt.
Dana tak ada, tapi harapan masyarakat terlalu tinggi
Sebatas pengalaman saya menjadi bagian dari karang taruna, begitu musykil mendapat dana yang benar-benar jos. Jika pun ada, tidak banyak. Saya pernah mendengar bahwa karang taruna di desa saya mendapat jatah dana 2 juta untuk satu tahun. Iya, satu tahun. Jika dibayangkan, kira-kira program kerja jos macam apa yang bisa dilaksanakan dengan uang 2 juta dalam satu tahun. Acara agustusan saja perlu dana lebih dari itu. Belum dengan agenda kegiatan yang lain. Jika mengajukan dana ke desa, selalu saja ada kelitnya. Ujung-ujungnya, para petuah desa menyarankan agar karang taruna mencari dana dari sposor. Gundulmu.
Gimana bisa sponsor mau memberi dana pada organisasi yang tidak terawat karena kerumitannya? Apa ada sponsor yang mau mempercayakan uangnya untuk organisasi yang jarang sekali kumpul? Mana mungkin sponsor mau percaya pada organisasi yang bahkan tak punya markas berkumpul? Yaaa ndak mungkin mau.
Di tengah peliknya masalah dana, harapan masyarakat pada karang taruna begitu tinggi dengan dalih kutipan Soekarno, “beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.”
Preeettt.
Beban yang tak masuk akal
Harapan masyarakat terlalu tinggi pada karang taruna, sedangkan pemudanya tak diberi fasilitas berkreasi dan tak diberi ruang bebas untuk mengeksekusi ide-idenya. Beberapa kali, saya mendengar masyarakat yang menggantungkan harapan desa pada kami, karena mereka mulai pesimis dengan kinerja para pengurus desa yang merupakan kalangan tua. Pada sisi ini, kami sebagai pemuda merasa terhimpit. Kami tak bisa bergerak sebagai organisasi, karena tak ada dana, tapi harapan masyarakat begitu tinggi. Itulah sebab kenapa kami hanya menjadi organisasi penuh ilusi.
Beberapa poin di atas berusaha menunjukkan bagaimana kerumitan mengurus karang taruna sebagai organisasi pemuda di desa. Yang saya pikir jauh berbeda tantangannya dari sekadar mengurus organisasi intra kampus oleh mahasiswa, karena organisasi intra kampus atau sekolah memiliki aturan mengikat, medannya sejajar (tidak ada golongan tua dan muda), serta ada suntikan dana yang pasti. Sedangkan, karang taruna penuh dengan liku dan berada di tengah-tengah ketidakpastian organisasi. Semacam organisasi yang hidup segan, mati tak mau.
Harapannya, ada angin segar yang bisa memberi solusi. Baik dari pihak pemerintah desa yang menghadirkan seksi khusus untuk mengurus kepemudaan desa, ataupun pemerintah pusat yang lebih memperhatikan berbagai kerunyaman yang dialami para pemuda karang taruna dalam menggerakkan organisasinya. Semoga.
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menilik Sejarah Karang Taruna, Organisasi Paling Eksis di Bulan Agustus