Urusan sampah makin ke sini makin gawat. Beberapa tahun terakhir ini kita sudah disuguhkan dengan banyaknya gambar-gambar satwa yang mati karena mengkonsumsi sampah yang dia pikir makanannya. Bahkan menurut UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang ngurusin pemanasan global, sampah juga berkontribusi menyumbang pemanasan global lewat emisi gas metana akibat proses pembusukan pada sampah yang tidak dikelola dengan baik. Adanya gas metana ini pernah mengakibatkan ledakan di TPS Leuwigajah pada 21 Februari 2005 yang memakan 143 korban jiwa. Sebagai upaya menyadarkan warga +62 akan pentingnya mengelola sampah, Pemerintah akhirnya menetapkan 21 Februari setiap tahunnya sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Tapi, agaknya urusan sampah ini memang tidak selesai-selesai juga meski Pemerintah sudah bikin hari peringatan. Saat ini banyak pemerintah kota di Indonesia yang kewalahan dan kebingungan untuk mencari lokasi pembuangan sampah akhir. Penyebab yang pertama karena lokasi untuk membuangnya sulit didapat karena banyak yang nggak mau kebauan sampah, yang kedua sampah yang dihasilkan sepertinya tidak pernah berkurang, yang ada malah nambah. Kalau nggak percaya lihat saja tuh TPSA Bantar Gebang, tempat pembuangan sampah yang dihasilkan warga DKI. Sampahnya sekarang sudah nyaris setinggi candi Borobudur.
Kembali ke urusan bau sampah. Penyebab bau yang dihasilkan oleh sampah rumah tangga tak lain dan tak bukan karena komposisinya yang didominasi oleh sampah organik. Beberapa penelitian menemukan fakta bahwa komposisi sampah rumah tangga itu 60-70 persennya didominasi sampah organik yang mudah membusuk, sedangkan sisanya yang 20 persen adalah bahan yang bisa didaur ulang dan 10 persennya berupa barang yang tidak bisa digunakan lagi. Jadi sebenarnya kalau sampah organik yang 60-70 persen ini dikelola dengan baik akan mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPSA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir).
Nah fakta inilah yang membuat pemilahan sampah dan pengomposan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi sampah yang dibuang ke TPSA. Bisa kita lihat kan akhirnya banyak pemerintah kota yang menyediakan tempat-tempat sampah yang terpilah di fasilitas umum yang mereka bangun. Bahkan PKK juga dilibatkan untuk memberi penyuluhan supaya ibu-ibu di rumah mulai memilah sampah. Sampai-sampai kalau ada penyuluhan mengenai mengelola sampah, pemilahan sampah ini jadi materi yang wajib ada. Tujuannya supaya pada saat dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara, sudah terpilah jadi mudah untuk mengelolanya kemudian dan nggak makan tempat.
Setahu saya sih program ini memang berhasil ya, kalau hanya sekadar memilah sampah ibu-ibu di rumah tangga ya ngerti dan bisa melakukannya. Ini mah urusan sepele, anak kecil juga bisa mengerjakannya. Cuma masalahnya, kegiatan pemilahan ini berhenti sampai di tempat sampah yang ada di rumah atau tempat sampah antara. Lewat dari itu sampah dicampur lagi oleh petugas kebersihan di truk pengangkut sampah….kezel kan kalau begini.
Bahkan kalau kita mau cermati lagi ya, tong-tong sampah yang modelnya dipilah yang dipasang di fasilitas kota juga sama perlakuannya. Sudah memang warga kotanya kalau buang sampah jarang pernah mikir untuk memilah, pas ngangkutnya juga dicampur lagi sama petugas kebersihan kota. Jadinya buat apa coba kita diminta memilah dan disediain tong sampah yang beda-beda??? Mbok ya kalau mau serius diberdayakan dong Satpol PP nya buat ngedidik warga supaya buang sampah dengan bener. Jangan cuma semangat kalau menggerebek hotel melati aja. Terus juga petugas kebersihannya dan sarana angkutannya di-upgrade sedikit supaya pas ngangkut sampah organik nggak ngebauin orang di jalan. Kalau mau yang agak keren lagi bikin tong sampah cerdas, yang bisa kasih peringatan kalau ada yang buang sampah tapi salah tempat.
Pemerintah kota juga kalau mau serius mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPSA harusnya melengkapi infrastruktur pengelolaan sampahnya juga. Misalnya saja kalau memang mau ada pemilahan sampah organik dan anorganik, setidaknya di setiap rukun warga disediain dong fasilitas pengomposan termasuk sarana pengangkutannya yang berbeda. Kalau meminta warganya sendiri untuk mengomposkan sampah di rumah masing-masing ya agak sulit juga karena banyak warga kota yang luas rumahnya terbatas. Belum lagi yang tinggal di apartemen atau rusun kan repot juga kalau harus ngomposin sampah, mau di mana coba?
Lantas anggarannya dari mana buat bikin infrastruktu seperti itu ? Lah kan warga negara ini sudah bayar pajak, kenapa sih ngga dianggarin sedikit aja untuk fasilitas pengolahan sampah organik. Kalau buat naikin gaji anggota DPR yang kerjanya nggak jelas aja bisa, masak sih bikin fasilitas pengomposan komunal nggak bisa?
Lalu bagaimana dengan baunya? Kalau pengomposan dilakukan dengan baik dan bangunannya dibangun dengan bener, ya tetep bau tapi baunya nggak terlalu mengganggu dibandingkan dengan sampah organik yang tidak dikelola. Lagipula ini sampah kan kita yang produksi, ya tanggung jawab kita juga dong buat mengelolanya.
Kalau infrastruktur pengomposan tersedia, selanjutnya pemerintah kota tinggal mengangkut sampah-sampah yang bisa didaur ulang atau yang sudah tidak bisa diolah lagi ke TPSA. Kalau sudah begini kan volume yang diangkut ke TPSA juga berkurang dan nggak akan membludak. Sukur-sukur pemerintah kota juga mau bikin infrastruktur daur ulang sampah di TPSA.
Gampang kan sebenarnya? Yang susah ya kalau pemerintahnya nggak mikirin rakyatnya dan rakyatnya juga nggak mau mikir.
BACA JUGA Bakar Sampah Pagi-pagi Adalah Kerjaan Manusia Jahat di Muka Bumi dan tulisan Imanuddin lainnya.