Sewaktu sekolah, waktu yang betul-betul saya tunggu itu ada dua, pertama saat bel berbunyi untuk istirahat dan kedua ketika bel dibunyikan tanda proses belajar sudah selesai dan diperbolehkan pulang. Saya rasa hampir kebanyakan anak sekolah pada masanya—entah SMP atau SMA—menyukai juga menanti hal tersebut. Sisanya akan bahagia jika sudah memasuki masa liburan.
Ada kesamaan saat kedua bel tersebut dibunyikan, semua siswa biasanya bergerombol dan bersama-sama kelas kelas. Pada waktu pulang, biasanya menuju gerbang sekolah sambil menyapa Pak Satpam. Sewaktu istirahat, yang disapa adalah para pedagang di kantin agar bisa segera mendapatkan makan siang dibanding siswa lain. Ada yang rela mengantri, ada juga yang menyerobot antrian karena banyaknya siswa yang memesan makanan.
Oleh karena itu, seringkali para pedagang tidak mengingat siapa yang memesan dan apa yang dipesan, ada juga yang dengan sengaja tidak membayar, begitu pula dengan total yang harus dibayarkan. Maka tak heran jika dalam sehari para pedagang di kantin mengalami kerugian.
Selain itu, yang paling mencengangkan adalah ketika salah satu teman saya sudah jelas memakan banyak gorengan, tapi hanya mengaku dan membayar seharga satu gorengan kepada pedagang di kantin. Perilaku seperti ini biasa disebut dengan darmaji (dahar lima ngaku siji)—makan lima ngakunya hanya satu.
Bagi saya, ini merupakan korupsi sejak dini yang dilakukan oleh beberapa teman di SMA. Walau mereka seringkali berdalih hanya sesekali dan menganggap hal tersebut sebagai kenakalan remaja yang wajar dan biasa dilakukan. Harus diakui perilaku darmaji ini menjadi salah satu kenangan masa SMA yang tentunya tidak baik sekaligus lucu.
Setelah lulus, karena memang merasa bersalah ada juga teman saya yang meminta maaf lalu memberi uang dengan nominal yang dirahasiakan kepada pedagang yang dirugikan. Semacam hutang yang akhirnya dilunasi. Pedagang pun hanya berkata “nggak apa-apa, namanya juga anak SMA, udah biasa”.
Dari situ lantas saya berpikir, perilaku darmaji ini seperti sudah membudaya dan diwariskan kepada setiap generasi di kalangan anak SMA—mungkin juga banyak orang?—sebab teman saya yang berasal dari sekolah lain pun gemar melakukan hal yang sama—darmaji.
Biasanya sasaran seseorang yang suka darmaji adalah ketika di warkop atau warung makan lalu ada gorengan atau camilan lain disajikan tanpa adanya perhatian atau diperhatikan oleh pemilik warung. Sehingga pembeli bisa sesuka hati menyantap makanan tersebut dan menjadi peluang untuk tidak mengaku berapa banyak yang sudah dimakan.
Walau sesungguhnya bagi para pedagang, mengalami kerugian—karena tidak laku atau akibat seseorang yang darmaji—merupakan hal yang biasa dan sudah semestinya ada alokasi dana untuk itu. Namun soal darmaji harusnya bisa diantisipasi, paling tidak diminimalisir dengan cara mengawasi orang yang makan atau melihat siapa mengambil apa dan berapa jumlahnya. Meski sulit, hal itu bisa dicoba juga dijadikan salah satu solusi.
Karena hal itu terus berulang, akhirnya di sekolah saya dulu sempat diterapkan kantin kejujuran. Cara penerapannya, beberapa camilan diletakan di etalase yang sudah disediakan lalu bisa langsung membayar di kotak yang sudah disediakan—tanpa adanya kamera pengawas di sudut mana pun. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kejujuran siswa di sekolah. Ya semacam eksperimen sosial gitu, lah.
Eksperimen tersebut hanya berlangsung beberapa bulan, karena pada akhirnya dirasa tetap tidak efektif. Yang jujur akan membayar sesuai dengan jumlah yang dikonsumsi. Bagi mereka para pemegang teguh prinsip darmaji, ya tetap begitu-begitu saja—yang dimakan berapa, yang dibayar berapa bahkan sembarang ambil namun tidak membayar.
Beberapa teman yang saya kenal darmaji pada masa sekolah kini sudah bertaubat. Mereka sudah berkomitmen untuk tidak mengulangi hal itu pada masa kini, pun masa mendatang dan menjadikannya sebagai bagian dari cerita masa lalu—kenang-kenangan. Sebab, sadar atau tidak perilaku darmaji ini termasuk korupsi yang jelas merugikan para pedagang.
Untungnya perilaku tersebut tidak sampai dibawa ke ranah hukum dan tidak perlu pemeriksaan oleh KPK segala.
Dari dulu hingga sekarang, saya tidak berani menerapkan darmaji karena sadar Tuhan selalu mengawasi di mana pun saya berada—kejujuran yang paling utama dan menjadi fondasi dalam hidup. Jika sedang makan gorengan di warkop sambil menyantap kopi, paling-paling kalimat yang selalu saya katakan;
“Bang, tadi saya makan lima gorengan, bayarnya dua aja ya. Tiga lagi bonus anggap bonus aja, kan udah langganan.”