Sebagai mahasiswa rantau, saya dulu membayangkan Yogyakarta sebagai kota yang ramah. Ramah orangnya, ramah pula harga-harganya. Tapi begitu resmi menyandang status mahasiswa magister tahun 2022 lalu, saya langsung disambut dengan kenyataan yang bikin dompet bergetar. Ternyata nyari kos-kosan nyaman dan murah di Jogja itu nggak semudah bayangan.
Mungkin karena saya berangkat dari Kota Malang, tempat di mana dengan 600-700 ribu sebulan saya sudah bisa dapat kos yang fasilitasnya lengkap kayak apartemen versi rakyat. WiFi kencang, listrik aman, air ngalir deras, kamar mandi nyaman, dapur lengkap, kulkas, bahkan ada mesin cuci yang bisa dipakai barengan. Parkiran luas, ada layanan bersih-bersih, dan yang paling penting: aman. Iya, aman. Nggak takut helm ilang.
Begitu pindah ke Jogja? Wah, realitas langsung menampar. Dengan budget 500 sampai 700 ribu, saya cuma bisa dapet kos yang bikin nostalgia ke rumah nenek: kamar mandi luar, tanpa kulkas, apalagi mesin cuci. Tambah biaya lagi kalau bawa laptop. Tapi karena deket kampus, saya pikir, “Yowis lah.”
Semester pertama saya jalani dengan kos itu. Tapi karena saya tipe yang sering bolak-balik kamar mandi, saya angkat tangan juga akhirnya. Semester dua saya pindah ke kos yang lebih manusiawi dengan harga 900 ribu per bulan. Jauh dari kampus, tapi setidaknya nggak bikin saya masuk angin tiap malam.
Kampus promo kos eksklusif? KAMPUS?
Nah, yang bikin jidat saya berkerut makin dalam adalah ketika baru-baru ini saya melihat kampus tempat saya dulu menimba ilmu itu ngiklanin bisnis baru, kos eksklusif. Dengar-dengar sih, “hanya” 2,5 juta sebulan. Iya, HANYA katanya. Sekali lagi: dua juta lima ratus ribu rupiah, untuk kos mahasiswa.
Kosannya dijual lewat akun resmi kampus, lengkap dengan promo dan rayuan marketing yang manis. Tapi lucunya, di kolom komentar, para alumni justru sibuk nagih ijazah yang katanya belum keluar. Lah? Kampus bisa ngurus kos eksklusif, tapi ngasih ijazah aja kayaknya perlu rapat berwaktu-waktu lamanya.
Saya tahu, mungkin ini semua bagian dari strategi kampus setelah bertransformasi jadi PTN-BH. Katanya biar lebih mandiri secara keuangan, nggak melulu bergantung sama negara. Tapi caranya? Ya… saya pribadi sih jadi bertanya-tanya “ini kampus atau korporasi?”
Baca halaman selanjutnya
Cari duit sih nggak apa-apa, tapi nggak gini-gini banget juga kali
Nggak gini-gini banget juga sih
Saya tidak bermaksud menyederhanakan kenyataan. Saya juga sadar, di balik layar birokrasi kampus, ada banyak orang yang sebenarnya mungkin tidak nyaman dengan arah kebijakan ini. Bisa jadi mereka dulunya idealis, ingin membuat pendidikan lebih inklusif, lebih manusiawi. Tapi ketika sistem mendesak mereka untuk menjadi efisien dan “menghasilkan,” idealisme itu pun terkikis pelan-pelan. Bisa jadi tidak hilang, tapi mereka harus menundanya.
PTN-BH katanya biar kampus bisa lebih berdaya, lebih maju. Tapi di balik semangat itu, saya juga melihat bagaimana perlahan kampus bergeser dari tempat mencetak pemikir jadi tempat mencari cuan. Mahasiswa bukan lagi aset bangsa, tapi target pasar. Bahkan sampai urusan kos eksklusif pun, mereka ikutan jadi target.
Saya tahu kampus juga perlu biaya. Tapi bukankah seharusnya kampus berdiri di antara nilai dan bisnis, bukan tenggelam di dalamnya?
Penulis: Lisa Nur Maulidia
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bebas dan Nyaman, Kos Eksklusif Menjamur di Jogja, Kaum Mendang-mending Minggir Dulu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
